ETIKA BISNIS ISLAM. MENGHINDARI MAGHRIB DALAM BISNIS MENDATANGKAN BERKAH DALAM HIDUP.
https://alawialbantani.blogspot.com/2019/05/etika-bisnis-islam-menghindari-maghrib.html
M.
Tolib Alawi[1]
Nim: 2.215.2.019
MENGHINDARI MAGHRIB DALAM BISNIS MENDATANGKAN BERKAH
DALAM HIDUP.
ABSTRAK.
Islam sebagai agama yang memiliki hukum yang sangat
sempurna, maka tidak akan ada lagi hukum yang akan menyempurnakan hukum Islam.
Kesempurnaan hukum Islam bertujuan untuk menciptakan kedamaian di dunia juga di
akherat kelak bagi yang mengikuti dan menjalankan hukum Islam secara kaffah.
Hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan antara Tuhan dengan manusia, tetapi
juga mengatur hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Dalam
kaitannya dengan Muamalah hukum Islam
mengatur sedemikian rupa agar pelaku ekonomi Islam memiliki akhlak yang baik,
jangan sampai merusak hal-hal sebagi berikut: diri-sendiri, akal, alam,
generasi dan agama, maka dengan itu Islam mengharamkan Maisyir, Gharar dan Riba, karena
ketiga perilaku tersebut akan merusak sendi-sendi kehidupan dan akan
menciptakan ketidak harmonisan dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut
termasuk perbuatan Zalim dan
pelarangannya telah termaktub dalam al-Qur’an, hadits dan ijma.
Kata Kunci. Muamalah, Maisyir, Gharar, Riba, dan Zalim.
A.
Pendahuluan.
Salah satu
kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika[2]
bisnis. Pengertian etika adalah acode or set of principles which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur
hidup manusia).
Etika adalah
bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai,
norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan etika. Norma adalah
suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan etika[3]
adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan
buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan
kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan pikirannya,
merupakan lapangan etika.
Pada
dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong
pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral)
dalam praktek bisnis merek.
Di
Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para
konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan
apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis,
dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Etika bisnis hanyalah
mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut
mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
B. Pembahasan
Satu macam cara memperoleh uang atau kekayaan yang tidak halal sebagaimana
dijelaskan Al-Quran disebut dengan istilah “riba” dan dalam bahasa inggrisnya
disebut “usury”, sebuah praktek yang telah merajalela dilakukan pada masa
jahiliyah, masa sebelum islam, bahkan pada masa sekarang, masa neo jahiliyah. Riba memiliki arti yang sangat beragam. Secara bahasa[4],
linguistik[5],
terminologi ilmu fiqih[6],
dan menurut pendapat para Ulama[7].
Secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Secara garis besar riba dibagi
menjadi dua bagian yaitu riba nasi’ah[8]
dan riba fadhl [9]yang mana keduanya sama berbahaya bagi perekonomiaan oleh karena itu hukum
Islam[10] yang
termaktub dalam al-quran, hadits dan Ijma telah melarangnya, bahkan termasuk
dalam golongan dosa besar. Ada beberapa unsur penting yang terdapat dalam riba yaitu yang ditambahkan
pada pokok pinjaman, besarnya penambahan menurut
jangka waktu, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah
disepakati.
Riba Nasiah ini terjadi
dalam utang piutang, oleh karena itu diseebut juga dengan riba duyun dan
disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah
dikenal melakukan sesuatu kebiasaan membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis
pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba. Juga disebut dengan riba jali atau qath’i, sebab
jelas dan pasti diharamkanya oleh Al-Quran.
Untuk membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan terpuji.
“Para fuqaha menjelaskan, tambahan pembayaran hutang yang termasuk riba jika
hal itu disyaratkan pada waktu aqad”[11]
Artinya seseorang mau memberikan hutang dengan syarat ada tambahan dalam
pengembaliannya. Ini adalah tindakan yang tercela. Sedangkan tambahan yang
terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu aqad. Tambahan itu diberikan oleh orang
yang berhutang ketika ia membayar yanng sifatnya tidak mengikat hanya sebagai
tanda rasa terimakasih kepada orang yang telah memberikan hutang kepadanya.
Jenis kedua adalah yang di sebut riba fadhal menurut Ibnu Qayyum, riba
fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang riba nasiah dengan kata lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya
seseorang tidak melakukan riba nasiah yng sudah jelas keharamannya.
