Makalah Ayat-ayat Alqur'an Tentang Hiwalah
https://alawialbantani.blogspot.com/2018/07/makalah-ayat-ayat-alquran-tentang.html
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran adalah kumpulan ayat. Ayat pada hakikatnya adalah tanda dan simbol yang tampak. Namun, simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang lain yang tidak tersurat, tetapi tersirat, sebagaimana diperkenalkan konsep tafsir dan ta’wil. Hubungan antara keduanya, antara makna tersurat dan makna tersirat, sehingga jika tanda dan simbol itu dipahami oleh pikiran, maka makna yang tersirat insya Allah berkat bantuan Allah _ dipahami pula oleh jiwa seseorang.
Al-Quran merupakan sumber dari segala sumber hukum ilmu pengetahuan yang berisi firman-firman Allah. Ia dirancang menurut struktur Ilahiyah dimana hanya Allah yang mampu menjaga kemurnian Al-Quran sehingga dengan demikian Al-Qur’an akan tetap otentik dimanapun dan kapanpun ia berada.
Al-Quran memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagian hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Dalam al-Quran membahas berbagai petunjuk, prinsip, hukum, nilai, perumpaan dan konsep.
Di antara bentuk muamalah yang diatur dalam ajaran Islam adalah masalah (pengalihan utang), atau dalam istilah syariah dinamakan dengan "al-hiwalah". Pengalihan utang ini telah dibenarkan oleh syariat dan telah dipraktekan sejak zaman nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Hiwalah pengalihan utang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hiwalah
Hawalah menurut bahasa artinya “pindah”. Sedangkan menurut istilah adalah transfer piutang dari satu tanggungan kepada tanggungan yang lain. Al-hiwalah adalah pemindahan tanggung jawab. Pengertian hiwalah dalam konteks perbankan syariah dipertegas oleh fatwa DSN MUI No. 12 tahun 2000 yang memfatwakan bahwa hiwalah adalah akad pengalihan utang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggungnya (membayar)nya.
Hakikat al-hawalat adalah penjualn utang dengan utang, atau pemindahan utang dari satu pihak kepihak lainnya karena pihak lain memiliki utang kepada yang berutang dengan nilai yang sama.
Dalam istilah ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutangdan sekaligus berpiutang), menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar utang), muhil (orang berpiutang kepada muhil).
Contoh: A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal ‘alaih). Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, lalu ia mengalihkan beban utangnya tersebut pada C. Dengan demikian, C yang harus membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai.
Pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad ZAW sampai sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain, lihat al-Qur’an : 5: 2.
B. Ayat Tentang Hiwalah
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah:2).
a. Asbabul Nuzul
Dalam Surat al-Maidah aya 2 manusia diperintahkan untuk hidup tolong menolong dan saling membantu kebajkan. Untuk menyempurnakan perintah tersebut, Allah melarang bantuan terhadap kegiatan yang mengandung keburukan dan maksiat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa dosa itu adalah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah ibnu Abu Bakar ibnu Anas dari kakenya yaitu (Anas bin Malik) yang menceritakan bahwa Rasullah saw pernah bersabda:
اُنْصُرْاَخَاكَ ظَالِمًاأَوْمَظْلوُمًا
Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan berbuat aniaya atau dianiaya.
Lalu ada yang bertanya, wahai Rasulullah orang ini dapat kutolong jika ia dianiaya. Tetapi bagaimanakah menolongnya jika dia berbuat aniaya? Maka Rasulullah Saw menjawab:
تَحْجُزُهُ وَتَمْنَعُهُ مِن الظُلْمِ فَذَالِكَ نَصْرُهُ
Kamu cegah dan kami halang-halangi dia dari perbuatan aniaya, itulah cara menolongnya.
b. Mufradat (kosah kata)
المعنى
Tolong menolonglah kalian تَعَاوَنُوا
Kebaikan البِرُّ
Dosa الاِثْمُ
Permusuhan العُدْوانُ
c. Makna Ijmali
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maidah:2).
Dalam Islam, tolong-menolong adalah kewajiban setiap Muslim. Sudah semestinya konsep tolong-menolong tidak hanya dilakukan dalam lingkup yang sempit. Tentu saja untuk menjaga agar tolong-menolong ini selalu dalam koridor “kebaikan dan takwa” diperlukan suatu sistem yang benar-benar sesuai “syariah”. Apa artinya kita berukhuwah jika kita tidak mau menolong saudara kita yang sedang mengalami kesulitan. Tolong-menolong menjadi sebuah keharusan karena apapun yang kita kerjakan membutuhkan pertolongan dari orang lain.
