Jurnal Wakalah



M. Tolib Alawi
Nim: 2.215.2.019
WAKALAH
ABSTRAK.
Sebagai makhluk sosial manusia tidak mungkin mengerjakan semua urusan dengan sendiri, maka dalam rangka mencapai suatu tujuan sering diperlukan pihak lain untuk mewakilinya urusan tersebut. pekerjaan tersebut dalam ilmu fiqih disebut dengan akad wakalah, yaitu pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. disadari atau tidak praktek wakalah sering dilakukan setiap saat dimanapun dan dalam kondisi apapun manusia beraktifitas. Di dalam dunia pernbankan wakalah hanya menjadi transaksi pendukung bukan sebagai transaksi utama. Dalam jurnal ini penulis akan memaparkan wakalah secara umum.
Kata Kunci. Wakalah, Muwakil, Muakkal fih, Wakil, Ujrah
A.    Pendahuluan.

B.     Pembahasan.
1.      Pengertian Wakalah  
Wakalah secara etimologi yang berarti al-hifdh pemeliharaan, al-Tafwidh penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Sedangkan secara terminologi wakalah adalah pemberi kewenangan/ kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.[3]
Para ulama memberikan definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu: Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa wakalah adalah seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.[4]
Al-Wakalah atau al-wikalah menurut para ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut:
1.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, “seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan)”.
2.      Ulama Malikiyah, Wakalah adalah seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu”.
3.      Menurut Ulama Syafi’iah Wakalah adalah suatu ibrah seseorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya”.
4.      Menurut Ulama Hanabillah, wakalah adalah “permmintaan ganti seseorang yang embolehkan tasharuf yang seimbang pada pihak yang lain, yang didalamnya terdapat  penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak manusia”[5]
5.      Menurut Sayyid al-Bakri Ibnu al-‘Arif billah al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dhimyati bahwa al-wakalah adalah “Seseorang menyerahkan urusannya kepada yang lain di dalamnya terdapat penggantian”[6]
6.      Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy al-Wakalah adalah “Akad penyerahan kekuasaan, pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya dalam bertindak”
7.      Menurut Idris Ahmad bahwa al-Wakalah adalah, “seseorang yang menyerahkan urusannya kepada orang lain yang dibolehkan oleh syara’, supaya yang diwakilkan dapat mengerjakan apa yang harus dilakukan dan berlaku selama yang, mewakilkan masih hidup”.[7]
8.      Iman Taqy ad-Din Abi Bakar Ibn Muhammad al-husaini bahwa wakalah adalah “Seorang yang menyerahkan harta untuk dikelolanya yang ada penggantinya kepada yang lain supaya menjaganya ketika hidupnya[8]
Hal kaitannya dengan wakalah menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Buku II. Bab I, pasal 20 ayat 19 bahwasannya wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu. Menurut KUHPer mengenai wakalah terdapat dalam Buku III, Bab VIII pasal 1792 dipasal tersebut diterangkan bahwa pemberi kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakil) itu dapat secara sah untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun karena satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang (muwakil) itu adalah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila, atau anak kecil maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contohh wakalah seperti seorang terdakwa mewakilkan urusan kepada pengacaranya.[9]
Berdasarkan defenisi-defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-Wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuaatu, perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.
Al-Wakalah dalam perbankan adalah jasa penitipan uang atau surat berharga, di mana bank mendapat kuasa dari yang menitipkan untuk mengelola uang atau surat berharga tersebut. Untuk jasanya itu bank memperoleh fee sebagai imbalan.[10]
Sebagaimana yang kita ketahui begitu beragam pengertian wakalah yang diungkapkan oleh para ulama dan pakar hukum Islam, namun jika  disimpulkan menurut penulis, wakalah ialah proses terjadinya perpindahan hak dan taggung jawab baik itu berupa muamalah maupun ibadah, maka wakalah disebut juga pelantara atau penyambung dari muakil kepada wakil.
