“Perspektif Empat Mazhab tentang Pemanfaatan Barang Gadai”
https://alawialbantani.blogspot.com/2018/07/perspektif-empat-mazhab-tentang.html
“Perspektif Empat Mazhab tentang
Pemanfaatan Barang Gadai”
Proram Magister (S2) Ekonomi Syariah UIN Sunan
Gunung Djati Bandung 2015.
ABSTRAK.
Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan tolong
menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang
kurang mampu. Bentuk dari tolong menolong itu bisa berupa pemberian dan bisa
juga berupa pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam telah mengatur
sedemikian rupa agar tidak ada pihak yang dirugikan, oleh sebab itu murtahin diperbolehkan meminta barang
sebagai jaminan utang kepada rahin.
Konsep tersebut dikenal dalam fiqih dengan rahn.
Tujuan dari pemberian jaminan adalah sebagi bentuk tanggung jawab rahin kepada murtahin jika utang tidak bisa dibayar maka jaminan bisa dijual
untuk membayar utang kepada murtahin. Akan
tetapi jaminan tersebut seyogyanya tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin, karena marhun pada hakikatnya masih milik rahin bukan milik murtahin. Akan
tetapi karena murtahin sebagai
pemegang amanat, yaitu memegang marhun, maka
meski rahin yang menguasai marhun, maka rahin harus memberi imbalan kepeda murtahin.
Kata Kunci. Murtahin, Rahin, Rahn, Marhun.
A.
Pendahuluan.
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu
makhluk berkordinat hidup dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial dalam
hidupnya manusia membutuhkan orang lain yang bersama-sama hidup dalam
masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu samma
lain, didasari atau tidak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan orang lain
yang disebut muamalah.
Masalah muamalah selalu terus
berkembang, tetapi perlu diperhatikan agar perkembangan tersebut tidak
menimbulkan kesulitan-kesulitan hidup pada pihak tertentu yang disebabkan oleh
adanya tekanan-tekanan atau tipuan dari pihak lain. Salah satu perwujudan dari muamalah yang
disyariatkan oleh Allah adalah gadai berdasarkan firman Allah SWT.
وَإِن
كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٖ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ فَإِنۡ
أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ
ٱللَّهَ رَبَّهُۥۗ وَلَا تَكۡتُمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَۚ وَمَن يَكۡتُمۡهَا فَإِنَّهُۥٓ
ءَاثِمٞ قَلۡبُهُۥۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[2]
Gadai
merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang untuk kepercayaan
dari orang yang berpiutang. Maka orang yang berpiutang menggadaikan barangnya
sebagai jaminan terhadap utang itu. Barang tetap milik orang yang menggadaikan rahin praktek seperti ini sudah ada
sejak zaman Rasulullah SAW.
B.
Perspektif Empat Mazhab tentang Pemanfaan Barang
Gadai.
Dalam pengambilan manfaat jumhur
barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, diantara jumhur
ulama fuqaha dan Ahmad. Jumhur Fukaha berpendapat bahwa Murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian
tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya,
karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila
dimanfaatkan termasuk riba. Rasul bersabda” setiap
utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba[3]”.[4]
Ulama Hanafiyah[5] berpendapat
bahwa murtahin tidak boleh
memanfaatkan borg, sebab dia hanya
menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. Sebagian ulama Hanafiyah, ada
yang membolehkan memanfaatkannya jika diizinkan oleh rahin, tetapi sebagian lainnya tidak membolehkannya sekalipun ada
izin bahkan mengatakannya sebagai riba. Jika
disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan borg,
hukumnya haram sebab termasuk riba.[6]
Ulama Hanafiyah melarang murtahin memanfaatkan borg karena murtahin bukan harus mengasai borg
tetapi hanya memegang surat-surat borg
yang dalam penelitian penulis berarti murtahin
hanya memegang surat-surat tanah (lahan) yang dijadikan borg, sebagai jaminan atas utang yang rahin kepada murtahin. Bahkan ulama Hanafiyah tidak membolehkan murtahin memanfaatkan borg sekalipun rahin mengizinkannya, karena memanfaatkan borg termasuk riba, yang mana riba adalah perkara yang dilarang
oleh agama Islam.
