Jurnal Wakalah
https://alawialbantani.blogspot.com/2019/05/jurnal-wakalah.html
M.
Tolib Alawi
Nim: 2.215.2.019
WAKALAH
ABSTRAK.
Sebagai makhluk sosial manusia tidak mungkin
mengerjakan semua urusan dengan sendiri, maka dalam rangka mencapai suatu
tujuan sering diperlukan pihak lain untuk mewakilinya urusan tersebut. pekerjaan
tersebut dalam ilmu fiqih disebut dengan akad wakalah, yaitu pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
disadari atau tidak praktek wakalah sering dilakukan setiap saat dimanapun dan
dalam kondisi apapun manusia beraktifitas. Di dalam dunia pernbankan wakalah
hanya menjadi transaksi pendukung bukan sebagai transaksi utama. Dalam jurnal
ini penulis akan memaparkan wakalah secara umum.
Kata Kunci. Wakalah,
Muwakil, Muakkal fih, Wakil, Ujrah
A. Pendahuluan.
B. Pembahasan.
1. Pengertian Wakalah
Wakalah secara
etimologi yang berarti al-hifdh pemeliharaan, al-Tafwidh
penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Sedangkan secara terminologi wakalah
adalah pemberi kewenangan/ kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus
dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti pemberi
kuasa selama batas waktu yang ditentukan.[3]
Para ulama memberikan definisi wakalah yang
beragam, diantaranya yaitu: Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa wakalah
adalah seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika
hidupnya.[4]
Al-Wakalah atau al-wikalah menurut para ulama
berbeda-beda antara lain sebagai berikut:
1.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah
adalah, “seseorang menempati diri orang
lain dalam tasharruf
(pengelolaan)”.
2. Ulama Malikiyah, Wakalah adalah “seseorang menggantikan (menempati) tempat
yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu”.
3. Menurut Ulama Syafi’iah Wakalah adalah “suatu ibrah seseorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya”.
4.
Menurut Ulama Hanabillah, wakalah adalah “permmintaan ganti seseorang yang embolehkan
tasharuf yang seimbang pada pihak yang lain, yang didalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak
manusia”[5]
5.
Menurut Sayyid al-Bakri Ibnu al-‘Arif billah al-Sayyid
Muhammad Syatha al-Dhimyati bahwa al-wakalah
adalah “Seseorang menyerahkan urusannya
kepada yang lain di dalamnya terdapat penggantian”[6]
6.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy al-Wakalah adalah “Akad
penyerahan kekuasaan, pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai
gantinya dalam bertindak”
7.
Menurut Idris Ahmad bahwa al-Wakalah adalah, “seseorang yang menyerahkan urusannya kepada
orang lain yang dibolehkan oleh syara’, supaya yang diwakilkan dapat
mengerjakan apa yang harus dilakukan dan berlaku selama yang, mewakilkan masih
hidup”.[7]
8.
Iman Taqy ad-Din Abi Bakar Ibn Muhammad al-husaini
bahwa wakalah adalah “Seorang yang menyerahkan harta untuk dikelolanya yang
ada penggantinya kepada yang lain supaya menjaganya ketika hidupnya[8]”
Hal kaitannya dengan wakalah menurut Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Buku II. Bab I, pasal 20 ayat 19 bahwasannya
wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan
sesuatu. Menurut KUHPer mengenai wakalah terdapat dalam Buku III, Bab
VIII pasal 1792 dipasal tersebut diterangkan bahwa pemberi kuasa ialah suatu
persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang
menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakil)
itu dapat secara sah untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun
karena satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang
dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang (muwakil)
itu adalah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang
gila, atau anak kecil maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contohh
wakalah seperti seorang terdakwa mewakilkan urusan kepada pengacaranya.[9]
Berdasarkan defenisi-defenisi di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-Wakalah
adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuaatu,
perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.
Al-Wakalah dalam
perbankan adalah jasa penitipan uang atau surat berharga, di mana bank mendapat
kuasa dari yang menitipkan untuk mengelola uang atau surat berharga tersebut.
Untuk jasanya itu bank memperoleh fee
sebagai imbalan.[10]
Sebagaimana yang kita ketahui begitu beragam
pengertian wakalah yang diungkapkan
oleh para ulama dan pakar hukum Islam, namun jika disimpulkan menurut penulis, wakalah ialah proses terjadinya
perpindahan hak dan taggung jawab baik itu berupa muamalah maupun ibadah, maka wakalah disebut juga pelantara atau penyambung dari muakil kepada wakil.
