Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam aman Bani Umayah dan Abasiyah
https://alawialbantani.blogspot.com/2018/08/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam-aman.html
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkembangan ekonomi islam saat ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah pemikiran muslim tentang ekonomi di masa lalu. Adalah suatu keniscayaan bila pemikir muslim berupaya untuk membuat solusi atas segala persoalan hidup di masanya dalam perspektif yang dimiliki.
Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadis nabi, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon pada cendikiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam sesuai Islam itu sendiri.
Banyak ekonom muslim lahir di masa Dinasti abbasiyah, dibanding di masa sebelumnya khulafa’ al-rashidin ataupun masa Dinasti ummayah. Hal ini bisa dijadikan alasan bahwa tumbuhnya pemikir muslim tentang ekonomi tidak bebas dari kenyataan-kenyataan yang tumbuh di zaman yang melahirkan menjadi pemikir yang ahli dibidang-bidang tertentu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah pemikiran ekonomi islam pada masa bani Umayyah dan Abbasiyah?
2. Bagaimanakah praktek ekonomi pada masa bani Umayyah dan Abbasiyah ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui sejarah pemikiran ekonomi islam pada masa bani Umayyah dan Abbasiyah?
2. Untuk mengetahui praktek ekonomi pada masa bani Umayyah dan Abbasiyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Bani Umayyah( 611-750 M)
Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أمية, Banu Umayyah, Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya (beribukota di Damaskus) ; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah. dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.[1]
Pemikiran khalifah-khalifah di bidang ekonomi pada masa Bani Umayyah
a. Khalifah Muawiyah ibn Abi Sofyan
Pada masa pemerintahannya, beliau mendirikan dinas pos berserta dengan berbagai fasilitasnya, menertibkan angakatan perang, mencetak uang, dan menegmbangkan jabatan Adi ( hakim ) sebagai jabatan profesional. Selain itu, beliau juga menerapkan kebijakan pemberian gaji tetap kepada para tentara, pembentukan tentara profesional, serta pengembangan birokrasi seperti fungsi pengumpulan pajak dan administrasi.[2]
b. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan
Pemikiran yang serius terhadap penerbitan dan pengaturan unag dalam masyarakat islam muncul di masa pemerintahan beliau. Abd al-Malik mengubah bizantinum dan persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan arab serta tetap mencantumkan kalimat ‘’bismillahirrahmanirrahim pada tahun 74 H ( 659 M). Pembuatan mata uang pada masa itu didasarkan pemikiran bahwa mata uang selain memiliki nilai ekonomi juga sebagai pernyataan kedaulatan Dinasti Islam. Disamping itu, mata uang juga berfungsi sebagai sarana pengumuman keabsahan pemerintahan pada waktu itu yang namanya terpatri pada mata uang tersebut. Khalifah Abdul Malik bin Marwan pun memerintahkan Arabisasi maat uang sebagian dari politik arabisasi aparatur negara pada masa pemerintahannya.
Mata uang yang dibuat di dunia islam waktu itu disebut sikkah . menurut Ibn Khaldun kosa kata sikkah selain dikenakan terhadap mata uang juga dikenakan terhadap gedung tempat pembuatan mata uang. Karenanya gedung tersebut juga disebut Dar as-Sikkah. Darul as-sikkah tersebar diberbagai pelosok wilayah islam pada waktu itu, sehingga Darul as-sikkah dikenal sampai di luar kawasan islam.
Di dunia islam mengenal dua jenis mata uang utama, yaitu mata uang dinar emas, di ambil dari kata dinarius, dan dirham perak yaitu berasal dari kosa kata yunani drachmos. Selain kedua jenis tersebut, terdapat mata uang pecahan atau disebut maksur seperti qitha dan mithqal. Pada empat hijrah dunia islam mengalami krisis mata uang emas dan perak, maka dibuatlah dari tembaga atau campuran tembaga dengan perak yang disebut dengan fulus ( diambil dari bahasa latin follis), yaitu mata uang tembaga tipis. Mata uang tersebut juga disebut al-qarathis karena mirip dengan lembaran kertas.
