“Perspektif Empat Mazhab tentang Pemanfaatan Barang Gadai”


“Perspektif Empat Mazhab tentang Pemanfaatan Barang Gadai”
Proram Magister (S2) Ekonomi Syariah UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2015.
ABSTRAK.
Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang kurang mampu. Bentuk dari tolong menolong itu bisa berupa pemberian dan bisa juga berupa pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam telah mengatur sedemikian rupa agar tidak ada pihak yang dirugikan, oleh sebab itu murtahin diperbolehkan meminta barang sebagai jaminan utang kepada rahin. Konsep tersebut dikenal dalam fiqih dengan rahn. Tujuan dari pemberian jaminan adalah sebagi bentuk tanggung jawab rahin kepada murtahin jika utang tidak bisa dibayar maka jaminan bisa dijual untuk membayar utang kepada murtahin. Akan tetapi jaminan tersebut seyogyanya tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin, karena marhun pada hakikatnya masih milik rahin bukan milik murtahin. Akan tetapi karena murtahin sebagai pemegang amanat, yaitu memegang marhun, maka meski rahin yang menguasai marhun, maka rahin harus memberi imbalan kepeda murtahin.
Kata Kunci. Murtahin, Rahin, Rahn, Marhun.
A.    Pendahuluan.
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk berkordinat hidup dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial dalam hidupnya manusia membutuhkan orang lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu samma lain, didasari atau tidak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan orang lain yang disebut muamalah.
Masalah muamalah selalu terus berkembang, tetapi perlu diperhatikan agar perkembangan tersebut tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan hidup pada pihak tertentu yang disebabkan oleh adanya tekanan-tekanan atau tipuan dari pihak lain.  Salah satu perwujudan dari muamalah yang disyariatkan oleh Allah adalah gadai berdasarkan firman Allah SWT.
وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٖ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥۗ وَلَا تَكۡتُمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَۚ وَمَن يَكۡتُمۡهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٞ قَلۡبُهُۥۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[2]
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang untuk kepercayaan dari orang yang berpiutang. Maka orang yang berpiutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utang itu. Barang tetap milik orang yang menggadaikan rahin praktek seperti ini sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
B.     Perspektif Empat Mazhab tentang Pemanfaan Barang Gadai. 
Dalam pengambilan manfaat jumhur barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, diantara jumhur ulama fuqaha dan Ahmad. Jumhur Fukaha berpendapat bahwa Murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Rasul bersabda” setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba[3]”.[4]
Ulama Hanafiyah[5] berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg, sebab dia hanya menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. Sebagian ulama Hanafiyah, ada yang membolehkan memanfaatkannya jika diizinkan oleh rahin, tetapi sebagian lainnya tidak membolehkannya sekalipun ada izin bahkan mengatakannya sebagai riba. Jika disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan borg, hukumnya haram sebab termasuk riba.[6]
Ulama Hanafiyah melarang murtahin memanfaatkan borg karena murtahin bukan harus mengasai borg tetapi hanya memegang surat-surat borg yang dalam penelitian penulis berarti murtahin hanya memegang surat-surat tanah (lahan) yang dijadikan borg, sebagai jaminan atas utang yang rahin kepada murtahin. Bahkan ulama Hanafiyah tidak membolehkan murtahin memanfaatkan borg sekalipun rahin mengizinkannya, karena memanfaatkan borg termasuk riba, yang mana riba adalah perkara yang dilarang oleh agama Islam.  
Ulama Malikiyah[7] membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin disyaratkan ketika akad, dan borg tersebut berupa barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah. [8]
Penulis berpendapat ulama Malikiyah dan Syafi’iyah yang memperbolehkan murtahin memanfaatkan borg itu jika dizinkan oleh rahin, dalam kontek rahin mengizinkan ini perlu dianalisis lebih dalam, apakah rahin mengizinkan murtahin memanfaatkan borg karena ikhlas atau karena adanya paksaan.  Menurut penulis rahin mengizinkan murtahin memanfaatkan borg itu karena adanya keterpaksaan, keterpaksaan ini bermacam bentuknya, antara lain: (1). Paksaan karena adat kebiasaan masyarakat yang melakukan praktek gadai seperti itu, dan (2). Paksaan karena keadaan, rahin terpaksa melepaskan marhun karena jika tidak, rahin tidak akan mendapatkan uang yang memang sedang dibutuhkan. Dalam pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah juga harus ditentukan waktunya secara jelas, sementara apa yang penulis dapatkan dilapangan tidak ada batasan waktu gadai sehingga borg dimanfaatkan oleh imurtahin sampai puluhan tahun, jadi menurut penulis pemanfaatan marhun oleh murtahin tidak wajar dan masuk dalam kategori riba.