Ulama Malikiyah[7]
membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin disyaratkan ketika akad, dan borg tersebut berupa barang yang dapat
diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir
senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah. [8]
Penulis berpendapat ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah yang memperbolehkan murtahin memanfaatkan
borg itu jika dizinkan oleh rahin, dalam kontek rahin mengizinkan ini perlu dianalisis lebih dalam, apakah rahin mengizinkan murtahin memanfaatkan borg karena
ikhlas atau karena adanya paksaan.
Menurut penulis rahin mengizinkan
murtahin memanfaatkan borg itu karena adanya keterpaksaan, keterpaksaan
ini bermacam bentuknya, antara lain: (1). Paksaan karena adat kebiasaan
masyarakat yang melakukan praktek gadai seperti itu, dan (2). Paksaan karena
keadaan, rahin terpaksa melepaskan marhun karena jika tidak, rahin tidak akan mendapatkan uang yang
memang sedang dibutuhkan. Dalam pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah juga harus
ditentukan waktunya secara jelas, sementara apa yang penulis dapatkan
dilapangan tidak ada batasan waktu gadai sehingga borg dimanfaatkan oleh imurtahin sampai puluhan tahun, jadi menurut
penulis pemanfaatan marhun oleh murtahin tidak wajar dan masuk dalam
kategori riba.
Ulama Hanabilah[9]
mereka berpendapat, jika borg berupa
hewan, murtahin boleh memanfaatkan
seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya, meskipun
tidak diizinkan oleh rahin. Adapn borg selain hewan, tidak boleh
dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.[10]
Ulama Hanbaliyah membolehkan
memanfaatkan marhun itupun jika marhun berupa hewan atau kendaraan yang
memerlukan perawatan dan itu pun memanfaatkannya sealakadarnya, bukan
menguasainya akan tetapi apa yang penulis temukan sebaliknya, murtahin menguasai marhun sepenuhnya, dan marhun
bukan hewan atau kendaraan, tetapi lahan.
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Latis, dan
Al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat digunakan atau
binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil
manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan
yang dilakukannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasul
bersabda “binatang tunggangan boleh
ditunggangi karena pembiayaan apabila digadaikan, binatang boleh diambil
susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang yang
memegang dan meminumnya wajib mmberikan biaya” [11]
Pendapat Imam Ahmad, Ishak, al-Latis dan
al-Hasan menurut penulis senada dengan pendapat ulama Hanbaliyah, yang
membolehkan memanfaatkan marhun jika marhun berupa hewan atau kendaraan,
sealakadarnya saja sebagai pengganti pemeliharaan.
Hak mengurusi borg, penguasaan
atas borg sebenarnya berkaitan dengan
utang rahin, yakni untuk memberikan
ketenangan kepada murtahin apabila rahin tidak mampu membayar utang. Ia
dapat membayarnya dengan borg. Menurut
ulama Hanafiyah, keberlangsungan akad pada rahn
bergantung pada borg yang
dipegang murtahin, sedangkan menurut
ulama Syafi’iyah, penguasaan borg semata-mata
sebagai penolong untuk membayar utang rahin.[12]
Menjaga barang gadaian, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin harus menjaga borg sebagaimana menjaga barang miliknya
sendiri, yakni seperti barang titipan.[13]
Jika murtahin
diberikan kewajiban menjaga borg layaknya
menjaga barang titipan, maka penulis berpendapat murtahin tidak boleh memanfaatkannya, layaknya tukang parkir yang
diberi tanggungan menjaga kendaraan, akan tetapi karena murtahin harus menjaga borg maka
rahin harus membayar kepada murtahin atas jasa perawatan borg tersebut karena jika borg hilang maka murtahin harus mengganti.