2. Dasar Hukum Wakalah
Islam mensyariatkan wakalah
karena manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala
urusannya secara pribadi dan membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang
bertindak sebagai wakilnya. Dan Ijma para ulama telah sepakat telah membolehkan
wakalah, karena wakalah dipandang sebagai bentuk tolong-menolong atas
dasar kebaikan dan takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Dasar
qiyas, bahwa kebutuhan manusia menurut adanya wakalah karena tidak setiap orang
mampu menyelesaikan urusan sendiri secara langsung, sehingga ia membutuhkan
orang lain untuk menggantikannya sebagai wakil[11].
Firman Allah:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
“Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan
kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan dosa
dan permusuhan dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat
pedih[12].
Dalam Qs. Al-Maidah : 2 Allah, SWT memberikan penegasan
terhadap tolong-menolong yang dalam kajian jurnal kali ini penulis membahas
tentang wakalah, jadi tidak semua bentuk tolong-menolong diperbolehkan dalah
agama Islam, akan tetapi ada hal-hal tertentu yang dilarang begitupun dengan wakalah, jadi tidak semua bentuk wakalah
itu diperbolehkan. Jika wakalah yang
berhubungan dengan tolong-menolong dalam
mengerjakan kebaikan dan takwa apapun jenisnya maka itu tidak dilarang, karena
pekerjaan tersebut akan mendatangkan kebaikan, baik untuk kita maupun untuk
orang lain. Akan tetapi jika wakalah yang berkaitan dengan tolong-menolong
dalam mengerjakan dosa dan permusuhan maka ini dilarang, karena pekerjaan
tersebut akan mendatangkan kemadharatan, baik untuk kita maupun untuk orang
lain.
فَٱبۡعَثُوٓاْ
أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمۡ هَٰذِهِۦٓ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ فَلۡيَنظُرۡ أَيُّهَآ
أَزۡكَىٰ طَعَامٗا فَلۡيَأۡتِكُم بِرِزۡقٖ مِّنۡهُ وَلۡيَتَلَطَّفۡ وَلَا
يُشۡعِرَنَّ بِكُمۡ أَحَدًا
.......Maka
suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut
dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun[13]
Dalam QS.
Alkahfi : 19 ini diakhiri dengan
kalimah “hendaklah ia
berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun” menurut interpretasi penulis, bahwa
dalam praktek wakalah hendaknya
diharuskan memiliki sifat jujur, sabar, teliti dann harus mempu menjaga amanah.
Jika wakil tidak memiliki sifat
tersebut maka akad wakalah akan rusak, atau batal secara
hukum.
Dalam Hadis dari Sulaiman bin Yasar, bahwa wakalah
bukan hanya diperintahkan oleh Nabi tetapi Nabi sendiri pernah melakukannya.
Bahwa Nabi pernah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk
mewakilinya mengawini Maimunah. (HR. Malik) dan Rasulullah juga pernah
mewakilkan dalam membayar utang, mewakili dalam mengurus untanya.(HR. Bukhari
dan Abu Hurairah)[14].
Dari Jabir r.a berkata: aku keluar pergi ke Khaibar,
lalu aku datang kepada Rasulullah saw.maka beliau bersabda, “apabila engkau
datang pada wakilku di Khaibar maka ambillah darinya 15 wasaq.[15]
Dalam Ijma, Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah.
Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal
tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan
taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah.
Dari dasar hukum wakalah
sebagaimana diterangkan diatas, penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa wakalah
sangat kental dengan nilai-nilai kemanusiaan, yaitu nilai tolong-menolong.
Adanya wakalah sudah memberikan keringanan kepada orang yang tidak bisa
mengerjakan sesuatu. Ada yang mewakilkan bentuk pekerjaannya karena ia tidak
bisa atau tidak faham dalam urusuan itu atau mampu melakukannya namun ia punaya
kesibukan lain sehingga tidak bisa mengerjakan pekerjaannya, maka dia
mewakilkan kepada orang lain agar kebutuhannya terpenuhi.
3. Rukun dan
Syarat Wakalah
Rukun wakalah dalam KHES pasal 452 ialah: (1). Wakil
(orang yang mewakili), (2). Muwakkil (orang yang mewakilkan), (3). Muakkal
fih (sesuatu yang diwakilkan), dan (4). Shighat (lafadz ijab dan
qabul).
Adapun syarat yang menjadi wakalah sebagai
berikut:
1.