2.      Dasar Hukum Wakalah
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi dan membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak sebagai wakilnya. Dan Ijma para ulama telah sepakat telah membolehkan wakalah, karena wakalah dipandang sebagai bentuk tolong-menolong atas dasar kebaikan dan takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Dasar qiyas, bahwa kebutuhan manusia menurut adanya wakalah karena tidak setiap orang mampu menyelesaikan urusan sendiri secara langsung, sehingga ia membutuhkan orang lain untuk menggantikannya sebagai wakil[11]. Firman Allah:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
“Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih[12].
Dalam Qs. Al-Maidah : 2 Allah, SWT memberikan penegasan terhadap tolong-menolong yang dalam kajian jurnal kali ini penulis membahas tentang wakalah, jadi tidak semua bentuk tolong-menolong diperbolehkan dalah agama Islam, akan tetapi ada hal-hal tertentu yang dilarang begitupun dengan wakalah, jadi tidak semua bentuk wakalah itu diperbolehkan. Jika wakalah yang berhubungan dengan tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan takwa apapun jenisnya maka itu tidak dilarang, karena pekerjaan tersebut akan mendatangkan kebaikan, baik untuk kita maupun untuk orang lain. Akan tetapi jika wakalah yang berkaitan dengan tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan maka ini dilarang, karena pekerjaan tersebut akan mendatangkan kemadharatan, baik untuk kita maupun untuk orang lain.
فَٱبۡعَثُوٓاْ أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمۡ هَٰذِهِۦٓ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ فَلۡيَنظُرۡ أَيُّهَآ أَزۡكَىٰ طَعَامٗا فَلۡيَأۡتِكُم بِرِزۡقٖ مِّنۡهُ وَلۡيَتَلَطَّفۡ وَلَا يُشۡعِرَنَّ بِكُمۡ أَحَدًا
.......Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun[13]
Dalam QS. Alkahfi : 19 ini diakhiri dengan kalimah “hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun” menurut interpretasi penulis, bahwa dalam praktek wakalah hendaknya diharuskan memiliki sifat jujur, sabar, teliti dann harus mempu menjaga amanah. Jika wakil tidak memiliki sifat tersebut maka akad wakalah akan rusak, atau batal secara hukum.   
Dalam Hadis dari Sulaiman bin Yasar, bahwa wakalah bukan hanya diperintahkan oleh Nabi tetapi Nabi sendiri pernah melakukannya. Bahwa Nabi pernah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah. (HR. Malik) dan Rasulullah juga pernah mewakilkan dalam membayar utang, mewakili dalam mengurus untanya.(HR. Bukhari dan Abu Hurairah)[14].
Dari Jabir r.a berkata: aku keluar pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah saw.maka beliau bersabda, “apabila engkau datang pada wakilku di Khaibar maka ambillah darinya 15 wasaq.[15]
Dalam Ijma, Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah.
Dari dasar hukum wakalah sebagaimana diterangkan diatas, penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa wakalah sangat kental dengan nilai-nilai kemanusiaan, yaitu nilai tolong-menolong. Adanya wakalah sudah memberikan keringanan kepada orang yang tidak bisa mengerjakan sesuatu. Ada yang mewakilkan bentuk pekerjaannya karena ia tidak bisa atau tidak faham dalam urusuan itu atau mampu melakukannya namun ia punaya kesibukan lain sehingga tidak bisa mengerjakan pekerjaannya, maka dia mewakilkan kepada orang lain agar kebutuhannya terpenuhi.
3.      Rukun dan Syarat Wakalah
Rukun wakalah dalam KHES pasal 452 ialah: (1). Wakil (orang yang mewakili), (2). Muwakkil (orang yang mewakilkan), (3). Muakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), dan (4). Shighat (lafadz ijab dan qabul).