Semua
ulama tidak membenarkan adanya praktek riba, karena praktek riba akan
mendatangkan kemadharatan dibandingkan kemaslahatan. Diantara ulama yang
penulis tulis dalam karya tulis ini antara lain: Abul A’la al Maududi[12], Imam Fachrudin Ar-Razi[13], al-Ghozali[14], Ibnu
Rusyid[15], Ibnu
Kaldun.
Sistem
ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW. Berawal dari prinsip-prinsip
Qur’ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan
berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam melakukan
aktivitas disetiap aspek kehidupannya, termasuk bidang ekonomi. Primsip Islam
yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah SWT semata
dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Sebagai khalifatullah
fi al-ardh, manusia telah diciptakan dalam bentuk yang paling baik dan seluruh
ciptaan lainnya, seperti matahari, bulan, dan langit, telah ditakdirkan untuk
dimanfaatkan oleh manusia. Hal ini merupakan suatu anugrah, rahmat serta kasih
sayang Allah SWT[16]. yang sangat besar
terhadap umat manusia.
Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, manusia diberi
kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan
cara yang adil. Hal ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam.
Dengan demikian, pada dasarnya, Islam mengakui kepemilikan pribadi. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan
ataupun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral. Islam sangat menentang setiap
aktivitas ekonomi yang bertujuan melakukan penimbunan kekayaan atau pengambilan
keuntungan yang tdiak layak dari kesulitan orang lain atau penyalahgunannya.
Allah SWT telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan
atau usaha apapun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani tidak
akan pernah menjadikan seseorang kaya-raya dalam jangka waktu yang singkat. Kesuksesan
seseorang dalam berusaha baru akan terwujud jika dilaui dengan kerja keras,
ketekunan dan kesabaran disertai dengan doa yang tidak pernah terputus. Oleh
karena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka
waktu yang singkat, seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan,
pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga, dan riba. Bukan saja tidak sesuai
dengan hukum alam dan dilarang, tetapi juga para pelakunya layak dihukum bahkan Allah SWT memakai kata celakalah[17]. Berkaitan dengan hal ini, Allah SWT mengutuk
mereka secara tegas melalui firman-Nya.
Berdasarkan pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka
bumi, Islam dengan tegas dan keras melarang segala bentuk praktik ribawi atau
bunga uang. Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang dieroleh
dengan cara-cara ribawi adalah sah jelas merupakan pendapat yang keliru dan
menyesatkan karena praktik-praktik ribawi[18]
merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam melarang eksploitasi dalam
bentuk apapun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang-orang
miskin, oleh penjual terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh
laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan terhadap bawahannya.
Kata riba dalam ayat-ayat Al-Qur’an digunakan sebagai terjemahan dari bunga
uang yang tinggi. Terminologi dan sistem ini telah dikenal pada masa jahiliyah
dan periode awal Islam, yakni sebagai bunga uang yang sangat tinggi yang
dikenakan terhadap modal pokok. Jika ayat-ayat yang melarang berbagai praktik
ribawi ditelaah lebih dan komprehensif terliuhat jelas bahwa Islam sangat
menentang keras setiap praktik ribawi, baik dalam jumlah yang sangat tinggi
ataupun rendah. Pernyataan orang-orang kafir bahwa berdagang adalah sama dengan
riba ditentang oleh Al-Qur’an[19],
bahkan pelakunya diancam dengan siksaan yang sangat pedih di akhirat kelak.
Pelanggaran Riba dalam Al-Quran
Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al-Quran dan
hadits-hadits Rasulullah SAW. Bahkan bisa dikatakan keharamannya sudah menjadi
aksioma dalam ajaran islam ini. Larangan riba yang terdapat dalam al Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.[20] Tahap pertama, Allah menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif serta
menolak anggapan bahwa riba pinjaman riba yang pada zahirnya menolong mereka
yang memerlukan sebagai suatu perbuatan yang mendekatkan diri atau taqarrub
kepada Allah SWT.[21] Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum
pasti tentang haramnya riba. Karena kala itu riba memang belum diharamkan. Riba
baru diharamkan di masa nabi di Madinah.
Hanya saja ini mempersiapkan jiwa kaum muslimin
agar mampu menerima hukum haramnya riba (yang terlanjur membudaya kala itu ).
Ayat ini termasuk ayat Makkiyah. Para ulama tafsir sepakat menyatakan bahwa
ayat ini tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurtubi, musafir
menyatakan bahwa Ibn Abbas mengartikan riba dalam ayat ini adalah hadiah yang
dilakukan orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih. Menurutnya riba dalam
ayat ini termasuk riba mubah.