Wakil (orang yang mewakilkan) dalam
ketentuan pasal 457 KHES bahwa orang yang menjadi penerima kuasa harus cakap
bertindak hukum, maksudnya disini seseorang yang belum cakap melakukan
perbuatan hukum tidak berhak mengangkat penerima kuasa seperti seorang anak
yang masih dalam pengampuan tetapi apabila anak yang masih dalam pengampuan itu
boleh diangkat sebagai penerima kuasa asal dia menghasilkan perbuatan yang
menguntungkan bagi pemberi kuasa, dan tidak merugikan tetapi dengan adanya
seizin walinya.
Dalam KUHPer pasal 1798 dijelaskan
seorang perempuan dan anak yang belum dewasa itu dapat ditunjuk menjadi kuasa
tetapi pemberi kuasa itu tidak berwenang untuk mengajukan tuntutan hukum kepada
anak yang belum dewasa, dan seorang perempuan bersuami pun jika tanpa adanya
bantuan dari suami, ia tidak beerwenang mengadakan tuntutan hukum.
2.
Muwakkil (orang yang mewakilkan) dalam
ketentuan pasal 458 bahwa seseorang yang menerima kuasa harus sehat akal
pikiran maksudnya tidak gila, orang yang berakal sehat dan tidak idiot serta ia
cakap perbuatan hukum meski tidak perlu dewasa tapi dengan adanya izin dari
walinya dan tidak berhak dan berkewajiban dalam transaksi karenanya itu
dimiliki oleh pemberi kuasa.
3.
Muakkal fih (sesuatu yang diwakilkan) dalam
ketentuan pasal 459 sesuatu yang diwakilkan itu bisa berupa seseorang dan/ atau
badan usaha berhak menunjuk pihak lain sebagai penerima kuasanya untuk melaksanakan
suatu tindakan yang dapat dilakukannya sendiri, memenuhi kewajiban, dan atau
yang mendapatkan suatu hak dalam hal transaksi yang merupakan menjadi hak dan
tanggung jawabnya.
4.
Shighat (lafadz ijab dan qabul) dalam Fatwa
No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, bahwa pernyataan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad), dan wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak
boleh dibatalkan secara sepihak.[16]
Jadi akad pemberian kuasa bisa terjadi apabila adanya ijab dan qabul, sedangkan
akad tersebut dikatakan batal itu jika si penerima kuasa menolak untuk menjadi
penerima kuasa. (pasal 452 ayat 2 dan 4).[17]
Dalam karya
tulis ini, penulis membedakan antara syarat
dan rukun, dimana rukun adalah
pekerjaan yang harus dilakukan pada saat terjadinya akad wakalah, sedangkan
syarat adalah kommponen-komponen yang dikerjakan sebelum akad wakalah dilakukan. Dengan kata lain
syarat adalah penyebab syahnya wakalah, jika
syarat tidak terpenuhi, maka rukun tidak bisa dilakukan, dengan demikian rukun
bergantung kepada syarat.
4.
Bentuk-bentuk Wakalah
Adapun bentuk-bentuknya dalam KHES
pasal 456 dijelaskan bahwa transaksi pemberian kuasa dapat dilakukan dengan
mutlak dan/ atau terbatas, ialah: (1). Wakalah Muqayyadah (khusus),
yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil
tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan. Maka melakukan perbuatan
hukumnya secara terbatas (pasal 468 KHES) (2). Wakalah Mutlaqah, yaitu
pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil dalam pekerjaan. Maka
seorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas. Maka melakukan perbuatan
hukumnya secara mutlak (pasal 467 KHES)[18]
(3). Al-Wkalah Al-Aamah yaitu
bentuk wakalah antara yang luas dan yang terbatas. [19]
Sedangkan KUHPer pasal 1795 dan 1796 Pemberian kuasa
dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu
atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa.
Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan- tindakan
yang menyangkut pengurusan.
Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek
di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain
yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian
kuasa dengan kata-kata yang tegas.[20]
Hemat penulis yang dimaksud dalam wakalah Muqayyadah ialah, wakalah
yang sudah ditentukan bentuk pekerjaannya, seperti mewakilkan zakat,
penitipan barang, atau dalam jualbeli barang yang akan dijualnya sudah
ditentukan. Wakalah Mutlaqah ialah, wakalah
yang belum ditentukan bentuk pekerjaannya secara spesifik seperti seorang pengacara, seorang pengacara tidak ditentukan bagaimana
dia akan membela pasennya, akan tetapi seorang pengacaralah yang berpikir dan
menentukan bagaimana caranya untuk membela pasennya. Al-Wkalah Al-Aamah ini adalah wakalah yang pertengahan,
yaitu diantara muqayadah dan mutlaqah. Jadi seperti bentuk perwakilan
dirumah tangga, masyarakat, dengan teman dll, yang tidak memerlukan adanya
akad.