Adapun syarat yang menjadi wakalah sebagai berikut:
1.      Wakil (orang yang mewakilkan) dalam ketentuan pasal 457 KHES bahwa orang yang menjadi penerima kuasa harus cakap bertindak hukum, maksudnya disini seseorang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum tidak berhak mengangkat penerima kuasa seperti seorang anak yang masih dalam pengampuan tetapi apabila anak yang masih dalam pengampuan itu boleh diangkat sebagai penerima kuasa asal dia menghasilkan perbuatan yang menguntungkan bagi pemberi kuasa, dan tidak merugikan tetapi dengan adanya seizin walinya.
Dalam KUHPer pasal 1798 dijelaskan seorang perempuan dan anak yang belum dewasa itu dapat ditunjuk menjadi kuasa tetapi pemberi kuasa itu tidak berwenang untuk mengajukan tuntutan hukum kepada anak yang belum dewasa, dan seorang perempuan bersuami pun jika tanpa adanya bantuan dari suami, ia tidak beerwenang mengadakan tuntutan hukum.
2.      Muwakkil (orang yang mewakilkan) dalam ketentuan pasal 458 bahwa seseorang yang menerima kuasa harus sehat akal pikiran maksudnya tidak gila, orang yang berakal sehat dan tidak idiot serta ia cakap perbuatan hukum meski tidak perlu dewasa tapi dengan adanya izin dari walinya dan tidak berhak dan berkewajiban dalam transaksi karenanya itu dimiliki oleh pemberi kuasa.
3.      Muakkal fih (sesuatu yang diwakilkan) dalam ketentuan pasal 459 sesuatu yang diwakilkan itu bisa berupa seseorang dan/ atau badan usaha berhak menunjuk pihak lain sebagai penerima kuasanya untuk melaksanakan suatu tindakan yang dapat dilakukannya sendiri, memenuhi kewajiban, dan atau yang mendapatkan suatu hak dalam hal transaksi yang merupakan menjadi hak dan tanggung jawabnya.
4.      Shighat (lafadz ijab dan qabul) dalam Fatwa No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dan wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.[16] Jadi akad pemberian kuasa bisa terjadi apabila adanya ijab dan qabul, sedangkan akad tersebut dikatakan batal itu jika si penerima kuasa menolak untuk menjadi penerima kuasa. (pasal 452 ayat 2 dan 4).[17]
Dalam karya tulis ini, penulis membedakan antara syarat dan rukun, dimana rukun adalah pekerjaan yang harus dilakukan pada saat terjadinya akad wakalah, sedangkan syarat adalah kommponen-komponen yang dikerjakan sebelum akad wakalah dilakukan. Dengan kata lain syarat adalah penyebab syahnya wakalah, jika syarat tidak terpenuhi, maka rukun tidak bisa dilakukan, dengan demikian rukun bergantung kepada syarat.
4.      Bentuk-bentuk Wakalah
Adapun bentuk-bentuknya dalam KHES pasal 456 dijelaskan bahwa transaksi pemberian kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan/ atau terbatas, ialah: (1). Wakalah Muqayyadah (khusus), yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan. Maka melakukan perbuatan hukumnya secara terbatas (pasal 468 KHES) (2). Wakalah Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil dalam pekerjaan. Maka seorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas. Maka melakukan perbuatan hukumnya secara mutlak (pasal 467 KHES)[18] (3). Al-Wkalah Al-Aamah yaitu bentuk wakalah antara yang luas dan yang terbatas. [19]
Sedangkan KUHPer pasal 1795 dan 1796 Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan- tindakan yang menyangkut pengurusan.
Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.[20]
Hemat penulis yang dimaksud dalam wakalah Muqayyadah ialah, wakalah yang sudah ditentukan bentuk pekerjaannya, seperti mewakilkan zakat, penitipan barang, atau dalam jualbeli barang yang akan dijualnya sudah ditentukan. Wakalah Mutlaqah ialah, wakalah yang belum ditentukan bentuk pekerjaannya secara spesifik seperti seorang pengacara, seorang pengacara tidak ditentukan bagaimana dia akan membela pasennya, akan tetapi seorang pengacaralah yang berpikir dan menentukan bagaimana caranya untuk membela pasennya. Al-Wkalah Al-Aamah ini adalah wakalah yang pertengahan, yaitu diantara muqayadah dan mutlaqah. Jadi seperti bentuk perwakilan dirumah tangga, masyarakat, dengan teman dll, yang tidak memerlukan adanya akad.