Tahap Kedua, Allah telah memberi isyarat tentang
keharaman riba melalui kecaman terhadap kokret riba di kalangan masyarakat
Yahudi[22] dan akan
memberikan balasan keras terhadap mereka yang mempraktikkan riba. Mereka yang
melakukan riba dinyatakan mengkufuri iman. jika orang Yahudi yang
melakukan praktek riba mengkufuri iman lantas bagaimana dengan orang Islam yang
melakukan praktek riba? Tentunya sama mereka (orang Islam) telah mengkufuri
iman dan mengotori agama.
Tahap
Ketiga, Tahap
ketiga[23],
riba diharamkan dengan
dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir
berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut.
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriah. Secara umum ayat ini harus dipahami
bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau
bunga berlipat ganda maka riba tetapi kalau kecil bukan riba), tetapi ini
merupakan sifat umum dari praktek pembungaan pada saat itu. Demikian juga ayat
ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat al
Baqarah yang turun pada tahun ke 9 hijriah. Yang merupakan Tahap keempat dan terakhir[24], Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang
diambilkan dari peminjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut
riba.
Larangan riba dalam hadits
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada Al Qur’an melainkan juga
Al Hadits[25].sebagai
mana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan
yang telah digariskan melalui Al Qur’an, pelarangan riba dalam hadits lebih
terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah,
Rasulullah SAW masih menekankan sikap Islam yang melarang riba. “ingatlah bahwa
kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah
melarangmu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus dihapuskan.
Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun
mengalami ketidakadilan.”
Selain itu masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di
antaranya adalah :
Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian
beliau bersabda, “mereka itu semuanya sama.” (H.R Muslim no. 2995, kitab
Al Masaqqah).
Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi bersabda: “riba itu
mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan orang yang melakukan zina dengan ibunya.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tuhan
sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki
surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) peminum arak,
pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung
jawab/menelantarkan ibu bapaknya.”
Mengapa Riba
dilarang?
Riba
dilarang dalam Islam[26]
karena riba tidak sesuai dengan
prikemanusiaan, tidak sesuai dengan akal syara[27],
pada dasarnya semua agama melarang praktek riba, namun kenyataannya praktek
riba tetap berjalan, bahkan tidak sedikit orang yang mengerti tentang hukum pun
menjadi pelakunya. Dengan adanya praktek riba maka yang kaya akan semakin kaya
dan yang miskin akan semakin miskin, harta akan berpusat kepada orang kaya
padahal keberadaan mereka adalah sebagai kaum minoritas dalam masyarakat. Riba
juga akan melahirkan generasi kapitalis yang mana Islam tidak mengindahkannya.
Riba
juga akan menyebabkan krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa
penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai pinjaman moda
atau dengan singkat bisa disebut riba.[28]
Riba juga dapat meretakan hubungan, baik hubungan antara orang maupun hubungan
antar negara. Oleh karena itu Islam melarangnya, selain itu riba juga dapat
menimbulkan over produksi.[29]
Maksudnya daya beli masyarakat semakin lemah, persediaan barang dan jasa
tertmbun akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku. Dari sini
unngkin bisa kita cermati kenapa riba dilarang oleh agama.
Mengapa
Maisyir, Gharar Ndan Riba diharamkan?
Pembahaasan ekonomi Islam[30]
akan bersinggungan dengan materi atau harta[31]
dimana manusia dalam memperoleh harta telah diatur oleh Allah agar diantara
manuaia jangan ada yang dirugikan, Maisyir[32],
Gharar[33]
dan Riba jelas dilarang oleh
Allah apapun alasannya, karena bermuamalah dengan cara tersebut tidak beretika
sebagaimana Islam telah mengatur tentang etika bermuamalah yang seuai dengan
Norma Tuhan. Kesempurnaan hukum Islam dalam bermuamalah sangatlah berbeda
dengan hukum-hukum yang lain. ekonomi Islam memiliki prinsip yang berbeda
dengan sistem ekonomi yang lainnya, yaitu prinsip-prinsip sebagai bberikut:
Tauhid[34],
dimana manusia dalam bermuamalah harus menyadari akan adanya tuhan, jika
manusia menyadari adanya Tuhan dengan sendirinya dia akan menghindari
sifat-sifat tercela yang tidak diridhai oleh sang Maha Pencipta, pengatur dan
pemelihara alam. Jika Allah melarang perbuatan maisir, gharar dan riba, maka
manusia yang memiliki tahidilah akan mampu menghindari perbuatan tersebut tidak
diindahkan oleh hukum Islam.