Tafsir Munir
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ
yaitu segala kebaikan yang diperintahkan syarat, dan hati tenang, jangan tolong menolongatas dosa, maksiat, yaitu segala yang dilarang syarat, jangan pula tolong menolong dalam melampaui hak-hak orang lain.
Tafsir fi Zhilalil Qur’an
Sedangkan menurut Sayyid Qutb dari ayat tersebut dijelaskan bahwa Islam menetapkan agar orang-orang yang beriman tolong-menolong dan bantu-membantu dalam berbuat kebaikan dan ketakwaan saja, tidak boleh bantu-membantu berbuat dosa dan pelanggaran. Al-Qur’an menakut-nakuti jiwa manusia terhadap azab Allah dan menyuruhnya bertakwa kepada-Nya, agar dengan perasaan seperti ini dapat menahan kemarahan dan taat aturan, berperangai luhur dan toleran, takwa kepada Allah dan mencari rida-Nya.
Tafsir ibnu kastir
Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya yang beriman untuk saling menolong dalam kebaiakan yaitu kebajikan dan meninggalkan hal hal yang mungkar; hal ini dinamakan ketakwaan. Allah Swt. melarang mereka bantu membantu dalam kebatilan serta tolong menolong dalam perbuatan dosa dan hal hal yang diharamkan.
ٱلۡبِرُّ و التقوى
Makna al-birru (الْبِرِّ) dan at-taqwa (التَّقْوَى ) Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat.Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.Secara sederhana, al-birru (الْبِرِّ ) bermakna kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat.
“Al-Birru adalah satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela apabila melakukannya”.(Imam Ibnul Qayyim).
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā mengajak untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai. Barang siapa memadukan antara ridha Allah dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.
d. Munasabah ayat
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah yang disebut dengan albirr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan Dia Azza wa Jalla melarang mereka saling mendukung kebatilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menilai ayat di atas memiliki urgensi tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua jenis bagi kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara mereka dengan sesama, ataupun dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak luput dari dua kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah Azza wa Jalla dan kewajiban sosialnya terhadap sesamanya.
Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang dengan sesama dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap ridha Allah Azza wa Jalla dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mewujudkan hal tersebut, dan itulah kebaikan serta ketakwaan yang merupakan inti dari agama ini.
Al-Mâwardi rahimahullah berkata: Allah Azza wa Jalla mengajak untuk tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah Azza wa Jalla. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai (meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah Azza wa Jalla dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.
Pada akhir suarah Al-Ma’idah. Allah menyatakan diri-Nya sebagai pemilik kerajaan langit, bumi dan isinya sekaligus menguasai dan mengaturnya sesuai kehendak-Nya. Maka pada awal surah Al An’am Allah memuji diri-Nya karena dialah yang telah menciptakan langit, bumi dan seisinya serta segala peristiwa terjadi didalamnya.
e. Kandungan Hukum
Isi kandungan ayat almaidah ayat 2, perintah saling tolong menolong dalam mewujudkan kebaiakan dan ketaqwaan. Dalam surat At-tin ayat 4: allah swt telah memberikan kemuliaan begitu tinggi pada manusia, bukan hanya bentuk fisik dan psikis tapi juga dari segi kedudukannya. Namun apabila manusia tidak bisa menaati amanah yang begitu besar, maka drajatnya akan turun ketingkat paling hina, bahkan lebih hina dari binatang sekalipun. Dalam surat al-baqarah:125, dalam kehidupan bersama haruslah ada yang yang namanya rumah, yang menjadi medan peleburan ras setiap manusia, sehingga manusia menyatu dalam persaudaraan global. Harapannya dari situ halanglah gradasi supervisal (ras, suku, warna kulit, kekayaan, bangsa, jabatan, dsb), dan digantikan gradasi supervisal yang bernama taqwa.
C. Hadist Hiwalah
Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong-menolong yang merupakan bentuk manifestasi dari semangat ayat tersebut. Landasan syariah Hawalah: Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sabda Rosullah saw:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الغَنِيَّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعُ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ (رواه بخري مسلم)
“Dari Abu Khurairah Radhiyallah Anhu, bahwa Rasulullah Shallahhu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian diminta untuk mengalihkan utang kepada orang kaya, maka hendaklah dia menerimanya,. (HR Bukhari-Muslim).
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.
a. Mufradat
المعنى
Penundaan pembayaran utang مَطْلُ
Mengalihkan utang مَلِيٍّ
Diminta أُتْبِعُ
b. Makna Ijmali
Lafadz al-mathlu menimbulkan pengertian bahwa tidak diharamkan penundaan pelunasan utang, tapi dia wajib melunasi utang, kecuali jika orang yang memberi utang meminta pelunasannya, atau jika dia memberi isyarat kehendaknya untuk meminta pelunasan utang.