5.      Perbedaan Wakalah
Wakalah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wakalah disertai upah atau imbalan wakalatu bi-ujrin, dan wakalah tanpa upah wakalatu bighoiri ujrin. Kedua jenis wakalah ini diperbolehkan, namun dalam wakalah jenis pertama berlaku ketentuan ijarah. Artinya penerima wewenang, pemeliharaan berkewajiban mengerjakan pekerjaan yang dilimpahkan sampai selesai. Sedangkan dalam wakalah jenis kedua berlaku hukum kebiasaan al-urf . artinya imbalan kalau ada, disesuaikan dengan adat kebiasaan dan tidak diberlakukan akad ijarah.[21]
Dua jenis wakalah yang penulis paparkan diatas tergantung dengan apa yang di wakilkan, kepada siapa mewakilkan, dan dalam kondisi apa praktek perwakilan tersebut dilakukan. Jika wakalah yang dilakukan tanggung jawabnya berat, pengrjaannya sulit, memrlukan biaya, menyita waktu, dan lain sebagainya, maka wakil layak mendapatkan ujrah sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Tetapi jika praktek wakalahnya tidak berat sebagaimana tadi sudah disampaikan, seperti, dirumah tangga, dengan masyarakat, teman, maka bentuk wakalah ini memakai ketentuan urf.
6.      Nilai yang terkandung dalam Wakalah.
Nilai yang terkandung dalam wakalah ialah Al-muawanat (pertolonan) dan al-musyarakat (kerjasama), pihak pertama yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menerjakan sesuatu oleh dirinya sendiri karena ada sebab tertentu ia tidak sempat atau tidak bisa menerjakannya, dan oleh karenanya, ia mendelegasikan pihak lain untuk mengerjakanpekerjaan itu. Disini terjadi proses sling membantu dan kerjasama antar para pihak yang terkait. Ini adalah nilai kemanusiaan yang akan mengangkat harkat martabat manusia, dan secara ekonomi merupakan sarana untuk meningkatkan tarap hidup. Orang yang menerima pelimpahan wewenang dapat berdiri sejajar dengan pmberi wewenang karena ia bertindak untuk dan atas nama pemberi wewenang. Dalam al-wakalat bi al-ujrat, penerima pelimpahan wewenang memperoleh imbalan ujrat, sedangkan pemberi wewenang terbantu sebagian pekerjaannya[22].
Sesuai dengan apa yang diterangkan diatas, begitu sempurnanya hukum Islam, sehingga perkara sekecil apapun telah ditentukan secara perinci dan jelas, dalam hal ini penulis menginterpretasikan nilai yang terkandung dalam wakalh yaitu menanamkan kesadaran kepada setiap individu bahwa kita bukan sekedar mahluk Tuhan, makhluk Pribadi tetapi juga makhluk Sosial. Sebaai makhluk sosial yang tidak munkin bisa hidup tanpa adanya bantuan orang lain. Suatu contohh tukang cukur rambut yang pandai merapihkan rambut orang lain, tetapi jikala rambutnya ingin dirapihkan maka dia harus mewakilkan kepada orang lain.
Praktek Wakalah tanpa disadari setiap individu pasti pernah melakukannya, entah dia sebagai wakil atau muakil. Kehidupan rumah tangga sangat erat dengan praktek wakalah, suami kepada istri dan sebaliknya juga ayah, ibu kepada anak dan sebaliknya. Praktek wakalah yang penulis utarakan itu tidak seperti praktek wakalah di perbankan yang harus memakai akad, karena praktek wakalah tersebut memkai urf.