Pembiayaan atas borg, ulama fiqih sepakat bahwa rahin berkewajiban membiayai atau mengurus rahn. Namun diantara mereka berbeda pendapat tentang jenis
pembiayaan yang harus diberikan. (1). Ulama Hanafiyah[14] berpendapat
bahwa pembiayaan dibagi antara rahin dan
murtahin, yakni rahin yang memberikan pembiayaan dan murtahin yang berhubungan dengan penjagaannya. Rahin berkewajiban memberikan keperluan hidup borg jika borg berupa hewan, juga upah pengembala
dan upah menjaga bagi murtahin. Hanya
saja murtahin tidak boleh
memanfaatkan borg tanpa seizin rahin. (2). Ulama Hanabilah, Syafi’iyah,
dan Malikiyah[15] berpendapat bahwa rahin bertanggung jawab atas pembiayaan borg, baik yang berhubungan pemberian
keperluan hidup atau yang berhubungan dengan penjagaan. [16]
Hemat penulis dalam perawatan borg, yang dalam penelitian penulis
adalah tanah (lahan) adalah hak rahin, tetapi
surat-suratnya dipegang oleh murtahin.
rahin menjaga dan mengambil manfaat borg,
tetapi rahin harus membagi
keuntungan borg kepada murtahin selama rahin belum melunasi utang sebagai imbalan kepada murtahin, karena telah menjaga
surat-surat borg, sebab jika
surat-surat tersebut hilang maka itu menjadi tanggung jawab murtahin, maka dengan itu murtahin menurut penulis layak mendapat
imbalan atas tanggung jawabnya tersebut.
Hukum bagi rahin, jika ia tidak mau membiayai borg, adalah sebagai berikut: (1). Menurut ulama Malikiyah, jika rahin tidak mau membiayai borg, murtahin harus membiayainya, kemudian dijadikan utang bagi rahin, baik atas seizin rahin maupun tidak. (2). Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin harus
dipaksa untuk membiayai borg jika rahin ada. Akan tetapi, jika rahin tidak ada diperlukan bantuan hakim
untuk mengambil sebagian borg atau
hakim menyuruh murtahin untuk
membiayainya kemudian dijadikan utang lagi. Jika pembiayaan murtahin atas borg tanpa seizin hakim, murtahin
harus bersumpah bahwa pembiayaan atas borg
dimaksudkan agar kelak diganti oleh rahin.
(3). Ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika pembiayaan tanpa seizin rahin, padahal dimungkinkan meminta izin
kepadanya, rahin tidak diharuskan
menggantinya. Akan tetapi, jika murtahin tidak
dimungkinkan untuk meminta izin pada rahin,
murtahin harus mengembalikan
pembiayaan tersebut walaupun tidak disaksikan oleh hakim. [17]
Tasharuf rahn, (1). Rahin dibolehkan
mengusahakan borg, seperti
meminjamkan, menjual, hibah, sedekah, dan sebagainya sebelum diserahkan kepada murtahin. Teapi rahin tidak boleh memangusahakan borg setelah diserahkan kepada murtahin,
kecuali atas seizin murtahin. (2).
Murtahin tidak dibolehkan untuk tasyaruf borg tanpa seizin rahin, hal ini karena perbuatan itu
dapat diartikan bahwa ia telah mengusahakan barang yang bukan miliknya. [18]
Tangggung jawab atas borg, (1). Sifat tanggung jawab murtahin, para ulama terjadi menjadi dua golongan. (a). Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa borg dapat
dipandang sebagai amanat jika memandang zat hatra yang digadaikan dan dapat
dianggap tanggungan jika memandang borg sebagai
harta untuk membayar utang, (b). Jumhur ulama berpendapat bahwa borg adalah
amanat maka murtahin tidak bertanggung jawab atas kerusakannya jika bukan
disebabkan oleh kesalahannya. (2). Cara tanggung jawab murtahin, (a). Ulama Hanafyah berpendapat bahwa borg dapat menanggung utang. Jika
nilainya lebih kecil, kekurangannya dikembalikan kepada rahin. Sebaliknya jika borg lebih
besar dari utang, kelebihannya harus dikembalikan kepada rahin. (b). Jumhur ulama berpendapat bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas marhun, jika rusak tanpa disengaja, dan utang tidak dianggap lunas.