Ulama Hanabilah[9] mereka berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya, meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapn borg selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.[10]
Ulama Hanbaliyah membolehkan memanfaatkan marhun itupun jika marhun berupa hewan atau kendaraan yang memerlukan perawatan dan itu pun memanfaatkannya sealakadarnya, bukan menguasainya akan tetapi apa yang penulis temukan sebaliknya, murtahin menguasai marhun sepenuhnya, dan marhun bukan hewan atau kendaraan, tetapi lahan.
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Latis, dan Al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat digunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dilakukannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasul bersabda “binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaan apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang yang memegang dan meminumnya wajib mmberikan biaya” [11]
Pendapat Imam Ahmad, Ishak, al-Latis dan al-Hasan menurut penulis senada dengan pendapat ulama Hanbaliyah, yang membolehkan memanfaatkan marhun jika marhun berupa hewan atau kendaraan, sealakadarnya saja sebagai pengganti pemeliharaan.
Hak mengurusi borg, penguasaan atas borg sebenarnya berkaitan dengan utang rahin, yakni untuk memberikan ketenangan kepada murtahin apabila rahin tidak mampu membayar utang. Ia dapat membayarnya dengan borg. Menurut ulama Hanafiyah, keberlangsungan akad pada rahn bergantung pada borg yang dipegang murtahin, sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, penguasaan borg semata-mata sebagai penolong untuk membayar utang rahin.[12]
Menjaga barang gadaian, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin harus menjaga borg sebagaimana menjaga barang miliknya sendiri, yakni seperti barang titipan.[13]
Jika murtahin diberikan kewajiban menjaga borg layaknya menjaga barang titipan, maka penulis berpendapat murtahin tidak boleh memanfaatkannya, layaknya tukang parkir yang diberi tanggungan menjaga kendaraan, akan tetapi karena murtahin harus menjaga borg maka rahin harus membayar kepada murtahin atas jasa perawatan borg tersebut karena jika borg hilang maka murtahin harus mengganti.
Pembiayaan atas borg, ulama fiqih sepakat bahwa rahin berkewajiban membiayai atau mengurus rahn. Namun diantara mereka berbeda pendapat tentang jenis pembiayaan yang harus diberikan. (1). Ulama Hanafiyah[14] berpendapat bahwa pembiayaan dibagi antara rahin dan murtahin, yakni rahin yang memberikan pembiayaan dan murtahin yang berhubungan dengan penjagaannya. Rahin berkewajiban memberikan keperluan hidup borg  jika borg berupa hewan, juga upah pengembala dan upah menjaga bagi murtahin. Hanya saja murtahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizin rahin. (2). Ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah[15]  berpendapat bahwa rahin bertanggung jawab atas pembiayaan borg, baik yang berhubungan pemberian keperluan hidup atau yang berhubungan dengan penjagaan. [16]
Hemat penulis dalam perawatan borg, yang dalam penelitian penulis adalah tanah (lahan) adalah hak rahin, tetapi surat-suratnya dipegang oleh murtahin. rahin menjaga dan mengambil manfaat borg, tetapi rahin harus membagi keuntungan borg kepada murtahin selama rahin belum melunasi utang sebagai imbalan kepada murtahin, karena telah menjaga surat-surat borg, sebab jika surat-surat tersebut hilang maka itu menjadi tanggung jawab murtahin, maka dengan itu murtahin menurut penulis layak mendapat imbalan atas tanggung jawabnya tersebut.