Wakalah dalam hukum Islam bukan perkara baru, hal ini penulis katakan bukan tanpa alasan, penulis melihat dari sisi sejarah, bahwa Allah SWT telah menetapkan manusia untuk menjadi wakil di bumi, jadi dari mulai nabi Adam, as sampai Nabi Muhammad, SAW adalah wakil (utusan) Allah SWT, Dengan demikian praktek wakalah telah dimulai sejak nabi Adam diciptakan oleh Allah SWT. Selain itu Allah SWT. juga telah memerintahkan para Malaikat antara lain: memberi wahyu, menulis amal baik, menulis amal buruk, menjaga neraka, menjaga surga, mencabut nyawa dan lain sebagainya.
Perbedaan praktek wakalah yang telah Allah SWT. Berikan kepada para Rasul dan para Malaikat dengan wakalah yang manusia kerjakan sekarang itu sangat jauh berbeda. Jika Allah SWT, mewakilkan urusan-Nya kepada para Malaikat dan para Rasul itu bukan karena Allah SWT, memiliki kekurangan, kelemahan dan ketidak mampuan dalam mengurus alam semesta ini akan tetapi itu adalah sebuah kesempurnaan Sang Pencipta dalam mengatur alam semesta beserta isinya. Tetapi jika manusia yang melakukan wakalah itu karena manusia mempunyai kelemahan, kekurangan dan keterbatasan kemampuan dalam melakukan urusannya.    
7.      Hak dan Kewajiban dalam Wakalah
1.      KUHPerdata Bab XVI pasal 1792
Hak dan Kewajiban
a.       Kewajiban penerima kuasa: (1). Wajib melaksanakan kuasanya dan bertanggungjawab atas segala biaya dan kerugian yang timbul, (2). Bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dalam menjalankan kuasanya, (3). Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukannya, (4). Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya.
b.      Hak penerima kuasa: Penerima kuasa berhak menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya.
8.      Hak dan Kewajiban
a.      Kewajiban pemberi kuasa: (1). Wajib mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya, (2). Memberi ganti rugi atas kerugian-kerugian yang dialami penerima kuasa sewaktu menjalankan tugasny, (3). Memberikan upah kepada penerima kuasa atas jasanya.
b.      Hak pemberi kuasa: (1). Menerima laporan mengenai kegiatan-kegiatan penerima kuasa, (2). Menggugat penerima kuasa yang telah melakukan penyelewengan dan dapat pula mengajukan tuntutannya.
9.      Akibat Hukumnya
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu  atas nama orang yang memberikan kuasa. Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa. Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali. Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan- tindakan yang menyangkut pengurusan.
Untuk memindah tangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit.
Orang-orang perempuan dan anak yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa tetapi pemberi kuasa tidaklah berwenang untuk mengajukan suatu tuntutan hukum terhadap anak yang belum dewasa, selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan suami pun ia tak berwenang untuk mengadakan tuntutan hukum selain menurut ketentuan-ketentuan Bab 5 dan 7 Buku Kesatu dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini. Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang yang dengannya penerima kuasa telah melakukan perbuatan hukum dalam kedudukannya dan pula dapat mengajukan tuntutan kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang telah dibuat.[23]
10.  Tujuan Adanya Wakalah
Pada hakikatnya wakalah merupakan pemberian dan pemeliharaan amanat. Oleh karena itu, baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang mewakili) yang telah bekerja sama atau kontrak, wajib bagi keduanya untuk menjalankan hak dan kewajibannya, saling percaya, dan menghilangkan sifat curiga dan beburuk sangka. Dan sisi lainnya wakalah terdapat pembagian tugas, karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan pekerjaannya dengan dirinya sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain, maka muncullah sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang yang sedang menganggur. Dengan demikian, si muwakkil akan terbantu dalam pekerjaanya, dan si wakil tidak kehilangan pekerjaanya.[24]
Meski tujuan wakalah sebagaimana diterangkan diatas adalah tolong-menolong, yang mana dalam Islam tolong-menolong sangat dianjurkan, akan tetapi menurut penulis tidak semua tolong-menolong itu dianjurkan oleh Islam, bahkan ada yang dilarang, begitupun wakalah, tidak semua bentuk wakalah diperbolehkan dalam hukum Islam. Wakalah yang dilarang oleh Islam antara lain: 1). Al-wakalah yang mengandung perjudian, 2). Al-wakalah yang mengandung penipuan, 3). Al-wakalah yang mengandung kedzoliman, 4). Al-wakalah yang mengandung riba, dan sebagainya yang asal hukumnya dilarang atau diharamkan maka diharamkan pula dalam akad wakalah.