(3). Hukum borg yang rusak, ulama
sepakat, jika borg rusak dengan
sengaja perusaknya harus bertanggung jawab[19]
Karena yang dikaji oleh penuli adalah
gadai tanah (lahan), menurut penulis, murtahin
tidak berhak menguasai borg, maka
murtahin hanyalah berhak memegang
surat-surat borg, Jadi jika borg rusak ditangan murtahin yaitu surat-surat borg
hilang karena kelalaian murtahin, maka
murtahin harus menggantiinya. Tetapi
karena borg berupa tanah maka
kerusakan yang diakibatkan oleh rahin sangatlah
tidak mungkin, kecuali tanah tersebut rusak karena akibat alam, seperti langsor
dan sebagainya, apabila rahin mau
menjual borg tanpa sepengetahuan murtahin itu juga tidak mungkin karena surat-surat ada ditangan murtahin. Tapi jika diatas tanah ada
tanaman, seperti pohon kelapa, mangga, rambutan dan sebagainya itupun rahin tdak harus mengganti kepada murtahin, hanya saja utang rahin kepada murtahin tetap harus dibayar.
Menjual Rahn, (1). Kekuasaan menjual rahn (a). Penjualan waktu pilihan (berlangsungnya rahn) ulama spakat bahwa yang berhak
menjual rahn adalah rahin, tetapi harus seizin murtahin. (b). Penjualan secara paksa,
hakim diharuskan memaksa rahin untuk
menjual borg jika ia tidak mampu
membayar utang sampai batas waktu yang telah ditentukan. (2). Menjual barang
yang cepat rusak, apa bila borg cepat
rusak jika tidak segera dijual dan tidak dapat bertahan lama, murtahin dibolehkan menjualnya atas
seizin hakim. (3). Hak menetapkan harga. jumhur ulama sepakat bahwa murtahin lebih berhak menentukan harga
jual borg sehingga dapat menutupi
utang rahin. (4). Murtahin mensyaratkan untuk memiliki borg. Ulama sepakat bahwa murtahin tidak boleh mensyaratkan bahwa
jika rahin tidak mampu membayar
utang, borg menjadi miliknya. Syarat
seperti itu dikategorikan fasid.[20]
Pertambahan borg. Ulama fiqih sepakat bahwa tambahan yang ada pada borg adalah milik rahin, sebab dialah pemilik aslinya. (1). Ulama Hanafiyah[21]
berpendapat bahwa tambahan yang terjadi pada borg yang termasuk rahn, baik
yang berkaitan dengan rahn, seperti
buah, susu, dan lain-lain atau yang terpisah, seperti anak hewan. Adalah
tambahan yang tidak berkaitan dengan rahn,
seperti upah merupakan milik rahin, (2).
Ulama Malikiyah[22]
C.
Contoh Kasus pemanfaatan Marhun oleh murtahin.
Pada tahun 2000, rahin menggadaikan
sebidang lahan berupa kebun seluas 2 (dua) hektar yang mana didalamnya
terdapat: 25 pohon cengkih, 50 pohon kelapa, 5 batang pohon rambutan, 5 batang
pohon mangga, kepada murtahin sejumlah
50 rgam emas, pada tahun 2000 harga emas per gram Rp. 300.000,-
(300.000x50=15.000.000), uang yang didapat rahin
dari murtahin. Kalau pada tahun
2015 rahin mau membayar utang
sedangkan harga emas pada tahun 2015 Rp. 500.000,- / gram, maka uang yang
hharus dikeluarkan oleh rahin sebesar
(500.000,-x50=25.000.000), maka lebihnya Rp. 10.000.000,- sedangkan lahan
tempat rahin mencari nafkah dikuasai
sepenuhnya oleh murtahin, maka dalam
tempo waktu 15 tahun berapa keuntungan murtahin dari penghasilan 25 pohon cengkih, 50
pohon kelapa, 5 batang pohon rambutan, 5
batang pohon mangga. Maka penulis perkirakan dari 15 tahun tersebut keuntungan
dari marrhun sudah melebihi harga
emas pada tahun 2000.
D.
Penemuan Penulis terhadap Praktek Gadai di Kabupaten
Lebak Banten.
Pada tanggal 28 Desember 2013 sampai
dengan tanggal 24 Januari 2014 penulis melakukan penelitian untuk menyelesaikan
tugas ilmiyah, yaitu penulisan skripsi yang berjudul Aplikasi Akad Gadai Lahan Pertanian Dengan Imbalan Emas, yang
berlokasi di Kabupaten Lebak Banten. Dalam penelitian tersebut penulis
melakukan wawancara antara lain kepada: (1). Rahin, (2). Murtahin, (3).