5. Perbedaan Wakalah
Wakalah dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu wakalah disertai upah atau imbalan wakalatu bi-ujrin, dan
wakalah tanpa upah wakalatu bighoiri ujrin. Kedua jenis wakalah ini
diperbolehkan, namun dalam wakalah jenis pertama berlaku ketentuan ijarah.
Artinya penerima wewenang, pemeliharaan berkewajiban mengerjakan pekerjaan
yang dilimpahkan sampai selesai. Sedangkan dalam wakalah jenis kedua
berlaku hukum kebiasaan al-urf . artinya imbalan kalau ada, disesuaikan
dengan adat kebiasaan dan tidak diberlakukan akad ijarah.[21]
Dua jenis wakalah
yang penulis paparkan diatas tergantung dengan apa yang di wakilkan, kepada
siapa mewakilkan, dan dalam kondisi apa praktek perwakilan tersebut
dilakukan. Jika wakalah yang dilakukan tanggung jawabnya berat,
pengrjaannya sulit, memrlukan biaya, menyita waktu, dan lain sebagainya, maka wakil
layak mendapatkan ujrah sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Tetapi
jika praktek wakalahnya tidak berat sebagaimana tadi sudah disampaikan,
seperti, dirumah tangga, dengan masyarakat, teman, maka bentuk wakalah ini
memakai ketentuan urf.
6. Nilai yang terkandung dalam Wakalah.
Nilai yang terkandung dalam wakalah ialah Al-muawanat (pertolonan)
dan al-musyarakat (kerjasama), pihak
pertama yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menerjakan sesuatu oleh
dirinya sendiri karena ada sebab tertentu ia tidak sempat atau tidak bisa
menerjakannya, dan oleh karenanya, ia mendelegasikan pihak lain untuk
mengerjakanpekerjaan itu. Disini terjadi proses sling membantu dan kerjasama
antar para pihak yang terkait. Ini adalah nilai kemanusiaan yang akan
mengangkat harkat martabat manusia, dan secara ekonomi merupakan sarana untuk
meningkatkan tarap hidup. Orang yang menerima pelimpahan wewenang dapat berdiri
sejajar dengan pmberi wewenang karena ia bertindak untuk dan atas nama pemberi
wewenang. Dalam al-wakalat bi al-ujrat, penerima
pelimpahan wewenang memperoleh imbalan ujrat,
sedangkan pemberi wewenang terbantu sebagian pekerjaannya[22].
Sesuai dengan apa yang diterangkan diatas, begitu
sempurnanya hukum Islam, sehingga perkara sekecil apapun telah ditentukan secara
perinci dan jelas, dalam hal ini penulis menginterpretasikan nilai yang
terkandung dalam wakalh yaitu
menanamkan kesadaran kepada setiap individu bahwa kita bukan sekedar mahluk
Tuhan, makhluk Pribadi tetapi juga makhluk Sosial. Sebaai makhluk sosial yang
tidak munkin bisa hidup tanpa adanya bantuan orang lain. Suatu contohh tukang
cukur rambut yang pandai merapihkan rambut orang lain, tetapi jikala rambutnya
ingin dirapihkan maka dia harus mewakilkan
kepada orang lain.
Praktek Wakalah tanpa
disadari setiap individu pasti pernah melakukannya, entah dia sebagai wakil atau muakil. Kehidupan rumah tangga sangat erat dengan praktek wakalah, suami kepada istri dan
sebaliknya juga ayah, ibu kepada anak dan sebaliknya. Praktek wakalah yang penulis utarakan itu tidak
seperti praktek wakalah di perbankan
yang harus memakai akad, karena praktek wakalah
tersebut memkai urf.
Wakalah dalam hukum
Islam bukan perkara baru, hal ini penulis katakan bukan tanpa alasan, penulis
melihat dari sisi sejarah, bahwa Allah SWT telah menetapkan manusia untuk
menjadi wakil di bumi, jadi dari mulai nabi Adam, as sampai Nabi Muhammad, SAW
adalah wakil (utusan) Allah SWT, Dengan demikian praktek wakalah telah dimulai sejak nabi Adam diciptakan oleh Allah SWT.