Jika melihat dari sisi hukum Islam, maka wakalah menurut penulis bisa digolongkan menjadi lima macam antara lain: 1). Wajib, jika barang yang diwakilkan adalah barang yang bersifat wajib maka wakalah hukumnya wajib. Contohh, Amilin yang bertindak sebagai wakil dan muzakky bertindak sebagai muakil, maka amilin wajib mendistribusikan zakat kepada yang berhak menerimanya. Jadi hukum wakalah menjadi wajib karena barang yang diwakilkan hukumnya wajib disampaikan (didistribusikan) kepada yang berhak menerimanya. 2).  Haram, jika barang yang diwakilkan baik bentuk maupun sifatnya haram, maka perwakilan tersebut akan menjadi haram. Contoh: A mewakilkan kepada B untuk menjual babi, anjing, minuman keras, narkoba dan sebagainya, maka perwakilan tersebut akan haram karena barang yang diwakilkan adalah barang haram. 3). Sunah, perwakilan bisa menjadi sunah jika yang diwakilkan bersifat sunah, contoh: A meminta bantuan kepada B dengan memakai kata “jika anda ada luang waktu dan tidak keberatan nanti antar saya ke pasar” A sebenarnya tidak darurat, jika tidak diantar oleh B juga bisa, maka bagi B ngantar A ke pasar itu sunah dengan catatan jika pergi kepasarnya melakukan hal yang baik. 4). Makruh, wakalah bisa makruh jika barang yang diwakilkannya barang makruh, contoh mewakilkan  rokok dan sebagainya. 5). Mubah, wakalah bisa mubah jika pekerjaan yang diwakilkan tidak memiliki nilai, artinya dikerjakan tidak apa-apa tidak dikerjakan juga tidak apa-apa.
11.  Berakhirnya Wakalah
Berhentinya akad wakalah ini bisa terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut: (1). Salah satu pihak meninggal dunia, (2). Telah berakhirnya atau telah sempurnanya aktivitas atau urusan yang diwakilkan, (3). Jika muwakkil memberhentikan wakilnya, hal ini terjadi dalam kondisi apapun sekalipun tanpa adanya kesalahan dari wakil, (4). Wakil memberhentikan dirinya sendiri, (5). Perkara yang diwakilkan telah keluar dari kepemilikan atau wewenang muwakkil[25], (6). Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad salah satunya orang yang berakad mempunyai akal,[26] dan (7). Wakalah termasuk akad jaiz. Oleh karenanya meskipun para ulama sepakat atas kebolehan dan menganjurkan wakalah, kedua belah pihak berhak untuk membatalkan bila menghendaki. Hal ini karena dalam bermuamalah didasari pada prinsip ‘an traddim minkum  (atas kerelaan para pihak)[27]
Berakhirnya wakalah sebagaimana diterangkan diatas adalah hal  yang sangat mendasar yang penulis temukan dalam buku-buku yang berkaitan dengan wakalah, namun disini penulis akan menambahkan yang sekiranya menurut  penlis itu membatalkan wakalah, iyalah wakalah akan berakhir jika dalam wakalah terdapat hal-hal  yang bertentangan dengan hukum Islam, maka bentuk wakalah tersebut berakhir (batal) karena hukum.