Tokoh Masyarakat, (4). Pemerintah setempat, dan (5). Pemuka Agama. Dari hasil
wawancara tersebut penulis mendapatkan hasil
1.
Pendapat Rahin terhadap praktek Gadai.
Dari 10 (sepuluh) rahin yang penulis wawancara, semuanya menyatakan merasa dirugikan
dengan adanya praktek gadai lahan pertanian. Hal ini menurut penulis sangat
logis apa yang diungkapkan oleh rahin, karena
praktek gadai tersebut bukan menolong, tetapi merugikan rahin. Diantara kerugian-kerugian rahin antara lain: (1). Marhun
dikuasai oleh Murtahin sehingga rahin kehilangan mata pencaharian. (2).
Gadai menggunakan imbalan emas, yang mana emas tiap tahun relatif naik
harganya, sehingga kesempatan rahin untuk
mengembalikan utang semakin sulit. Akibatnya marhun semakin lama dikuasai Murtahin.
(3). Marhun relativ rusak, karena
kebanyakan Marhun tidak merawat marhun sebagaimana mestinya.
2.
Pendapat Murtahin terhadap praktek Gadai
Untuk memperoleh jawaban penulis juga
mewawancara 10 (sepuluh) Murtahin. Pengakuan
Rahin yang merasa dirugikan, akan
berbeda dengan pengakuan Murtahin yang
merasa diuntungkan dengan adanya praktek gadai tersebut, meskipun mereka merasa
menolong terhadap rahin.
Dari
hasil wawancara dengan Murtahin, penulis
meyakini bahwa murtahin sangat
diuntungkan, mereka mendapat keuntungan dari barang gadaian, bahkan dari hasil
gadaian akan berlipat ganda keuntungannya, selain itu murtahin juga mendapat keuntungan dari hasil penjualan emas yang
setiap tahun relatif akan naik harganya. Pada dasarnya murtahin menolong tetapi dalam menolong ada pihak yang dirugikan,
maka menurut penulis praktek gadai tersebut masuk dalam kategori riba.
3.
Pendapat ulama dan Tokoh Masyarakat terhadap praktek
Gadai di lebak Banten.
Dari hasil wawancara dengan sejumlah
tokoh masyarakat dan ulama setempat, penulis mendapatkan jawabannya, menurut
ulama setempat praktek pengabilan manfaat marhun
itu boleh, karena antara rahin dan
murtahin sudah antarodin. Namun menurut penulis antaradin disini bukan antarodin
yang sebagaimana hukum Islam maksudkan, mereka antaradin karena terikat kebiasaan dan karena adanya keterpaksaan,
yaitu keadaan eonomi yang pada saat itu sedang melilit rahin, jadi rahin tidak
ada pilihan lain selain merelakan barangnya dikuasai oleh murtahin.
E.
Paktor-paktor terjadinya praktek gadai lahan di
Kabupaten Lebak Banten.
Paktor kebiasaan. Praktek gadai lahan dengan imbalan emas di kab.
Lebak Banten sudah menjadi sebuah kebiasaan, lambat laun kebiasan mereka
menjadi tradisi, tanpa disadari tradisi tersebut sudah merusak tatanan hukum
Islam, penulis katakan demikian karena mereka mengatas namakan praktek Islam
tapi dalam pelaksanaannya. Sebenarnya apa yang telah mereka lakukan adalah
merugikan pihak rahin.
Faktor kebutuhan ekonomi. Masyarakat Kab. Lebak banten pada umumnya petani,
mereka menggantungkan hidup dari becocok tanam, apabila musim kemarau tiba maka
mereka akan menghabiskan dari hasil bercocok tanam tersebut. Tetkala ada
kebutuhan yang mendesak maka mereka akan menggadaikan lahan,
Kurangnya Pemahaman Terhadap Hukum
Ekonomi Islam. Sebenarnya
mayoritas penduduk Kab. Lebak pernah mensntren seharusnya mereka memahami tentang
konsep hukum Islam, namun dalam kenyataannya banyak tokoh bahkan ulama setempat
yang masih melakukan praktek tersebut. Hal ini lah yang membuat penulis
prihatin melihat fenomena tersebut.