Prinsip Keadilan[35],
manusia yang bermuamalah mealkuan keadilan tentu dia tidak akan melakukan Maisyir, gharar dan Riba. Karena maisyir mengandung
judi, dimana judi dilarang dalam agama Islam, maka dengan otomatis bermuamalah
yang mengandung maisyir itu tidak
adil, Gharar adalah bermuamalah yang
ada niat tidak baik, ada sesuatu yangdisembunyikan yang tentunya itu sangat
merugikan orang lain, maka praktek gharardalam
bermuamalah itu tidak adil, Riba juga
tidak kalah berbahayanya dan merusaknya bahkan praktek riba termasuk dosa
besar, yang sudah tentu itu tidak mengandung sifat keadilan dalam praktek riba,
apapun jenis ribanya.
Prinsip Amar
Ma’ruf Nahy Munkar[36].
Ada satu ungkapan yang perlu dijadikan pedoman dalam hidup yaitu “makan untuk hidup atau hidup untuuk makan” artinya
jika memilih makan untuk hidup dalam
mencari rejeki tidak menghalalkan segala cara mereka tidak peduli itu Maisyir, gharar dan Riba yang penting dia mendapatkan apa yang dia inginkan, mereka
tidak mahu tau orang lain mau susah, melarat atu mati sekalipun. Orang muslim yang beriman menyadari akan adanya
kehidupan yang lebih panjang dari kehidupan di dunia ini. Sehingga harta itu
harus dijadikan bekal untuk menyembah Allah, manusia (muslim) dituntu untuk
mmengeluarkan zakat,[37]
infaq, shadakah, dari harta yang dimilikinya, karena dibalik harta yang
diperoleh ada hak orang lain yang harus diberikan haknya. Jika tidak menunaikan
apa yang telah Allah perinahkan, maka akan masuk golongan orang yang serakah, dan orang tersebut termasuk
dalam kategori hidup untuk makan dimana
mereka hidp untuk terus-menerus mencari harta, menumpuk harta, dan bukan tidak
mungkin mereka telah mempersekutkan Tuhan dengan harta. Jika manusia sudah
mempersekutukan harta dengan Tuhan, mereka akan lupa segalanya, melupakan Tuhan
demi mengejar harta dan semakin mengejar harta semakin tidak akan mereka
temukan ketenangan dalam jiwanya, karena harta telah menghantuinya.
Manusia di dunia sangat memerlukan harta
untuk bekal selama didunia juga sebagai pelantara mengantarkannya kesurga, jika
dia memperoleh harta dengan baik dan mendistribusikannya dengan baik pula, akan
tetapi harta akan menjerumuskan manusia kedalam api neraka jika mendapatkan dan
mengeluarkan hartanya dengan jalan yang tidak baik. Agar manusia mendapatkan
harta dengan baik, maka manusia tersebut perlumemiliki akhlak ekonomi[38],
jika manusia memiliki akhlak[39]
dalam bermuamalah maka mereka tidak serta merta mengukur segalanya dengan
harta. Manusia yang mengukur kesenangan dengan harta itu keliru, karena banyak
pakta orang kaya yang justru menderita dengan kekayaannya, orang kaya ketika
tidur akan gelisah karena takut hartanya ada yang nyuri, sementara orang miskin
tidurnya nyenyak, karena dalam hidup mereka tidak ada yang ditakutkan.
Kesempurnaan Allah dalam mengatur segala
sesuatu yang ada dialam semesta ini sungguh luar biasa. Apa yang Allah ciptakan
semuanya mengandung unsur ekonomi, sekalipun menurut pandangan manusia terkadang
salah persefsi terhadap ciptaan Allah tersebut, apa yang Allah ciptakan untuk
menghidupi manusia dimuka bumi ini. Satu contoh Allah menciptakan nyamuk, namun
manusia mungkin mengeluh dengan adanya nyamuk, tapi manusia tidak berpikir
berapa juta terliun orang yang menggantungkan hidup dari nyamuk. Banyak orang
mengais rejeki karena Allah menciptakan nyamuk.