Setelah muncul mata uang fulus mata uang mulai dihitung. Setelah banyak mata uang bercap khalifah munculah kelompok orang-orang memberikan jasa dalam mempermudah transaksi keuangan dan penukaran mata uang ( as-shayyrifah). Di samping itu muncul istilah keuangan yang menunjukan bahwa tempat penukaran berubah fungsinya menjadi Bank. Istilah tersebut antara lain shaftajah, shakk, khath, hawwalah.
Selain itu khalifah Abdul Malik dalam hal pajak dan zakat memberikan kebijakan dengan memberlakukan kewajiban bagi umat Islam untuk membayar Zakat dan bebas dari pajak lainnya. Hal ini mendorong orang non-muslim memmeluk agama Islam. Dengan cara ini, meraka terbebas dari pembayaran pajak. Setelah itu, meraka meninggalkan tanah pertaniannya guna mencari nafkah di kota-kota besar sebagai tentara. Kenyataan ini menimbulkan masalah bagi perekonomian negara. Karena pada satu sisi, perpindahan agama mengakiibatkan berkurangnya sumber pendapatan negara dari sektor pajak. Pada sisi lain, bertambahnya militer Islam dari kelompok mawali memerlukan dana subsidi yang semakin besar. Untuk mengatasi permasalahan ini, khalifah Abdul Malik bin Marwan mengembalikan beberapa militer Islam kepada profesinya semula, yakni sebagai petani dan menetapkan kepadanya untuk membayar sejumlah pajak sebagaimana kewajiban mereka sebelum mereka masuk islam, yakni sebesar beban kharaj dan jizyah.
Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan islam. Keberhasilan khalifah Abd al-malik diikuti oleh putranya Al-walid Abd al-Malik (705-715) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembanguna. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personil yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[3]
c. Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz
Selama masa pemerintahannya, beliau menerapkan kembali ajaran islam secara utuh menyeluruh. Ketika diangkat sebagai khalifah, beliau mengumpulkan rakyatnya dan mengumumnkan serta menyerahkan seluruh harta kekayaan diri dan keluarganya yang tidak wajar kepada kaum muslimin melalui baitul maal.
Dalam melakukan berbagai kebijakannya, khalifah Umar Ibn Abdul Aziz melindungi dan meningkatkan kemakmuran taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. Ia mengurangi beban pajak yang di pungut dari kaum Nasrani, menghapus pajak terhadap kaum muslim, membuat takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa, dan lain-lain. Berbagai kebijakan berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat.
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz juga menetapkan kebijakan dengan mengurangi beban pajak atas penganut kristen najran dari 2000 keping menjadi 200 keping. Kebijakan ini dikeluarkan karena ternyata masyarakat kristen khususnya Bani Najran merasa berat. Beban meraka dirasakan terlalu berat untuk dipikul. Karena kebanyakan mereka bukan orang-orang kaya. Karena itu mereka menuntut Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz untuk mengurangi beban pajak tersebut. Dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz menetapkan kebijakan untuk melarang pembelian tanah non-muslim kepada umat islam, langkah ini diambil khalifah karena banyak tanah orang kristen yang sudah menjadi milik orang islam. Sehingga banyak umat kristen yang tidak memiliki lahan untuk digarap.
Lebih jauh lagi, khalifah Umar Ibn Abdul Aziz menerapkan kebijakan otonomi daerah. Setiap wilayah islam mempunyai wewenang untuk mengelola zakat dan pajak sendiri-sendiri dan tidak diharuskan menyerakan upeti kepada pemerintahan pusat. Bahkan sebaliknya pemerintah pusat akan memberikan bantuan subsidi kepada setiap wilayah islam yang minim pendapatan zakat dan pajaknya.
Dengan demikian, masing-masing wilayah islam diberi kekuasaan untuk mengelola kekayaannya. Jika terdapat surplus, khalifah Umar Ibn Abdul Aziz menyarankan agar wilayah tersebut memberi bantuan kepada wilayah yang minim pendapatannya, untuk menunjang hal ini, ia mengangkat ibn jahdam sebagai Amil shadaqah yang bertugas menerima dan mendistribusikan hasil shadaqah secara merata ke seluruh wilayah islam.