Tidak adanya sumber lain selain
praktek gadai lahan. Ditempat penulis
mengadakan penelitian, masyarakatnya tidak memiliki pencaharian seperti halnya
masyarakat perkotaan, mereka mengandalkan hidup dari bercocok tanam. Apabila
mereka memerlukan uang yang sifatnya mendesak, maka jalan satu-satunya
menggadaikan lahan tempat mereka mengais rejeki. Setelah lahan itu digadaikan
maka mereka tidak mempunyai pencaharian lagi, selain harus menjadi buruh di
lahannya sendiri, karena lahan tempat mereka mencari rejeki telah dikuasai oleh
murtahin.
Lemahnya penegakan hukum. Penulis
mengatakan timbulnya praktek gadai yang tidak sesuai dengan hukum syara
di Kab. Lebak Banten, yaitu dalam bentuk pemanfaatan marhun oleh murtahin ini
disebabkan karena lemahnya penegakan hukum, yang dalam hal ini adalah para
ulama, ulama di daerah tersebun nampaknya sudah tidak sanggup lagi untuk mencegah,
bahkan ironisnya para ulama ikut melakukan praktek gadai tersebut.
Kurangnya
kesadaran terhadap hukum islam. Kesadaran
menjalankan agama Islam dengan kaffah memang
tidak mudah, semudah membalikan telapak tangan, namun kita perlu mengupayakan
hal tersebut, karena hukum Islam yang dibawa oleh Rasulullah, SAW adalah rahmatan lil alamin, hukum Islam adalah
hukum yang sempurna, karena tidak akan ada lagi hukum yang akan menyempurnakan
hukum Islam, hukum Islam bersifat komprehensif
dan universal. Koprehensif berarti
syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun
sosial (muamalah). Ibadah diperlukan untuk mmenjaga ketaatan dan keharmonisan
hubungan masusia dengan Khalik-nya. Adapun
muamalah diturunkan untuk menjadi rules
of the games atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial. Universal bahwa hukum Islam dapat
diterapkan kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun sampai hari kiamat
nanti. Al-qur’an telah memberikan pedoman-pedoman dalam bermuamalah yang benar
antara lain:
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ
بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا
عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ
أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ
وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن
لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى
ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ
٤٨
Dan Kami telah
turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu[23]
F.
Damfak Praktek Gadai yang tidak sesuai dengan hukum
syar’i
Sistem ekonomi kafitalis timbul
dimasyarakat, sistem ekonomi
kafitalis sangat berlawanan dengan sistem ekonomi Islam, mengapa demikian?
Karena hukum ekonomi kafitalis akan memperkaya yang kaya dan memiskinkan orang
yang melarat, dalam hal ini penulis analisis bahwa jika murtahin meguasai marhun maka
hal itu sama dengan ekonomi kafitalis, karena dari penguasaan marhun yang dikusai murtahin maka murtahin akan mengumpulkan hartanya dan kemudian ia
akan menggadai kembali lahan yang lainnya, begitulah seterusnya, sehingga yang
kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.
Kemiskinan akan merajalela. Penulis katakan jika praktek gadai sebagaimana
disebutkan diatas tidak diperbaiki maka ini akan memberikan damfak negatif terhadap
masyarakat, karena orang-orang yang telah menggadaikan lahannya lambat laun
mereka akan memperbesar utangnya dan akhirnya lahan mereka akan menjadi milik
juragan tanah yaitu murtahin, selanjutnya
mereka akan menjadi buruh ditempat atu dilahannya sendiri.