Allah menciptakan nyamuk pasti akan ada
penyakit yang didatangkan oleh nyamuk, disini manusia berpikir bagaimana
caranya membasmi nyamuk, maka manusia membuat obat nyamuk, bisa dibayangkan
berapa terliun orang yang menggantungkan hidup dari nyamuk. Padahal manusia
banyak yang mengeluh tentang nyamuk.
Ekonomi sayriah mengatur manusia agar dalam bermuamalah tidak menghalalkan
segala cara, maka dalam hukum ekonomi syariah dikenal profit lost and sharing[40], jangan sampai
kita mendapatkan harta dengan jalan yang tidak baik (dengan bathil[41])
seperti Maisyir, Gharar dan Riba, karena mendapatkan harta seperti itu termasuk dzolim yang mana Islam tidak
mengindahkannya. Dalam hukum ekonomi Islam untuk memperoleh harta tidak cukup
dengan halal tetapi juga harus tahyib.
Untuk mewujudkan
keseimbangan dan keharmonisan, maka dalam bermuamalah kita dituntut harus adil[42], tidak melakukan Maisyir, Gharar dan Riba, dalam filsafat, hukum Islam memiliki
tiga konsep yaitu, Tuhan, Alam dan Manusia[43].
Allah menciptakan Alam untuk kehidupan manusia dan manusia berkewajiban
menyembah Allah dan juga menjaga alam, agar alam yang menjadi sumber kehidupan
manusia tidak hancur oleh ulah manusia sendiri. Artinya dalam mencari harta
manusia harus memperhatikan alam, jangan sampai mengeruk kekayaan tanpa
memperhatikan kerusakannya[44].
Maka jika dalam mencari harta manusia didasari untuk beribadah kepada Allah, manusia
tidak akan merusak alam yang telah Allah ciptakan untuk kehidupan manusia, maka
jika manusia meruaknya, manusia termasuk dzolim kepada Allah, kepada alam dan
kepada manusia.
Maisyir,
Gharar dan Riba, dilarang oleh agama
Islam, karena dengan adanya praktek tersebut akan melahirkan kedzoliman, jika
kedzoliman telah lahir di masyarakat, maka masyarakat tersebut tidak akan
merasakan ketentraman, kedamaian dan keamanan. Dengan adanya praktek Maisyir, Gharar dan Riba, manusia akan saling bermusuhan bahkan akan saling membunuh
satu sama lain, jadi tidak salah kiranya jika dalam etika ekonomi Islam
melarang praktek Maisyir, Gharar dan Riba.
Tanggapan dan Aksi para Cendekiawan Muslim diberbagai
Negri dalam menyikapi Perekonomian.
Sistem perekonomian yang di kembangkan oleh para ekonom kapitalis dan
sosialis akhirnya mendapatkan respon dari berbagai negara Muslim di dunia, para
ulama moderen memandang bahwa sistem bunga[45] yang
dijalankan dalam perbankan konvensional sangat tidak manusiawi sebagian besar
ulama berpendapat bahwa bunga adalah riba. Riba dalam Islam sudah sangat jelas
dilarang, pelarangan tersebut telah termaktub dalam Al-Quran, Al-Hadits, Ijma
dan Qias.
Kritikan mereka
aplikasikan dengan mendirikan perbankan yang berbasis syariah, hampir setiap negara[46]
mendirikan bang syariah[47]. Perlu
kita syukuri adanya perkembangan hukum Islam yang dalam hal ini adalah dalam
sisi ekonomi. Kita tidak sedang membicarakan perkembangan ekonomi Islam yang
bersifat nasional, tetapi membicarakan sekala Internasional, saat ini para
ekonom tengah melirik sistem ekonomi syariah yang begitu drastis melejit,
hampir disetiap Negara mendirikan Bank
Syariah. Bahkan orang-orang non muslim banyak yang malah melirik bank syariah
daripada bank konvensional.
Di Indonesia sejak lahirnya BMI[48]
sampai sekarang telah menginspirasi berbagai bank konvensional mendirikan bank
syariah[49],
seperti, BRI, Mandiri, BJB, BNI, Bank Mega, dll, semua mendirikan syariah.