Pada masa pemerintahannya, sumber-sumber pemasukan negara berasal dari zakat, hasil rampasan perang, pajak penghasilan pertanian ( pajak ini diawal pemerintahan khalifah Umar Ibn Abdul Aziz di tiadakan, mengingat situasi ekonomi yang belum kondusif ). Setelah stabilitas perekonomian masyarakat membaik, pajak ini ditetapkan, dan hasil pemberian lapangan kerja produktif kepada masyarakat luas.
Akan tetapi, kondisi baitul maal yang telah dikembalikan oleh Umar Ibn Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi baitul maal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa ke khalifahan Bani Abbasiyah.[4]
B. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Bani Abbasiyah ( 750-847 M -132-232 H
Daulah Abbasiyah adalah sebuah negara yang melanjutkan kekuasaan bani Umayyah. Dinamakan daulah Abbasiah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abdullah Al-Safah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al- Abbas. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H[5].
Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulah Umayyah kepada Daulat ‘Abbasiyah bermula ketika Bani Hasyim menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka, karena, mereka adalah keluarga nabi yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya telah ada ketika wafatnya Rosullalalh. Tetapi tuntutan itu baru mengeras ketika Bani Umayyah naik tahta dengan mngalahkan Ali bin Abi Thalib. Bani Hasyim yang menuntut kepemimpinan Islam itu digolongkan menjadi dua golongan besar. Pertama golongan ‘Alawi, keturunan Ali bin abi Thalib. Mereka ini dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: pertama keturunan dari Fatimah, dan yang kedua keturunan dari Muhammad bin Al-Hanafiyah. Dan yang kedua adalah golongan Abbasiyah (Bani Abbasiyah), keturunan Al-Abbas paman Nabi tersebut. Perbedaan dari kedua golongan tersebut, yaitu golongan Abbasiyah lebih mementingkan kemampuan politik yang lebih besar daripada golongan ‘Alawi.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatur evolusi.
Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
- Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
- Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
- Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
- Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa, oleh karena hal-hal tertentu yang merasa tidak puas dengan sistem yang ada[6].
Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah. Seperti pada gerakan terjemah yang membawa kemajuan ilmu pengetahuan.
Imam madzhab yang sempat hidup pada masa ini adalah Imam Abu Hanifah (700-767M), madzhab ini lebih banyak menggunkan rasio dari pada Hadits. Karena madzhab ini dipengaruhi perkembangan Kufah. Sedangkan Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan Hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh ini ditengahi oleh Imam Syafi’I (767-820 M) dan Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M)[7].
Awal kekuasaan Dinasti Abbasiah ditandai dengan pembangkangan oleh Dinasti Umayah di Andalusia
(spanyol) yaitu pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas yang tidak tunduk kepada khalifah di Baghdad yang mirip dengan Muawiyyah terhadap Ali Ibn Abi Thalib.
Abu al-Abbas al-Safah (750-754M) adalah pendiri Dinasti Abbas. Akan tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu Ja’far al-Manshur (754-775M) yang banyak berjasa membangun Dinasti Abbasiyah. Ia digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas. Pada masa pemerintahanya Baghdad sangat disegani oleh kekuasaan Byzantium. Bani Abbas juga meraih tumpukan kekuasaan setelah menggulingkan Dinasti Umayyah pada tahun 750H.
Pada masa ini istilah jihbis yang dulu dikenal sebagai penagih pajak dan penghitung pajak atas barang dan tanah sekarang popular sebagai penukaran uang. Pada masa ini juga dikenalkan uang jenis baru yang disebut fulus yang terbuat dari tembaga, yang sebelumnya uang terbuat dari emas (dinar) dan perak (dirham). Di zaman ini, jihbiz juga bisa menerima titipan dana, meminjamkan uang dan jasa pengiriman uang.
Beberapa Khalifah yang pernah memimpin pemerintahan saat Dinasti Abbasiyah[8]:
1) Abu Ja’far Al-Manshur:
Pada awal pemerintahan beliau, perbendaharaan Negara dapat dikatakan tidak ada karena khalifah sebelumnya al-Saffah, banyak menggunakan dana Baitul Maal untuk diberikan kepada para sahabat dan tentara. Karena hal tersebut khalifah al-Manshur untuk bersikap keras dalam peneguhan kedudukan keuangan Negara, di samping itu juga penumpasan musuh-musuh khalifah, sehingga pada zaman itu dikenal sebagai masa yang penuh dengan kekerasan.