Praktek ribawi akan berkembang
pesat. Praktek gadai dengan pembayaran emas dan lahan
dikuasai oleh murtahin menurut
penulis jelas telah melahirkan produk ribawi, yang padahal sudah sangat jelas
dilarang oleh Islam, sebagaimana firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.[24]
Rasul
bersabda, “riba memiliki enam puluh pintu
dosa, dosa yang paling ringan dari riba seperti dosa yang berzina dengan
Ibnunya”[25]
Praktek riba bukan hanya agama Islam yang melarang tetapi agama non Islam
pun sama melarangnya, hal ini karena riba adalah merugikan orang lain. Para
pakar sejarah pemikir ekonomi menyimpulkan kegiatan bisnis dengan sistem bunga
telah ada sejak tahun 2500 SM, baik yunani kuno, romawi kuno, maupun mesir
kuno. Pada tahun 2000 SM, di Mesopotania (wilayah Irak skarang) telah
berlangsung sistem bunga. Sementara itu, 500 tahun SM temple of babilon mengenakan bunga sebesar 20% setahun.
Menurut
catatabn sejarah, bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi melarang
keras peminjaman uang dengan bunga. Ditemui bahwa Socrates dan Aristoteles yang
mengandalkan pemikiran rasional filosofis menilai sistem bunga atau riba
sebagai sesuatu yang tersela dan tidak adil. Mereka melarang riba atas modal
pinjaman karena uang dinyatakan sebagai ayam betina yang tidak bertelur,
sekeping mata uang tidak akan beranak kepingan uag lain. Sementara itu Plao
dalam bukunya “Laws” mengutuk bunga
dan memandangnya sebagai praktek yang zalim. Kerajaan Romawi kuno juga melarang
keras setiap pungutan atas bunga. Kerajaan Romawi kuno yang pertama menerapkan
peraturan tentang bunga untuk melindungi para konsumen.
Dalam
agama Yahudi terdapat dalam kitab perjanjian lama Pasal 22 ayat 25 “jika engkau meminjamkan uang kepada salah
seorang dari umat-ku yang miskin diantara kamu, janganlah engkau berlaku
seperti seorang penagih utang dan janganlah engkau bebankan bunga uang padanya,
melainkan engkau harus takut kepada Allah-mu supaya saudaramu dapat hidup
diantaramu. Adapun pandangan agama Nasrani mengenai riba terdapat dalam
kitab perjanjian lama kitab Deuteronomy pasal
23 ayat 19, “janganlah engkau membungakan
uang maupun bahan makanan yang dapat dibungakan” dalam perjanjian baru
Injil Lukas ayat 32 “jika kamu
menghutangi kepada orang yang kamu
harapkan imbalannya, maka dimana sebenarnya kehormatan kamu, tetapi
berbuatlah kebajikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembali
karena pahala kamu akan sangat banyak[26]
Jika
agama non Islam melarangnya kenapa kita yang memiliki hukum yang begitu
sempurna malah melakukan praktek riba,
padahal alqur’an dan hadits telah jelas melarang praktek riba. Dan Allah telah menyediakan untuk kita apa-apa yang ada di
bumi agar kita mendapatkannya dengan baik, bukan dengan jalan yang tidak
diridhai oleh Allah.. firman Allah.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ
ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بَِٔاخِذِيهِ
إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ .
Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpujiharta yang baik. [27]
Hukum Islam tidak berkembang. Adanya praktek gadai dengan emas sebagai
pembayarannya menurut penulis ini akan mengakibatkan hukum Islam mengalami
kemunduran, kemunduran yang penulis maksud adalah karena hukum Islam ada tapi
tidak diakai, hukum Islam hanya dikeahui tapi tidak diimplementasikan
sebagaimana mestinya, maka jika ini dibiarkan hukum Islam tidak akan
berkembang.
Akan menghambat pembanguan dan
pendidikan. Adanya
praktek gadai lahan sebagaimana diterangkan diatas, menurut penulis akan
menghambat pembangunan dan pendidikan, bagaimana tidak terhambat pendidikan dan
pembangunan, karena harta mereka untuk menyekolahkan anaknya telah digadaikan,
sedangkan lahan itu adalah satu-satunya pencaharian mereka.
G.
Solusi terhadap praktek Gadai lahan pertanian.
Irigasi harus diperbaiki. Karena pada umumnya masyarakat pedesaan bercocok
tanam maka Irigasi harus diberbaiki agar masyarakat pedesaan agar mereka bisa
memanfaatkan lahannya secara maksimal meski kemarau tiba, seperti halnya di Kab.