12.  Hal-hal yang boleh di wakilkan
Hal-hal yang boleh diwakilkan antara lain: (1). Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa. (2). Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
Berkaitan dengan hal-hal yang boleh diwakilkan, menurut analisa penulis, tidak semua wakalah dibolehkan dalam hukum Islam, meski dalam bentuknya boleh, seperti, jual beli, pemberian upah dan sebagainya. Jika dalam wakalah tersebut terdapat hukum lain yang melarangnya, seperti wakalah jual beli barang yang diharamkan, atau pemberian upah yang pekerjaannya dilarang oleh Islam, sebagai contohh memberikan upah untuk membunuh (yang bukan hak), berjudi dan lain sebagainya. Artinya bukan wakalah jualbelinya atau pemberian upahnya yang dilarang akan tetapi dalam jualbeli dan pemberian upahnya terdapat larangan, dengan demikian wakalah tersebut bisa menyebabkan batal.
13.  Penetapan Wakalah dalam Bank Syariah
Bank syariah dapat memberikan jasa wakalah, yaitu sebagai wakil Dari nasabah sebagai pemeberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini, bank akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasa tersebut. Sebagai contohh, bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telepon kepada perusahaan listrik atau telepon. Contohh lain adalah bank mewakili sekolah atau univeritas sebagai penerima biaya SPP dari para pelajar untuk biaya studi[28]
Prsktek di perbankan sangat erat dengan perwakilan, penulis katakan demikian, karena bank adalah sebagai intermediasi, jadi semua akad dalam perbankan mengandung wakalah, seperti mudharabah, murabahah, rahn, dan lain sebagainya, oleh karena itu wakalah harus difahami oleh praktisi perbankan syariah walaupun wakalah sebenarnya bukanlah bagian dari produk perbankan akan tetapi hanya sebagai pelengkap dalam transaksi di perbankan.
14.  Wakalah dan Implementasi dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah
Menurut perbankan syariah Muakil adalah para pemegang surat berharga yang mewakilkan kepada bank sebagai wakil untuk mengurus kepentingan mereka. Bentuk perwakilan antara bank dan pemeang surat berharga umpamanya dalam pembukuan letter of credit (L/C), inkaso dan transfer uang. Atas dasar prinip wakalah, bank membuka (L/C) atas ermintaan nasabah untuk enyetorkan dana yang cukup dari besarnya L/C (100%) yang dibuka. Setoran dana disimpan oleh bank dengan prinsip wadi’ah dan bank memperoleh fee atau komisi[29].
Jadi jika perbankan dalam usahanya menggolangkan dana simpanan nasabah, maka perbankan mendapat fee dari semua transaksi karena perbankan bertindak sebagai wakil dan yang menjadi muakil adalah nasabah, hemat penulis seyogyanya pihak perbankan tidak boleh sewenang-wenang dalam menentukan usaha, karena bank hanya sebagai wakil bukan pemilik mutlak modal yang digulirkan. Namun karena dana yang terkumpul diperbankan adalah dana dari berbagai nasabah, hal ini tidak mungkin perbankan meminta izin kepada setiap nasabah untuk menggulirkan dana tersebut. Dengan adanya masalah tersebut maka penulis mengambil masalah mursalah yaitu kepuusan dalam menggulirkan dana diambil oleh pihak yang berwenang diperbankan itu, tetapi jika terjadi kerugian dalam usaha, maka pihak perbankan harus menanggung resikonya.
15.  Hikmah Wakalah
Hikmah yang diperoleh dari wakalah antara lain: (1). Mengajarkan prinsip tolong menolong antara satu dengan yang lainnya untuk tujuan kebaikan, bukan untuk kejahatan atau kemaksiatan. (2). Mengajarkan kepada manusia untuk merenungi bahwa hidup ini tidak sempurna. Dalam memenuhi kebutuhannya, tidak semua pekerjaan dapat dilakukan atau diselesaikan sendiri. Oleh sebab itu manusia perlu mewakilkan kepada orang lain. (3). Memberikan kesempatan bagi orang lain untuk melakukan sesuatu sehingga mengurngi pengangguran. (4). Dalam akad wakalah akan melahirkan silaturahim dan memupuk persaudaraan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Zuhaili, Wahbah (1989) al-Fiqh al-Islam  wa Adillatuh , Beirut: Dar al-Fikr.
al-Jaziri, Abdurahman (1969) Al-Fiqh ‘Ala Mazhab al-Arba’ah,
al-Dmyati, Sayyid Muhammad Syatha I’anat al-Talibin (Searang:Toha Putra) 
Ahmad, Idris (1986) Fiqih al-Safi’iyah, Jakarta: Karya Indah
al-Din, Abi Bakr ibn Muhammad  Taqiy Kifayat al-Akhyar, Bandung: PT. Al-
Ma’arif.