Selain itu Allah SWT. juga telah memerintahkan para Malaikat antara lain:
memberi wahyu, menulis amal baik, menulis amal buruk, menjaga neraka, menjaga
surga, mencabut nyawa dan lain sebagainya.
Perbedaan praktek wakalah
yang telah Allah SWT. Berikan kepada para Rasul dan para Malaikat dengan wakalah yang manusia kerjakan sekarang
itu sangat jauh berbeda. Jika Allah SWT, mewakilkan urusan-Nya kepada para
Malaikat dan para Rasul itu bukan karena Allah SWT, memiliki kekurangan,
kelemahan dan ketidak mampuan dalam mengurus alam semesta ini akan tetapi itu
adalah sebuah kesempurnaan Sang Pencipta dalam mengatur alam semesta beserta
isinya. Tetapi jika manusia yang melakukan wakalah
itu karena manusia mempunyai kelemahan, kekurangan dan keterbatasan
kemampuan dalam melakukan urusannya.
7. Hak dan Kewajiban dalam Wakalah
1.
KUHPerdata Bab XVI pasal 1792
Hak dan Kewajiban
a.
Kewajiban penerima kuasa: (1). Wajib melaksanakan kuasanya dan
bertanggungjawab atas segala biaya dan kerugian yang timbul, (2). Bertanggungjawab
atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dalam menjalankan kuasanya, (3). Memberi
laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukannya, (4). Bertanggung
jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan
kuasanya.
b.
Hak penerima kuasa: Penerima
kuasa berhak menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga
kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya.
8.
Hak dan Kewajiban
a. Kewajiban
pemberi kuasa: (1).
Wajib
mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk
melaksanakan kuasanya, (2). Memberi ganti rugi atas kerugian-kerugian yang
dialami penerima kuasa sewaktu menjalankan tugasny, (3). Memberikan upah kepada
penerima kuasa atas jasanya.
b. Hak pemberi
kuasa: (1).
Menerima
laporan mengenai kegiatan-kegiatan penerima kuasa, (2). Menggugat penerima
kuasa yang telah melakukan penyelewengan dan dapat pula mengajukan tuntutannya.
9. Akibat
Hukumnya
Pemberian kuasa ialah suatu
persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang
menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan
kuasa. Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu
surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan
suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari
pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa. Pemberian kuasa terjadi dengan
cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
Jika dalam hal yang terakhir upahnya
tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah
yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali. Pemberian kuasa
dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu
atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian
kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan- tindakan yang
menyangkut pengurusan.
Untuk memindah tangankan barang atau
meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun
melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik,
diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Penerima kuasa
tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan
untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk
menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit.
Orang-orang perempuan dan anak yang
belum dewasa dapat ditunjuk kuasa tetapi pemberi kuasa tidaklah berwenang untuk
mengajukan suatu tuntutan hukum terhadap anak yang belum dewasa, selain menurut
ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-perikatan yang dibuat oleh anak
yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan bersuami yang menerima
kuasa tanpa bantuan suami pun ia tak berwenang untuk mengadakan tuntutan hukum
selain menurut ketentuan-ketentuan Bab 5 dan 7 Buku Kesatu dari Kitab
Undang-undang Hukum Perdata ini. Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung
orang yang dengannya penerima kuasa telah melakukan perbuatan hukum dalam
kedudukannya dan pula dapat mengajukan tuntutan kepadanya untuk memenuhi
persetujuan yang telah dibuat.[23]
10. Tujuan
Adanya Wakalah
Pada hakikatnya wakalah
merupakan pemberian dan pemeliharaan amanat. Oleh karena itu, baik muwakkil (orang
yang mewakilkan) dan wakil (orang yang mewakili) yang telah bekerja sama
atau kontrak, wajib bagi keduanya untuk menjalankan hak dan kewajibannya,
saling percaya, dan menghilangkan sifat curiga dan beburuk sangka. Dan sisi
lainnya wakalah terdapat pembagian tugas, karena tidak semua orang
memiliki kesempatan untuk menjalankan pekerjaannya dengan dirinya sendiri.