Hukum bagi rahin, jika ia tidak mau membiayai borg, adalah sebagai berikut: (1). Menurut ulama Malikiyah, jika rahin tidak mau membiayai borg, murtahin harus membiayainya, kemudian dijadikan utang bagi rahin, baik atas seizin rahin maupun tidak. (2). Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin harus dipaksa untuk membiayai borg jika rahin ada. Akan tetapi, jika rahin tidak ada diperlukan bantuan hakim untuk mengambil sebagian borg atau hakim menyuruh murtahin untuk membiayainya kemudian dijadikan utang lagi. Jika pembiayaan murtahin atas borg tanpa seizin hakim, murtahin harus bersumpah bahwa pembiayaan atas borg dimaksudkan agar kelak diganti oleh rahin. (3). Ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika pembiayaan tanpa seizin rahin, padahal dimungkinkan meminta izin kepadanya, rahin tidak diharuskan menggantinya. Akan tetapi, jika murtahin tidak dimungkinkan untuk meminta izin pada rahin, murtahin harus mengembalikan pembiayaan tersebut walaupun tidak disaksikan oleh hakim. [17]
Tasharuf rahn, (1). Rahin dibolehkan mengusahakan borg, seperti meminjamkan, menjual, hibah, sedekah, dan sebagainya sebelum diserahkan kepada murtahin. Teapi rahin tidak boleh memangusahakan borg setelah diserahkan kepada murtahin, kecuali atas seizin murtahin. (2). Murtahin tidak dibolehkan untuk tasyaruf borg tanpa seizin rahin, hal ini karena perbuatan itu dapat diartikan bahwa ia telah mengusahakan barang yang bukan miliknya. [18]  
Tangggung jawab atas borg, (1). Sifat tanggung jawab murtahin, para ulama terjadi menjadi dua golongan. (a). Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa borg dapat dipandang sebagai amanat jika memandang zat hatra yang digadaikan dan dapat dianggap tanggungan jika memandang borg sebagai harta untuk membayar utang, (b). Jumhur ulama berpendapat bahwa borg adalah amanat maka murtahin tidak bertanggung jawab atas kerusakannya jika bukan disebabkan oleh kesalahannya. (2). Cara tanggung jawab murtahin, (a). Ulama Hanafyah berpendapat bahwa borg dapat menanggung utang. Jika nilainya lebih kecil, kekurangannya dikembalikan kepada rahin. Sebaliknya jika borg lebih besar dari utang, kelebihannya harus dikembalikan kepada rahin. (b). Jumhur ulama berpendapat bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas marhun, jika rusak tanpa disengaja, dan utang tidak dianggap lunas. (3). Hukum borg yang rusak, ulama sepakat, jika borg rusak dengan sengaja perusaknya harus bertanggung jawab[19]
Karena yang dikaji oleh penuli adalah gadai tanah (lahan), menurut penulis, murtahin tidak berhak menguasai borg, maka murtahin hanyalah berhak memegang surat-surat borg, Jadi jika borg rusak ditangan murtahin yaitu surat-surat borg hilang karena kelalaian murtahin, maka murtahin harus menggantiinya. Tetapi karena borg berupa tanah maka kerusakan yang diakibatkan oleh rahin sangatlah tidak mungkin, kecuali tanah tersebut rusak karena akibat alam, seperti langsor dan sebagainya, apabila rahin mau menjual borg tanpa sepengetahuan murtahin itu juga tidak mungkin karena surat-surat ada ditangan murtahin. Tapi jika diatas tanah ada tanaman, seperti pohon kelapa, mangga, rambutan dan sebagainya itupun rahin tdak harus mengganti kepada murtahin, hanya saja utang rahin kepada murtahin tetap harus dibayar.
Menjual Rahn, (1). Kekuasaan menjual rahn (a). Penjualan waktu pilihan (berlangsungnya rahn) ulama spakat bahwa yang berhak menjual rahn adalah rahin, tetapi harus seizin murtahin. (b). Penjualan secara paksa, hakim diharuskan memaksa rahin untuk menjual borg jika ia tidak mampu membayar utang sampai batas waktu yang telah ditentukan. (2). Menjual barang yang cepat rusak, apa bila borg cepat rusak jika tidak segera dijual dan tidak dapat bertahan lama, murtahin dibolehkan menjualnya atas seizin hakim. (3). Hak menetapkan harga. jumhur ulama sepakat bahwa murtahin lebih berhak menentukan harga jual borg sehingga dapat menutupi utang rahin. (4). Murtahin mensyaratkan untuk memiliki borg. Ulama sepakat bahwa murtahin tidak boleh mensyaratkan bahwa jika rahin tidak mampu membayar utang, borg menjadi miliknya. Syarat seperti itu dikategorikan fasid.[20]
Pertambahan borg. Ulama fiqih sepakat bahwa tambahan yang ada pada borg adalah milik rahin, sebab dialah pemilik aslinya. (1). Ulama Hanafiyah[21] berpendapat bahwa tambahan yang terjadi pada borg yang termasuk rahn, baik yang berkaitan dengan rahn, seperti buah, susu, dan lain-lain atau yang terpisah, seperti anak hewan. Adalah tambahan yang tidak berkaitan dengan rahn, seperti upah merupakan milik rahin, (2). Ulama Malikiyah[22]