Selain bermunculannya Bank konvensional menjadi bank syariah,
perusahaan-perusahaan yang tadinya tidak memakai sistem syariah saat ini banyak
yang memakai syariah. Banyaknya bank dan perusahaan yang beralih provesi dari
konvensional kepada syariah, selain perlu untuk di syukuri juga perlu untuk
dicermati, karena kemunculan mereka akan memunculkan dua dampak bagi hukum
Islam. Yang pertama dampak negatif, kenegatifan munculnya bank dan
perusahaan yang alih status dari konvensional kepada syariah ialah dihawatirkan
mereka hanya ikut trent tetapi tidak menjalankan hukum syari’ah, sehingga hukum
Islam akan dipandang sama dengan hukum yang lainnya yang dalam ekonomi
disamakan dengan hukum konvesnional, padahal hukum ekonomi syariah dengan hukum
ekonomi konvensional layaknya seperti air dan minyak. Yang kedua dampak positif, kemunculan
bank dan perusahaan yang membuka syariah juga membawa damppfak positif
bagi hukum Islam, ialah bahwa hukum Islam diakui oleh dunia sebagi
suatu hukum yang sempurna, yang tidak hanya mengatur hubungan antara Tuhan dan
Manusia (ibadah) tetapi juga mengatur hubungan antara manusia denagan manusia
(muamalah), jika para ekonom-ekonom yang alih profesi menjalankan hukum Islam
sebagaimana mestinya.
Tujuan utama didirikannya bank Syariah adalah agar umat
Islam menghindari praktek yang dilarang oleh agama seperti, riba, gharar dan
maisyir, namun pada kenyataannya praktek ribawi masih melekat, bahkan tidak
sedikit bank yang berlebelkan syariahpun masih melakukan praktek riba, hanya
saja mereka mengemas dengan kata-kata Islam. Maka ekonom Islam
mengklasifikasikan bank syariah mulai dari level[50] A
dan seterusnya.
Perkembangan hukum Islam dalam bidang ekonomi memang dibutuhkan, karena
jika kita membicarakan ekonomi maka kita akan membicarakan hukum sosial, yang
mana hukum tersebut akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,
jika hukum ekonomi Islam tidak berkembang maka Islam akan ketinggalan oleh
hukum-hukum lain.
Pandangan Non Islam mengenai
Riba.
Pelanggaran riba bukan
hanya terdapat dalam ajaran Islam saja, riba telah menjadi musuh bersama,
penyakit sosial yang latindan ancaman yang universal bagi semua bangsa dan
umat. Karenanya, kajian masalah riba dapat diruntut mundur hingga lebih dari 2
rebu tahun silam. Masalah riba telah menjadi wacana di kalangan Yahudi[51],
Yunani[52],
Romawi[53],
dan Kristen[54]. Jadi pada dasarnya semua
agama melarang praktek riba, karena praktek tersebut perbuatan zhalim, namun
pada kenyataannya manusia gelap akan kebenaran, mereka hanya melihat dari satu
sisi, yaitu keuntuungan, tanpa mereka pikirkan akibat darinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al- Arif, M.Nur Rianto (2011), Dasar-dasar Ekonomi Islam, Solo: Era
Adicitra
Intermedia.
Al
Kaaf, Abdullah Zaky (2002), Ekonomi dalam
Perspektif Islam, Bandung: CV
Pustaka Setia.
Al-Ghozali, Ihya
Ulum al-Din. Al-Juz al-Stalist. Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah.
Ash- Shawi, Shalah dan Abdullah Al- Mushlih (2008), Fikih Ekonomi Keuangan
Islam, Jakarta: Darul Haq.
Antonio,
M. Syafi’i Antonio (2005), Bank Syariah,
dari teori ke praktek, Jakarta;
Gema Insani.
Al-Qaradhawi,
Yusuf (2002). Fiqih Praktis, Jakarta:
Gema Insani Press.
_________________(2003).
Hakikat Tauhid dan Penomena
Kemasyarakatan,
Jakarta: Rabbani Press,
Aedy,
Hasan (2007), Indahnya Ekonomi Islam, Bandung:
Alfabeta.
Abidin, Zaenal (2014) Filsafat Manusia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Bank
Islam Malayasia Berhad (1994). Islamic
Bank Practice from the
Practitioner’s
Prespective, Kluala Lumpur.
Bank
Muamalat, ( 1999) Anual Report, Jakarta.
Cii
(1983). Consolidated on the Islamic
Ekonomic Syistem, Islamabad: Council of
Islamic Idiology.
Chalil, Munawar (1981), Kembali Kepada al-Quran dan As-Sunnah, Jakarta:
Bulan Bintang.
Dahlan,
Zaini dkk, (1987), filsafat Hukum Islam, Departemen Agama RI.
Dagobert
D. Runes, A Treasury of Philosophy, 1,
137-144.