Dengan mewakilkan kepada orang lain, maka muncullah sikap saling tolong
menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang yang sedang menganggur. Dengan
demikian, si muwakkil akan terbantu dalam pekerjaanya, dan si wakil tidak
kehilangan pekerjaanya.[24]
Meski tujuan wakalah sebagaimana diterangkan diatas adalah tolong-menolong, yang
mana dalam Islam tolong-menolong sangat dianjurkan, akan tetapi menurut penulis
tidak semua tolong-menolong itu dianjurkan oleh Islam, bahkan ada yang
dilarang, begitupun wakalah, tidak
semua bentuk wakalah diperbolehkan dalam hukum Islam. Wakalah yang dilarang oleh Islam antara lain: 1). Al-wakalah yang mengandung perjudian,
2). Al-wakalah yang mengandung penipuan,
3). Al-wakalah yang mengandung
kedzoliman, 4). Al-wakalah yang
mengandung riba, dan sebagainya yang asal hukumnya dilarang atau diharamkan
maka diharamkan pula dalam akad wakalah.
Jika melihat dari sisi hukum Islam,
maka wakalah menurut penulis bisa
digolongkan menjadi lima macam antara lain: 1). Wajib, jika barang yang
diwakilkan adalah barang yang bersifat wajib maka wakalah hukumnya wajib. Contohh, Amilin yang bertindak sebagai wakil
dan muzakky bertindak sebagai muakil, maka amilin wajib mendistribusikan zakat kepada yang berhak menerimanya.
Jadi hukum wakalah menjadi wajib
karena barang yang diwakilkan hukumnya wajib disampaikan (didistribusikan)
kepada yang berhak menerimanya. 2). Haram,
jika barang yang diwakilkan baik bentuk maupun sifatnya haram, maka perwakilan
tersebut akan menjadi haram. Contoh: A mewakilkan kepada B untuk menjual babi,
anjing, minuman keras, narkoba dan sebagainya, maka perwakilan tersebut akan
haram karena barang yang diwakilkan adalah barang haram. 3). Sunah, perwakilan
bisa menjadi sunah jika yang diwakilkan bersifat sunah, contoh: A meminta
bantuan kepada B dengan memakai kata “jika anda ada luang waktu dan tidak
keberatan nanti antar saya ke pasar” A sebenarnya tidak darurat, jika tidak diantar
oleh B juga bisa, maka bagi B ngantar
A ke pasar itu sunah dengan catatan jika pergi kepasarnya melakukan hal yang
baik. 4). Makruh, wakalah bisa makruh
jika barang yang diwakilkannya barang makruh, contoh mewakilkan rokok dan sebagainya. 5). Mubah, wakalah bisa mubah jika pekerjaan yang
diwakilkan tidak memiliki nilai, artinya dikerjakan tidak apa-apa tidak
dikerjakan juga tidak apa-apa.
11. Berakhirnya Wakalah
Berhentinya akad wakalah ini
bisa terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut: (1). Salah
satu pihak meninggal dunia, (2). Telah berakhirnya atau telah sempurnanya
aktivitas atau urusan yang diwakilkan, (3). Jika muwakkil memberhentikan
wakilnya, hal ini terjadi dalam kondisi apapun sekalipun tanpa adanya kesalahan
dari wakil, (4). Wakil memberhentikan dirinya sendiri, (5). Perkara yang
diwakilkan telah keluar dari kepemilikan atau wewenang muwakkil[25],
(6). Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad salah satunya
orang yang berakad mempunyai akal,[26]
dan (7). Wakalah termasuk akad jaiz.
Oleh karenanya meskipun para ulama sepakat atas kebolehan dan menganjurkan wakalah, kedua belah pihak berhak untuk
membatalkan bila menghendaki. Hal ini karena dalam bermuamalah didasari pada
prinsip ‘an traddim minkum (atas kerelaan para pihak)[27]
Berakhirnya wakalah sebagaimana diterangkan diatas adalah hal yang sangat mendasar yang penulis temukan
dalam buku-buku yang berkaitan dengan wakalah,
namun disini penulis akan menambahkan yang sekiranya menurut penlis itu membatalkan wakalah, iyalah wakalah akan berakhir jika dalam wakalah terdapat hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam, maka
bentuk wakalah tersebut berakhir
(batal) karena hukum.
12.
Hal-hal yang boleh di wakilkan
Hal-hal yang boleh diwakilkan antara lain: (1). Obyek
mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli,
pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang
memberikan kuasa. (2). Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan
sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan
sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya.
Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang
diwakilkan.