C.    Contoh Kasus pemanfaatan Marhun oleh murtahin.
Pada tahun 2000,  rahin menggadaikan sebidang lahan berupa kebun seluas 2 (dua) hektar yang mana didalamnya terdapat: 25 pohon cengkih, 50 pohon kelapa, 5 batang pohon rambutan, 5 batang pohon mangga, kepada murtahin sejumlah 50 rgam emas, pada tahun 2000 harga emas per gram Rp. 300.000,- (300.000x50=15.000.000), uang yang didapat rahin dari murtahin. Kalau pada tahun 2015 rahin mau membayar utang sedangkan harga emas pada tahun 2015 Rp. 500.000,- / gram, maka uang yang hharus dikeluarkan oleh rahin sebesar (500.000,-x50=25.000.000), maka lebihnya Rp. 10.000.000,- sedangkan lahan tempat rahin mencari nafkah dikuasai sepenuhnya oleh murtahin, maka dalam tempo waktu 15 tahun berapa keuntungan murtahin  dari penghasilan 25 pohon cengkih, 50 pohon kelapa,  5 batang pohon rambutan, 5 batang pohon mangga. Maka penulis perkirakan dari 15 tahun tersebut keuntungan dari marrhun sudah melebihi harga emas pada tahun 2000.

D.    Penemuan Penulis terhadap Praktek Gadai di Kabupaten Lebak Banten.
Pada tanggal 28 Desember 2013 sampai dengan tanggal 24 Januari 2014 penulis melakukan penelitian untuk menyelesaikan tugas ilmiyah, yaitu penulisan skripsi yang berjudul Aplikasi Akad Gadai Lahan Pertanian Dengan Imbalan Emas, yang berlokasi di Kabupaten Lebak Banten. Dalam penelitian tersebut penulis melakukan wawancara antara lain kepada: (1). Rahin, (2). Murtahin, (3). Tokoh Masyarakat, (4). Pemerintah setempat, dan (5). Pemuka Agama. Dari hasil wawancara tersebut penulis mendapatkan hasil  
1.      Pendapat Rahin terhadap praktek Gadai.
Dari 10 (sepuluh) rahin yang penulis wawancara, semuanya menyatakan merasa dirugikan dengan adanya praktek gadai lahan pertanian. Hal ini menurut penulis sangat logis apa yang diungkapkan oleh rahin, karena praktek gadai tersebut bukan menolong, tetapi merugikan rahin. Diantara kerugian-kerugian rahin antara lain: (1). Marhun dikuasai oleh Murtahin sehingga rahin kehilangan mata pencaharian. (2). Gadai menggunakan imbalan emas, yang mana emas tiap tahun relatif naik harganya, sehingga kesempatan rahin untuk mengembalikan utang semakin sulit. Akibatnya marhun semakin lama dikuasai Murtahin. (3). Marhun relativ rusak, karena kebanyakan Marhun tidak merawat marhun sebagaimana mestinya. 
2.      Pendapat Murtahin terhadap praktek Gadai
Untuk memperoleh jawaban penulis juga mewawancara 10 (sepuluh) Murtahin. Pengakuan Rahin yang merasa dirugikan, akan berbeda dengan pengakuan Murtahin yang merasa diuntungkan dengan adanya praktek gadai tersebut, meskipun mereka merasa menolong terhadap rahin.
Dari hasil wawancara dengan Murtahin, penulis meyakini bahwa murtahin sangat diuntungkan, mereka mendapat keuntungan dari barang gadaian, bahkan dari hasil gadaian akan berlipat ganda keuntungannya, selain itu murtahin juga mendapat keuntungan dari hasil penjualan emas yang setiap tahun relatif akan naik harganya. Pada dasarnya murtahin menolong tetapi dalam menolong ada pihak yang dirugikan, maka menurut penulis praktek gadai tersebut masuk dalam kategori riba.