Ali, Zainuddin (2008) Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika.
Dewi,  Gemala dkk (2005) Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana,
Ghazaly, Abdul Rahman dan Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq (2010) Fiqh
Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media,
Ghazaly, Abdul Rahman dkk, (2010) Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada
Media,
Hakim, Atang Abdul (2011) Fiqih Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika
Aditama,
Karim, H. Adiwarman Aswar (2003)  Ekonomi Islam, Jakarta:Gema Insani Press.
KUHPerdata Pasal 1792-1799
Keuangan Syariah (2011) Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,
Lathif, Azharuddin (2005) Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press.
Mardani (2012) Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana
Rais, Isnawati dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga
Suhendi, Hendi (2005) Fiqih Muamalah, Jakarta : RajaGrapindo Persada.
Sjahdeini, Stan Remy (1999) Perbankan Islam, Jakarta, PT. Pustaka Utama
Grafiti.
Sumitro, Warkum (1996) Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga
Terkait, Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada.
Sabiq, Sayyid (1977) Fiqih al-Sunnah, Dar-al-Fiqr.
Sjahdeini, Stan Remy (1999) Perbankan Islam, Jakarta, PT. Pustaka Utama
Grafiti.


[1] Mahasiswa Pasca Sarjana S2 UIN SGD Bandung Email: alawianakrantaukagoknekat@gmail.com  /Tlp.081809460709.
[2] Guru Besar Ushul Fiqih UIN SGD Bandung
[3] Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hal 171
[4] Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), hal 179
[5] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : RajaGrapindo Persada, 2005), 231 lihat juga
Abdurahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazhab al-Arba’ah, (t.p: 1969), 167
[6] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : RajaGrapindo Persada, 2005), 232 lihat juga Sayyid Muhammad Syatha al-Dmyati, I’anat al-Talibin (Searang:Toha Putra) 84 
[7] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005), 233. Lihat juga Idris Ahmad, Fiqih al-Safi’iyah (Jakarta: Karya Indah, 1986), 110
[8] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : RajaGrapindo Persada, 2005), 232 lihat juga Abi Bakr ibn Muhammad  Taqiy al-Din, Kifayat al-Akhyar, (Bandung: PT. Al-Ma’arif), 283
[9] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 187
[10] Stan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam (Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1999), 102,103 lihat juga Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 1996), 42, 43 dan 99
[11] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah , (Jakarta: Kencana, 2012), 300-303.
[12] Qs. Al-Maidah : 2, lihat juga Qs. al-Baqarah : 283, An-Nisaa : 35
[13] Qs. Alkahfi : 19
[14] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 187 lihat juga Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah , (Jakarta: Kencana, 2012), 300-303
[15] H.R. Abu Daud: 3148
[16] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 356
[17] Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), 182 lihat juga Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2013), 235 lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Dar-al-Fiqr, 1977), 60 lihat juga Idris Ahmad, Fiqih al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986) 111, 112
[18] Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Bariliati, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 135
[19] Stan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam (Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1999), 103
[20] Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Bariliati, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 135
[21] Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011) 272, 273. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili al-Fiqh al-Islam  wa Adillatuh , (Beirut: Dar al-Fikr. 1989) jilid lV, 151.
[22] Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), 273.
[23] KUHPerdata Pasal 1792-1799
[24]Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 191
[25] Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), 184 lihat juga Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2005), 237 lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah,(Dar al-Fiqr, 1977)  66.
[26] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2013), 235
[27] H. Adiwarman Aswar Karim,  Ekonomi Islam (Jakarta:Gema Insani Press,2003), 112.

[29] Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011) 275

Related

Jurnal 334248431374582896

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item