Berkaitan dengan hal-hal yang boleh diwakilkan, menurut analisa penulis, tidak
semua wakalah dibolehkan dalam hukum
Islam, meski dalam bentuknya boleh, seperti, jual beli, pemberian upah dan
sebagainya. Jika dalam wakalah tersebut terdapat hukum lain yang melarangnya,
seperti wakalah jual beli barang yang diharamkan, atau pemberian upah yang pekerjaannya
dilarang oleh Islam, sebagai contohh memberikan upah untuk membunuh (yang bukan
hak), berjudi dan lain sebagainya. Artinya bukan wakalah jualbelinya atau pemberian upahnya yang dilarang akan
tetapi dalam jualbeli dan pemberian upahnya terdapat larangan, dengan demikian wakalah tersebut bisa menyebabkan batal.
13. Penetapan Wakalah dalam Bank Syariah
Bank syariah dapat memberikan jasa
wakalah, yaitu sebagai wakil Dari nasabah sebagai pemeberi kuasa (muwakil)
untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini, bank akan mendapatkan
upah atau biaya administrasi atas jasa tersebut. Sebagai contohh, bank dapat
menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telepon kepada
perusahaan listrik atau telepon. Contohh lain adalah bank mewakili sekolah atau
univeritas sebagai penerima biaya SPP dari para pelajar untuk biaya studi[28]
Prsktek di perbankan sangat erat
dengan perwakilan, penulis katakan demikian, karena bank adalah sebagai
intermediasi, jadi semua akad dalam perbankan mengandung wakalah, seperti mudharabah,
murabahah, rahn, dan lain sebagainya, oleh karena itu wakalah harus
difahami oleh praktisi perbankan syariah walaupun wakalah sebenarnya bukanlah bagian dari produk perbankan akan
tetapi hanya sebagai pelengkap dalam transaksi di perbankan.
14. Wakalah dan Implementasi dalam Produk Pembiayaan
Perbankan Syariah
Menurut perbankan syariah Muakil adalah para pemegang surat berharga yang mewakilkan kepada
bank sebagai wakil untuk mengurus
kepentingan mereka. Bentuk perwakilan antara bank dan pemeang surat berharga
umpamanya dalam pembukuan letter of
credit (L/C), inkaso dan transfer uang. Atas dasar prinip wakalah, bank
membuka (L/C) atas ermintaan nasabah untuk enyetorkan dana yang cukup dari
besarnya L/C (100%) yang dibuka. Setoran dana disimpan oleh bank dengan prinsip
wadi’ah dan bank memperoleh fee atau komisi[29].
Jadi jika perbankan dalam usahanya menggolangkan dana
simpanan nasabah, maka perbankan mendapat fee
dari semua transaksi karena perbankan bertindak sebagai wakil dan yang menjadi muakil adalah nasabah, hemat penulis
seyogyanya pihak perbankan tidak boleh sewenang-wenang dalam menentukan usaha,
karena bank hanya sebagai wakil bukan
pemilik mutlak modal yang digulirkan. Namun karena dana yang terkumpul
diperbankan adalah dana dari berbagai nasabah, hal ini tidak mungkin perbankan
meminta izin kepada setiap nasabah untuk menggulirkan dana tersebut. Dengan
adanya masalah tersebut maka penulis mengambil masalah mursalah yaitu kepuusan dalam menggulirkan dana diambil
oleh pihak yang berwenang diperbankan itu, tetapi jika terjadi kerugian dalam
usaha, maka pihak perbankan harus menanggung resikonya.
15. Hikmah
Wakalah
Hikmah yang diperoleh dari wakalah antara lain: (1). Mengajarkan
prinsip tolong menolong antara satu dengan yang lainnya untuk tujuan kebaikan,
bukan untuk kejahatan atau kemaksiatan. (2). Mengajarkan kepada manusia untuk
merenungi bahwa hidup ini tidak sempurna. Dalam memenuhi kebutuhannya, tidak
semua pekerjaan dapat dilakukan atau diselesaikan sendiri. Oleh sebab itu
manusia perlu mewakilkan kepada orang lain. (3). Memberikan kesempatan bagi
orang lain untuk melakukan sesuatu sehingga mengurngi pengangguran. (4). Dalam
akad wakalah akan melahirkan silaturahim dan memupuk persaudaraan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Zuhaili, Wahbah
(1989) al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh , Beirut: Dar al-Fikr.
al-Jaziri,
Abdurahman (1969) Al-Fiqh ‘Ala Mazhab
al-Arba’ah,
al-Dmyati,
Sayyid Muhammad Syatha I’anat al-Talibin
(Searang:Toha Putra)
Ahmad,
Idris (1986) Fiqih al-Safi’iyah, Jakarta:
Karya Indah
al-Din, Abi Bakr ibn
Muhammad Taqiy Kifayat al-Akhyar, Bandung: PT. Al-
Ma’arif.