Dalam mengendalikan harga-harga, Khalifah al-Manshur memerintahkan bawahannya untuk melaporkan harga, jika terjadi kenaikan harga maka Khalifah al-Manshur akan memerintahkan wakilnya agar menurunkan harga ke harga semula. Di samping itu beliau juga sangat menghemat dana Baitul Maal sehingga saat beliau wafat kekayaan kas Negara sampai 810 juta dirham karena Khalifah al-Manshur betul-betul meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan Negara, sehingga dengan demikian pembangunan dalam segala cabang ekonomi dia pandang soal yang paling penting.
2) Harun al Rasyid:
Popularitas Daulah Abbasiyyah mencapai puncaknya pada Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusatraan berada dalam zaman keemasan. Penerjemahan buku-buku Yunani ke bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi, Eropa untuk membeli “Manuscript”. Pada mulanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu pengetahuan lain dan filsfat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karyanya yang paling besar yaitu mendirikan Baitul Hikmah, yaitu pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Pada masa ini pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya. Ia membangun Baitul Maal untuk mengurus keuangan Negara dengan menunjuk seorang wazir yang mengepalai beberapa dirwan. Pendapatan Baitul Maal dialokasikan untuk reset ilmiah dan penterjemah buku-buku Yunani, disamping itu untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai. Pendapatan tersebut juga dialokasikan untuk membiayai para tahanan dalam hal penyediaan bahan makanan dan pakaian musim panas dan dingin.
Selain itu, Khalifah Harun juga sangat memperhatian masalah perpajakan, sehingga beliau menunjuk Abu Yusuf menyusun sebuah kitab pedoman mengenai perekonomian syari’ah yang kitabnya berjudul al-Kharaj.
Sumber-sumber pemikiran ekonomi pada masa itu diperoleh dari sektor-sektor yang beragam[9]:
a) Perdagangan Dan Industri :
Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan dengan cara memudahkan jalan-jalannya, umpamanya :
- Dibangun sumur dan tempat-tempagt istirahat dijalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.
- Dibangunkan armada-armada dagang.
- Dibangunkan armada-armada untuk melindungi pantai-pantai Negara dari serangan bajak laut.
Untuk tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan dalam bidang perdagangan, maka Khalifah Harun al-Rasyid membuktikan satu badan khusus yang bertugas mengawasi pasaran dagang, mengatur ukuran timbangan, menentukan harga pasar, atau dengan kata lain mengatur politik
Komoditas lain yang berorientasi komersil selain barang-barang logam seperti mas dan perak, bahan pakaian, hasil laut, kertas dan obat-obatan, adalah budak-budak. Pada saat itu budak merupakan komuditas yang dihasilkan untuk diperjual belikan. Daerah pemasok utama budak yaitu Farghana dan Asia Tenga, serta Afrika dan Turki. Budak ini apabila sudah dibeli oleh tuannya di gunakan untuk tenaga kerja ladang pertanian, perkebunan dan pabrik. Namun bagi pemerintah, budak-budan ini direkrut sebagai anggota militer demi mempertahankan Negara.
b) Pertanian dan perkebunan :
Terbentuknya kekhalifahan yang stabil, juga mempengaruhi pekembangan–perkembangan didalam sektor ekonomi khususnya di sektor pertanian. Sebagai contoh Irak , sebelum di kuasai kaum Muslim keadaan dari produksi pertanian sangat merosot, di mana banjir melanda di beberapa kanal dan bendungan Tigris, kemudian bencana ini di perbaiki oleh kaum Muslimin setelah Irak di kuasai oleh kaum Muslimin.
Kota administratif dan tentara Muslim seperti Busrah , Kufah , Masul dan Al- wasid menjadi pusat usaha pengembanggan pertanian. Untuk menggarap daerah ini, di datangkan buruh tani dari kawasan Afrika Timur, sehingga pertumbuhaan desa-desa kecil, karena majunnya usaha tani dan perkebunan[10].
c) Perkembangan ilmu pertanian :
Berbeda dengan khalifah dari Daulah Umayyah yang bersikap menindas para petani dengan pajak yang sangat amatlah tinggi, masa pemerintahan khalifah Daulah Abasiyyah justru sebaliknya, mereka membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi dan ada pula yang dihapus sama sekali. Disamping itu di lakukan banyak kebijakan untuk kaum tani, di antaranya[11] :
- Memperlakukan ahli zimah dan mawaly dengan perlakuan adil dan menjamin hak miliknya.