Lebak Banten karena sistem irigasi yang kurang memadai, maka jika musim kemarau
tiba mereka tidak bercocok tanam disebabkan tidak adanya air.
Pemerintah menyediakan lapangan
pekerjaan. Untuk
mmenanggulangi hal tersebut, menurut penulis, pemerintah setempat harus
menyediakan lapangan pekerjaan, seperti memberikan pelatihan-pelatihan
kewirausahaan kepada masyarakat agar mereka punya keahlian dan sumber
pencaharian lain selain bercocok tanam.
Harus tersedia lembaga ekonomi
Islam. Lembaga perekonomian
dipedesaan juga harus dibentuk, agar dimana mereka membutuhkan keperluan yang
mendesak tidak harus menggadaikan lahan tempat mereka mencari nafkah, tetapi
mereka bisa meminjam dulu kepada lembaga tersebut dan mereka kan membayar
dengan hasil panen, hal ini menurut penulis akan meminimalisir terjadinya
praktek gadai lahan yang merugikan pihak petani.
Harus diadakan Penyuluhan Tentang
Hukum Ekonomi Islam, pada umumnya masyarakat belum begitu paham
tentang hukum ekonomi Islam yang sebenarnya, karena kebanyakan di pengajian-pengajian
hal tersebut jarang dibahas secara mendalam, para ulama, ustadz dan da’i
kebanyakan hanya menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah saja tidak
menyinggung masalah muamalah, maka hal ini yang membuat masyarakat kurang faham
terhadap hukum ekonomi sebagaimana mestinya. Penyuluhan menurut penulis
sangatlah penting dilakukan yaitu dengan cara pemerintah setempat melakukan
kerjasama-kerjasama dengan pihak akademisi, maka jika kerjasama ini berjalan
baik maka tugas selanjutnya adalah tugas akademisi yang memberi penjelasan
terhadap masyarakat, bagaiman bermuamalah sesuai dengan aturan hukum Islam.
Ulama dan Umara harus bersatu untuk
menegakan hukum Islam. Ulama dan umara
harus bersatu untuk menegakan hukum, karena keduanya memiliki peran yang sama
dalam penegakan hukum, jika ulama dan umara tidak bersatu maka masyarakat tidak
memiliki pigur dan akibatnya penyelewengan hukum akan banyak terjadi, seperti
halnya masalah pemanfaatan marhun oleh
murtahin. Masalah tersebut mestinya
harus menjadi perhatian dari kalangan intelektual agar
penyimpangan-penyimpangan hukum tidak terjadi di masyarakat.
[2]
QS. Al-Baqarah:283
[3] HR. Harits bin
Abi Usamah.
[4]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), 108, lihat juga Ibn Rusyid Al-Hafizh, Bidayah Al-Mujtahid wa An-Nihayah Al-Muqtashid, (Berut, Dar
AL-Fiqr), 273
[5] Alaudin
Al-Kasyani, Bada’i Ash—Shana’i fi Tartib
Syara’i. Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir, 146
[6] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 173, 174
[7] Alaudin
Al-Kasyani, Bada’i Ash—Shana’i fi Tartib
Syara’i. Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir, 146
[8] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 174
[9] Ibn Qudamah, Al-Mugni, (Mesir: Mathba’ah Al-Imam)
[10] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 174
[11] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002),109
[12] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 170,171
[13]
Rahmat
Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), 171
[14] Alaudin al-Kasyani,
Bada’i Ash—Shana’i fi Tartib Syara’i. Syirkah
Al-Mathbu’ah, Mesir, 151
[15] Muhammad Urfah
Ad-Dasuqi, Syarah al-Kabiri Ad-Dardir, juj
lll hal 251.
[16]
Rahmat
Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), 171
[17] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 171,172
[18] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 174
[19] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 175
[20] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 176
[21] Alaudin
Al-Kasyani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib
Syara’i. Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir, 152
[22] Ibn Rusid, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid,
[23] QS.
Al-Maidah: 48
[24] QS.
Al-Imran: 130
[25] HR.
Ibnu Jarir
[26] Juhaya
S. PrajaFilsafat Hukum Islam, (Bandung:LPPM
Unisba, 2003), 42,43
[27] QS.
Al-Baqarah: 267