Pengharaman dikhususkan bagi orang kaya yang memungkinkan melunasi utang. Adapun orang miskin yang lemah, karena alasan-alasan tertentu. Maka dia dimaafkan.
Pengharaman menuntut pelunasan utang kepada orang miskin dan keharusan memberi tempo kepada orang kaya, karena pengharaman menunda pelunasan utang dan keharusan melunasi utang, tertuju kepada orang kaya yang memiliki kemampuan meunasi utang. Adapun orang miskin, tidak boleh menambah kesempitan dirinya, karena dia dimanfaatkan.
Di dalamnya terkandung perintah kepada orang yang berutang untuk melunasinya, di samping perintah kepada orang yang memberi utang untuk menerima pengalihan utang kepada orang yang kaya.
c. Munasabah ayat
Pengharaman penundaan pembayaran utang oleh orang kaya dan keharusan melunasi utangnya terhadap orang yangmemberi utang.Menurut Zhahir, jika orang yang berutang mengalihkan utangnya kepada orang kaya, maka hendaklah orang yang memberi utang menerima pengalihan ini.
d. Kandungan Hukum
Pertama, jika hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan utang. Demikian menurut jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya akad hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya.
Ulama Maliky, Ulama Syafi’iyah serta jumhur Ulama menyatakan bahwa hadis di atas menjadi dasar ketidakbolehan menahan hartanya orang yang tidak mampu membayar dan tidak bisa menahan hartanya sampai ia mampu membayar. Ketentuan hawalah yang ada dalam hadist harus mendapat persetujuan dari muhil dan tidak harus mendapat persetujuan muhal alaih. Menurut madzhab Hanafi, persetujuan muhal alaih juga disyaratkan dalam hawalah, karena akad hawalah agar seorang yanng memiliki tanggungan utanng tidak mengulur-ngulur waktu pembayaran. Jika persetujuan muhal alaih tidak disyaratkan dalam akad hawalah maka akan menyangkal maksud dari akad hawalah, artinyamuhal alaih akan mengulur-ngulur waktu pembayaran dengan beralasan tidak menyetujui akad hawalah tersebut.
Jika hawalah sudah cukup syarat dan disepakati oleh muhil dan mugtal maka muhtal tidak bisa menagih kepada muhil. Hal ini bedasarkan pada persyaratan kaya pada orang yang menjadi muhal alaih. Jika masih diperbolehkan menagih kepada muhil maka persyaratan kaya dalam hadist tidak memiliki manfaat sama sekali. Menurut ulama Hanafiyah hukum menagih hutangnya kepada muhil diperbolehkan jika utang yang berada pada muhal alaih tidak bisa untuk diterima karena bangkrut atau lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hiwalah adalah akad pengalihan utang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggungnya (membayar)nya.Hawalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah QS Al-Maidah:2.
Akad hawalah ini merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut.
Kemudian berdasarkan hadist hawalah: Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sabda Rosullah saw:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الغَنِيَّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعُ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ (رواه بخري مسلم)
Artinya: dari Abu Khurairah Radhiyallah Anhu, bahwa Rasulullah Shallahhu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian diminta untuk mengalihkan utang kepada orang kaya, maka hendaklah dia menerimanya,. (HR Bukhari-Muslim). Nabi bersabda “Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib menerima kewajiban itu”.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Pers & Tazkia Institut, 2001.
Abu ‘Abduallah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakar Ibn Farh Al-Anshari Al-Khazraji Syamsy Al-Din, Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur‘Ân, Tahqîq: ‘Abdur-Razzaq Al-Mahdi, (Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Bairut, Cetakan 2, Tahun 1421H Juz 6, 45.
Al-Ustadzu Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Munir, Juz V, Beirut: Darul Fikr.
Dikutip dari majalah As-Sunnah Edisi, 05/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Fatwa Dsn Mui No.12/Dsn-Mui/Iv/2000 Tentang Hawalah.
Hakim Atang Abd., Fiqih Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2011.
Isma’il Al Imam Abul Fida, Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Digital Jilid 6, Sinar Baru Algesindo.
Saefudin Muhammad Hijaz Terjemah Per Kata, Jakarta: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2010.
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (Di Bawah Naungan Qur’an), Jakarta : Gema Insani, 2002.
Shihab Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1994.
Mardani, Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, cet k-2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Yayasan Penyelenggara Dan Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1994.