- Mengambil tindakan keras terhadap para pejabat yang berlaku keras terhadap para petani.
- Memperluas daerah pertanian di berbagai wilayah negara.
- Membangun dan menyempurnakan perhubungan ke daerah pertanian , baik udara atau air.
- Membangun dan memperbaiki kanal dan bendungan, agar tidak ada wilayah yang kesulitan dalam hal irigasi.
d) Pendapatan Negara :
Selain dari sector perdagangan, pertanian, dan perindustrian, sumber pendapatan Negara juga berasal dari pajak. Pendapatan dari jizyah juga merupakan masukan bagi Negara. Jizyah adalah pajak kepala yang dipungut dari penduduk non Muslim kepada pemerintahan Islam sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah dan konsekuensi dari perlindungan yang diberikan pemerintah Islam untuk mereka. Sumber pendapatan lain adalah dari zakat, ‘asyur al-tijarah, dan kharaj.
Pada masa Harun al-Rasyid terdapat klasifikasi pembayaran jizyah. Mereka yang kaya dikenakan jizyah sebesar 48 dirham, golongan ekonomi menengah 24 dirham, sedangkan dibawah itu hanya 12 dirham.
e) Sistem Moneter:
Sebagai alat tukar , para pelaku ekonomi menggunakan mata uang dinar dan dirham. Mata uang dinar emas di gunakan oleh para pedagang, di wilayah kekuasaan setelah Barat, meniru orang- orang Bizantium. Sedangkan mata uang dirham perak di gunakan oleh para pedagang di wilayah Timur, meniru kekaisaran Sassaniah.
Penggunaan dua mata uang ini menurut Azumardi Azra, memiliki dua konsekuensi. Pertama mata uang dinar harus di perkenalkan di wilayah- wilayah yang hanya mengenal mata uang dirham, kedua dengan mengeluarkan emas ini mengurangi penyimpanan emas batangan atau perhiasan. Mata uang emas maupun perak, tidak bisa menempuh perjalanan jauh, karena dengan resiko yang ssangat besar. Karena itu para pedagang dan orang-orang yang mengadakan perjalanan jauh memerlukan sistem cek. Bisa di pastikan sistem cek yang di perkenalkan oleh sistem perbankan modern, berasal di bahasa arab shakk.
Dan terjadiya kegiatan peningkatan ekonomi, maka berlangsunglah sirkulasi kekayaan dan surplus ekonomi di dalam wilayah kekuasaan islamDalam masa–masa ini orang-orang yang semula miskin ,tetapi emilki etos kerja dan etos ekonomi yang timggi, sangat mungkin melakukan mobilitas sosial melalui usaha-usaha ekonomi.Di dalam situasi dimana kekayaan neredar dengan bebas dan lancar, maka bakat, kemauan, dan kerja keras lebih menjanjikan untuk mencapai ,mobilitas sosial dari keturunan.mobilitas yang cepat, khususnya di masa dinasti abbasiyah semakin mungkin sehubungan dengan penekanan ajaran islam tentang derajat persamaan muslim[12].
Kemunduran
Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antara nya adalah sebagai berikut[13] :
a. Faktor Internal:
- Persaingan antar Bangsa.
- Kemerosotan Ekonomi.
- Konflik Keagamaan.
b. Faktor Eksternal:
- Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
- Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Chamid Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer\ (Jakarta: Pustaka Asatrus,2005).
Ma’arif Syafii Ahmad, Abdullah Amin, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),
Syalabi A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: P.T. Jayamurti 1997).
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal:42.
=========================================================================
[1]. Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Pustaka Asatrus,2005), hal:47.
[2] . Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal:42.
[3] .Ibid, hal:43.
[4] Ibid, hal:44.
[5] A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: P.T. Jayamurti 1997), hlm. 44.
[6] Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 144.
[7] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.118.
[8] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.120.
[9] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.123.
[10] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.129.
[11] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.130.
[12] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.135.
[13]. Ibid hal:140.