Departemen
Agama RI (2009). Mushaf Al-Qur’an dan
Terjemah. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Doi. A. Rahman I. (2002), Penjelasan Lengkap Hukum- Hukum Allah (syariah),
Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada,
el-Najjar,
Ahmad (1972). Bank Bila Fawaid ka Istiratijiyah al-Iqtishadiyah,
Jeddah: King Abdul Aziz University
Press.
Efendi, Satria (1988), Riba dalam Pandangan Fiqih,
kajian islam tentang
berbagai masalah kontemporer, Jakarta: Hikmah Syahid Indah.
Faridl, Miftah (2010), Pokok-pokok
Ajaran Islam, Bandung: Pustalka.
Ghozali,
Suyuti dkk, (1986). Pedoman
Zakat, Jakarta: PT Cemara Indah.
Hakim,
Atang Abdul (2011). Fiqih Perbankan
Syariah, Bandung: PT Refika
Aditama.
Hoetoro,
Arif (2007), Ekonomi Islam, Malang:
Badan Penerbit Fakultas
Universitas Brawijaya.
Huda, Nurul (2008), Ekonomi Makro Islam, Jakarta:
Kencana Prenada Media
Group.
Hasan, Nurul Ichsan (2013) Pengantar
perbankan syariah. Jakarta.: Kalam Mulia,
Islahi, A.A 1995. Market Machanisme in Islam: Historical Perspective. Jurnal of
Islamic
Ekonomics. Volume 3, Namber 2,
January 1995. Kuala Lumpur International Islamic University Malayasia.
Izzan,
Ahmad dan Syahri Tanjung, (2006) Refrensi
Ekonomi Syariah, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Offset.
Karim,
Adiwarman A (2001), Ekonomi Islam, Jakarta:
Gema Insani
Kazarian,
Elias G (1993), Islamic Versus
Traditional Banking, Boulder:
WestviewPress.
Lubis, Ibrahim (1999), Ekonomi Islam Suatu Pengantar 2, Jakarta: Radar Jaya
Offset.
Mardani
(2011), Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi
Syariah, Jakarta: RajaGrapindo
Prsada,
_______(2010),
Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Jakarta:
Pustaka Pelajar,
Muhammad
(2005), Bank Syariiah, problem dan
Prospek Perkembangan di
Indonesia.
Yogyakarta:
Ghama Ilmu.
Muthhari,
Murtadha (1981), Keadilan Ilahi Asas
Pandangan Dunia Islam,
Bandung: Mizan.
Nasution,
Mustofa Edwin dkk (2007), Ekonomi Islam,
Jakarta: Kencana.
Praja,
Juhaya S (2008). Aliran-aliran Filsafat
dan Etika, Jakarta: Pranada Media.
Rusin,
Bakhtiar (1991), Adz-Zikra Terjemaah & Tafsir Al-Qur’an, Bandung:
Angkasa,
Rasid,
Sulaeman (1976), Fiqih Islam, Jakarta:
Attahiriyah.
Sayid,
Abdullah (1996) Isamic Banking and
Interest,: A Study of The Prohibition
of Riba and its Contemporary
Interpratation. E.J. Brill Leiden. New York: Koln.
Shidik, Safiudin (2004), Hukum Islam tentang Berbagai Persoalan Kontemporer,
Jakarta: PT.
Intimedia Cipta Nusantara.
Shadar,
Muhammad Baqir Ash (2008), Buku Induk
Ekonomi Islam “Iqtishadina”
Jakarta: Zahra.
Shihab,
M. Quraish (2002), Wawasan al-Qur’an, Bandung:
Mizan.
Suhendi,
Hendi (2005). Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Syafe’i,
Rahmat (20015) Ilmu Ushul Fiqih(Bandung;
Pustaka Setia.
_____________
(2001)Fiqih Muamalah. Bandung:
Pustaka Setia.
Subhani,
Ja’far (1995). Studi Kritis Faham Wahabi
dan Syirik, Bandung; Miizan.
Taufiqullah
(2004). Zakat Pemberdayaan Ekonomi Umat, Bandung:
BAZ Jabar.
zhulm, itsm, dhalal, dll (1984), Kahduri, The
Islamic Conception of Justice.