3.      Pendapat ulama dan Tokoh Masyarakat terhadap praktek Gadai di lebak Banten.
Dari hasil wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat dan ulama setempat, penulis mendapatkan jawabannya, menurut ulama setempat praktek pengabilan manfaat marhun itu boleh, karena antara rahin dan murtahin sudah antarodin. Namun menurut penulis antaradin disini bukan antarodin yang sebagaimana hukum Islam maksudkan, mereka antaradin karena terikat kebiasaan dan karena adanya keterpaksaan, yaitu keadaan eonomi yang pada saat itu sedang melilit rahin, jadi rahin tidak ada pilihan lain selain merelakan barangnya dikuasai oleh murtahin.
E.     Paktor-paktor terjadinya praktek gadai lahan di Kabupaten Lebak Banten.
Paktor kebiasaan. Praktek gadai lahan dengan imbalan emas di kab. Lebak Banten sudah menjadi sebuah kebiasaan, lambat laun kebiasan mereka menjadi tradisi, tanpa disadari tradisi tersebut sudah merusak tatanan hukum Islam, penulis katakan demikian karena mereka mengatas namakan praktek Islam tapi dalam pelaksanaannya. Sebenarnya apa yang telah mereka lakukan adalah merugikan pihak rahin.  
Faktor kebutuhan ekonomi. Masyarakat Kab. Lebak banten pada umumnya petani, mereka menggantungkan hidup dari becocok tanam, apabila musim kemarau tiba maka mereka akan menghabiskan dari hasil bercocok tanam tersebut. Tetkala ada kebutuhan yang mendesak maka mereka akan menggadaikan lahan,
Kurangnya Pemahaman Terhadap Hukum Ekonomi Islam. Sebenarnya mayoritas penduduk Kab. Lebak pernah mensntren seharusnya mereka memahami tentang konsep hukum Islam, namun dalam kenyataannya banyak tokoh bahkan ulama setempat yang masih melakukan praktek tersebut. Hal ini lah yang membuat penulis prihatin melihat fenomena tersebut.
Tidak adanya sumber lain selain praktek gadai lahan. Ditempat penulis mengadakan penelitian, masyarakatnya tidak memiliki pencaharian seperti halnya masyarakat perkotaan, mereka mengandalkan hidup dari bercocok tanam. Apabila mereka memerlukan uang yang sifatnya mendesak, maka jalan satu-satunya menggadaikan lahan tempat mereka mengais rejeki. Setelah lahan itu digadaikan maka mereka tidak mempunyai pencaharian lagi, selain harus menjadi buruh di lahannya sendiri, karena lahan tempat mereka mencari rejeki telah dikuasai oleh murtahin.
Lemahnya penegakan hukum. Penulis  mengatakan timbulnya praktek gadai yang tidak sesuai dengan hukum syara di Kab. Lebak Banten, yaitu dalam bentuk pemanfaatan marhun oleh murtahin ini disebabkan karena lemahnya penegakan hukum, yang dalam hal ini adalah para ulama, ulama di daerah tersebun nampaknya sudah tidak sanggup lagi untuk mencegah, bahkan ironisnya para ulama ikut melakukan praktek gadai tersebut.
Kurangnya kesadaran terhadap hukum islam. Kesadaran menjalankan agama Islam dengan kaffah memang tidak mudah, semudah membalikan telapak tangan, namun kita perlu mengupayakan hal tersebut, karena hukum Islam yang dibawa oleh Rasulullah, SAW adalah rahmatan lil alamin, hukum Islam adalah hukum yang sempurna, karena tidak akan ada lagi hukum yang akan menyempurnakan hukum Islam, hukum Islam bersifat komprehensif dan universal. Koprehensif berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadah diperlukan untuk mmenjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan masusia dengan Khalik-nya. Adapun muamalah diturunkan untuk menjadi rules of the games atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial. Universal bahwa hukum Islam dapat diterapkan kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun sampai hari kiamat nanti. Al-qur’an telah memberikan pedoman-pedoman dalam bermuamalah yang benar antara lain:
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ٤٨
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu[23]

F.     Damfak Praktek Gadai yang tidak sesuai dengan hukum syar’i
Sistem ekonomi kafitalis timbul dimasyarakat, sistem ekonomi kafitalis sangat berlawanan dengan sistem ekonomi Islam, mengapa demikian? Karena hukum ekonomi kafitalis akan memperkaya yang kaya dan memiskinkan orang yang melarat, dalam hal ini penulis analisis bahwa jika murtahin meguasai marhun maka hal itu sama dengan ekonomi kafitalis, karena dari penguasaan marhun yang dikusai murtahin maka murtahin akan mengumpulkan hartanya dan kemudian ia akan menggadai kembali lahan yang lainnya, begitulah seterusnya, sehingga yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.