Ali,
Zainuddin (2008) Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika.
Dewi, Gemala dkk (2005) Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, Jakarta:
Kencana,
Ghazaly, Abdul Rahman dan Ghufron Ihsan dan Sapiudin
Shidiq (2010) Fiqh
Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media,
Ghazaly, Abdul Rahman dkk, (2010) Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada
Media,
Hakim, Atang
Abdul (2011) Fiqih Perbankan Syariah, Bandung:
PT Refika
Aditama,
Karim,
H. Adiwarman Aswar (2003) Ekonomi Islam, Jakarta:Gema Insani
Press.
KUHPerdata
Pasal 1792-1799
Keuangan
Syariah (2011) Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,
Lathif,
Azharuddin (2005) Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press.
Mardani
(2012) Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta:
Kencana
Rais,
Isnawati dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga
Suhendi,
Hendi (2005) Fiqih Muamalah, Jakarta
: RajaGrapindo Persada.
Sjahdeini, Stan Remy (1999) Perbankan Islam, Jakarta, PT. Pustaka
Utama
Grafiti.
Sumitro,
Warkum (1996) Asas-asas Perbankan Islam
dan Lembaga-lembaga
Terkait, Jakarta:
PT. RajaGrapindo Persada.
Sabiq, Sayyid (1977) Fiqih al-Sunnah, Dar-al-Fiqr.
Sjahdeini, Stan Remy (1999) Perbankan Islam, Jakarta, PT. Pustaka
Utama
Grafiti.
[1] Mahasiswa Pasca
Sarjana S2 UIN SGD Bandung Email: alawianakrantaukagoknekat@gmail.com /Tlp.081809460709.
[2] Guru Besar Ushul
Fiqih UIN SGD Bandung
[4] Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh
Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2011), hal 179
[5] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : RajaGrapindo
Persada, 2005), 231 lihat juga
Abdurahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazhab al-Arba’ah, (t.p:
1969), 167
[6] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : RajaGrapindo
Persada, 2005), 232 lihat juga Sayyid Muhammad Syatha al-Dmyati, I’anat al-Talibin (Searang:Toha Putra)
84
[7] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2005), 233. Lihat juga Idris Ahmad, Fiqih al-Safi’iyah (Jakarta: Karya Indah, 1986), 110
[8] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : RajaGrapindo
Persada, 2005), 232 lihat juga Abi Bakr ibn Muhammad Taqiy al-Din, Kifayat al-Akhyar, (Bandung: PT. Al-Ma’arif), 283
[9] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan
dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2010), 187
[10] Stan Remy
Sjahdeini, Perbankan Islam (Jakarta,
PT. Pustaka Utama Grafiti, 1999), 102,103 lihat juga Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan
Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 1996), 42, 43
dan 99
[11] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah , (Jakarta:
Kencana, 2012), 300-303.
[12] Qs. Al-Maidah : 2,
lihat juga Qs. al-Baqarah : 283, An-Nisaa : 35
[13] Qs. Alkahfi : 19
[14] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan
dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2010), 187 lihat juga Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah , (Jakarta:
Kencana, 2012), 300-303
[17] Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh
Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2011), 182 lihat juga Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Rajagrafindo
Persada, 2013), 235 lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Dar-al-Fiqr, 1977), 60 lihat juga Idris Ahmad, Fiqih al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya
Indah, 1986) 111, 112
[18] Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni
Salma Bariliati, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2005), 135
[19] Stan Remy
Sjahdeini, Perbankan Islam (Jakarta,
PT. Pustaka Utama Grafiti, 1999), 103
[20] Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni
Salma Bariliati, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2005), 135
[21] Atang Abdul
Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung:
PT Refika Aditama, 2011) 272, 273. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh , (Beirut: Dar al-Fikr.
1989) jilid lV, 151.
[22] Atang Abdul
Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung:
PT Refika Aditama, 2011), 273.
[24]Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan
dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2010), 191
[25] Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh
Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2011), 184 lihat juga Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Rajagrafindo
Persada, 2005), 237 lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah,(Dar al-Fiqr, 1977) 66.
[26] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Rajagrafindo
Persada, 2013), 235
[27] H. Adiwarman
Aswar Karim, Ekonomi Islam (Jakarta:Gema Insani Press,2003), 112.
[29] Atang Abdul
Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung:
PT Refika Aditama, 2011) 275