Kemiskinan akan merajalela. Penulis katakan jika praktek gadai sebagaimana disebutkan diatas tidak diperbaiki maka ini akan memberikan damfak negatif terhadap masyarakat, karena orang-orang yang telah menggadaikan lahannya lambat laun mereka akan memperbesar utangnya dan akhirnya lahan mereka akan menjadi milik juragan tanah yaitu murtahin, selanjutnya mereka akan menjadi buruh ditempat atu dilahannya sendiri.
Praktek ribawi akan berkembang pesat.  Praktek gadai dengan pembayaran emas dan lahan dikuasai oleh murtahin menurut penulis jelas telah melahirkan produk ribawi, yang padahal sudah sangat jelas dilarang oleh Islam, sebagaimana firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.[24]
Rasul bersabda, “riba memiliki enam puluh pintu dosa, dosa yang paling ringan dari riba seperti dosa yang berzina dengan Ibnunya”[25] Praktek riba bukan hanya agama Islam yang melarang tetapi agama non Islam pun sama melarangnya, hal ini karena riba adalah merugikan orang lain. Para pakar sejarah pemikir ekonomi menyimpulkan kegiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 SM, baik yunani kuno, romawi kuno, maupun mesir kuno. Pada tahun 2000 SM, di Mesopotania (wilayah Irak skarang) telah berlangsung sistem bunga. Sementara itu, 500 tahun SM temple of babilon mengenakan bunga sebesar 20% setahun.
Menurut catatabn sejarah, bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi melarang keras peminjaman uang dengan bunga. Ditemui bahwa Socrates dan Aristoteles yang mengandalkan pemikiran rasional filosofis menilai sistem bunga atau riba sebagai sesuatu yang tersela dan tidak adil. Mereka melarang riba atas modal pinjaman karena uang dinyatakan sebagai ayam betina yang tidak bertelur, sekeping mata uang tidak akan beranak kepingan uag lain. Sementara itu Plao dalam bukunya “Laws” mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktek yang zalim. Kerajaan Romawi kuno juga melarang keras setiap pungutan atas bunga. Kerajaan Romawi kuno yang pertama menerapkan peraturan tentang bunga untuk melindungi para konsumen.
Dalam agama Yahudi terdapat dalam kitab perjanjian lama Pasal 22 ayat 25 “jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-ku yang miskin diantara kamu, janganlah engkau berlaku seperti seorang penagih utang dan janganlah engkau bebankan bunga uang padanya, melainkan engkau harus takut kepada Allah-mu supaya saudaramu dapat hidup diantaramu. Adapun pandangan agama Nasrani mengenai riba terdapat dalam kitab perjanjian lama kitab Deuteronomy pasal 23 ayat 19, “janganlah engkau membungakan uang maupun bahan makanan yang dapat dibungakan” dalam perjanjian baru Injil Lukas ayat 32 “jika kamu menghutangi kepada orang yang kamu  harapkan imbalannya, maka dimana sebenarnya kehormatan kamu, tetapi berbuatlah kebajikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembali karena pahala kamu akan sangat banyak[26]
Jika agama non Islam melarangnya kenapa kita yang memiliki hukum yang begitu sempurna malah melakukan praktek riba, padahal alqur’an dan hadits telah jelas melarang praktek riba. Dan Allah telah menyediakan untuk kita apa-apa yang ada di bumi agar kita mendapatkannya dengan baik, bukan dengan jalan yang tidak diridhai oleh Allah.. firman Allah.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِ‍َٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ .
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpujiharta yang baik. [27]
Hukum Islam tidak berkembang. Adanya praktek gadai dengan emas sebagai pembayarannya menurut penulis ini akan mengakibatkan hukum Islam mengalami kemunduran, kemunduran yang penulis maksud adalah karena hukum Islam ada tapi tidak diakai, hukum Islam hanya dikeahui tapi tidak diimplementasikan sebagaimana mestinya, maka jika ini dibiarkan hukum Islam tidak akan berkembang.
Akan menghambat pembanguan dan pendidikan. Adanya praktek gadai lahan sebagaimana diterangkan diatas, menurut penulis akan menghambat pembangunan dan pendidikan, bagaimana tidak terhambat pendidikan dan pembangunan, karena harta mereka untuk menyekolahkan anaknya telah digadaikan, sedangkan lahan itu adalah satu-satunya pencaharian mereka.
G.    Solusi terhadap praktek Gadai lahan pertanian.
Irigasi harus diperbaiki. Karena pada umumnya masyarakat pedesaan bercocok tanam maka Irigasi harus diberbaiki agar masyarakat pedesaan agar mereka bisa memanfaatkan lahannya secara maksimal meski kemarau tiba, seperti halnya di Kab. Lebak Banten karena sistem irigasi yang kurang memadai, maka jika musim kemarau tiba mereka tidak bercocok tanam disebabkan tidak adanya air.  
Pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan. Untuk mmenanggulangi hal tersebut, menurut penulis, pemerintah setempat harus menyediakan lapangan pekerjaan, seperti memberikan pelatihan-pelatihan kewirausahaan kepada masyarakat agar mereka punya keahlian dan sumber pencaharian lain selain bercocok tanam.
Harus tersedia lembaga ekonomi Islam. Lembaga perekonomian dipedesaan juga harus dibentuk, agar dimana mereka membutuhkan keperluan yang mendesak tidak harus menggadaikan lahan tempat mereka mencari nafkah, tetapi mereka bisa meminjam dulu kepada lembaga tersebut dan mereka kan membayar dengan hasil panen, hal ini menurut penulis akan meminimalisir terjadinya praktek gadai lahan yang merugikan pihak petani.
Harus diadakan Penyuluhan Tentang Hukum Ekonomi Islam,  pada umumnya masyarakat belum begitu paham tentang hukum ekonomi Islam yang sebenarnya, karena kebanyakan di pengajian-pengajian hal tersebut jarang dibahas secara mendalam, para ulama, ustadz dan da’i kebanyakan hanya menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah saja tidak menyinggung masalah muamalah, maka hal ini yang membuat masyarakat kurang faham terhadap hukum ekonomi sebagaimana mestinya. Penyuluhan menurut penulis sangatlah penting dilakukan yaitu dengan cara pemerintah setempat melakukan kerjasama-kerjasama dengan pihak akademisi, maka jika kerjasama ini berjalan baik maka tugas selanjutnya adalah tugas akademisi yang memberi penjelasan terhadap masyarakat, bagaiman bermuamalah sesuai dengan aturan hukum Islam.
Ulama dan Umara harus bersatu untuk menegakan hukum Islam. Ulama dan umara harus bersatu untuk menegakan hukum, karena keduanya memiliki peran yang sama dalam penegakan hukum, jika ulama dan umara tidak bersatu maka masyarakat tidak memiliki pigur dan akibatnya penyelewengan hukum akan banyak terjadi, seperti halnya masalah pemanfaatan marhun oleh murtahin. Masalah tersebut mestinya harus menjadi perhatian dari kalangan intelektual agar penyimpangan-penyimpangan hukum tidak terjadi di masyarakat.  



[2] QS. Al-Baqarah:283
[3] HR. Harits bin Abi Usamah.
[4]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 108, lihat juga Ibn Rusyid Al-Hafizh, Bidayah Al-Mujtahid wa An-Nihayah Al-Muqtashid, (Berut, Dar AL-Fiqr), 273 
[5] Alaudin Al-Kasyani, Bada’i Ash—Shana’i fi Tartib Syara’i. Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir, 146
[6] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 173, 174
[7] Alaudin Al-Kasyani, Bada’i Ash—Shana’i fi Tartib Syara’i. Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir, 146
[8] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 174
[9] Ibn Qudamah, Al-Mugni, (Mesir: Mathba’ah Al-Imam)
[10] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 174
[11] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002),109 
[12] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  170,171
[13] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  171
[14] Alaudin al-Kasyani, Bada’i Ash—Shana’i fi Tartib Syara’i. Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir, 151
[15] Muhammad Urfah Ad-Dasuqi, Syarah al-Kabiri Ad-Dardir, juj lll hal 251.
[16] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  171
[17] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  171,172
[18] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 174
[19] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 175
[20] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  176
[21] Alaudin Al-Kasyani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Syara’i. Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir, 152
[22] Ibn Rusid, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid,
[23] QS. Al-Maidah: 48
[24] QS. Al-Imran: 130
[25] HR. Ibnu Jarir
[26] Juhaya S. PrajaFilsafat Hukum Islam, (Bandung:LPPM Unisba, 2003), 42,43
[27] QS. Al-Baqarah: 267

Related

HUKUM EKONOMI ISLAM 72581874958382062

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item