[1] Mahasiswa Pasca Sarjana S2 UIN SGD Bandung Email:alawianakrantaukagoknekat@gmail.com /Tlp./WA/Line:081809460709./Fb. AlawiAlbantani/Twiter.@anakrantau5
[2] Etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos
mempunyai beragam arti : petama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai
apa yang harus, mesti, ugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung
jawab dan lain-lain. Kedua, pencairan ke dalam watak moralitas atau
tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik secara
moral (Tim Penulis Rasda Karya : 1995)
[3] Etika untuk selalu menyampaikan yang benar (Ali Imran: 95,
al-Hijr:64, Maryam: 54at-Taubah: 119, al-Ahzab;73) rasul pernah ditanya dapatkah seorang mukmin kikir dalam
membelanjakan hartanya rasul menjawab, dapat,
dapatkah seorang muslim menjadi seorang penakut rasul menjawab, dapat, lalu dia bertanya lagi, dapatkah seorang mukmin menjadi seorang
pembohong, rasul menjawab, tidak.
Etika
untuk dapat dipercaya. (An-Nisa: 58, al-Anfal: 27, al-Baqarah: 283, at-Ta-takwir:19-21)
krisis perbankan sekarang tidak akan menjadi separah ini bila saja masyarakat
tidak dihinggapi krisis kepercayaan kepada para bankir.
Etika
untuk mengerjakan sesuatu dengan ikhlas, (al-Bayyinah:5, al-Maa’uun:4-7) rasul
bersabda, setia aalan bergantung pada
niatnya dan setiap orang akan mendapat sesuai niatnya. Etika persaudaraan,
Etika penguasaan ilmu pengetahuan dan Keadilan (Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani,
2001, hal, 166)
[4]
Riba menurut artinya dalam
bahasa Arab ialah lebih-bertambah. Sedangkan “riba menurut syara’ adalah akad
yang terjadi dengan penukaran yang tertentu tidak diketahui sama atau terlambat
menerimanya”. (Ibrahim Lubis. Ekonomi
Islam Suatu Pengantar 2, Jakarta: Radar Jaya Offset, 1999, Cet. 1, h. 503)
[5]secara linguistik bahwa riba
juga berarti tumbuh dan membesar”. (Nurul Huda, et al. Ekonomi
Makro Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008, Cet. 1, h. 239.)
[6] Riba menurut terminologi ilmu fiqih, artinya yaitu, tambahan khusus yang
dimiliki salah satu dari dua pihak yang terlibat tanpa ada imbalan tertentu”. (Shalah Ash- Shawi dan Abdullah Al- Mushlih. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq, 2008, Cet. II,
h. 339)
Abu Hanifah mendefinisikan riba adalah
melebihkan harta dalam suatu transaksi dengan tanpa pengganti atau imbalan
maksudnya tambahan terhadap barang atau uang yang timbul dari sesuatu
transaksi utang piutang yang harus di berikan oleh berutang kepada pihak
berpiutang pada saat jatuh tempo”.
Ibn Arabi Al-Maliki dalam bukunya Ahkam Al-Quran
menjelaskan bahwa riba yang dimaksudkan dalam Al-Quran sebagai suatu hal yang
bathil adalah setiap penambahan yang diambil tanpa ada satu transaksi pengganti
atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”. ( M.Nur Rianto Al- Arif. Dasar-dasar
Ekonomi Islam, Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011, Cet.I, h. 95, 96)
[8] Menurut Satria Efendi, riba nasiah adalah tambahan
pembayaran atas jumlah modal yang diisyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar
oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak
waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam. (Satria Efendi. Riba dalam
Pandangan Fiqih, kajian islam tentang berbagai masalah kontemporer, Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988, hal. 147)
Riba Nasiah
adalah bila kreditor (pihak yang meminjamkan uang) meminjamkan uangnya pada
batas waktu tertentu dengan memungut bunga sebagai tambahan kepada modal
(pokok) nya. jika debitur (pihak yang meminjam) belum mampu membayar utangnya
pada saat jatuh tempo, maka kreditor bersedia memberikan tenggang waktu
pembayaran kepada debitor dengan syarat ia bersedia menambah pembayaran di atas
jumlah pokok yang dipinjamkan. Jika pada jatuh tempo berikutnya debitur masih
belum sanggup membayar utangnya maka akan dilipat gandakan lagi. Begitulah
seterusnya. Tibul pertanyaan apakah bunga yang dibayar atau yang diterima oleh
bank dapat disamakan dengan riba pada zaman jahiliyah yang menyebabkan
kemiskinan dan kemelaratan bagi peminjam karena penundaan waktu pembayaran?.
Para ahli hukum Islam dan para Ahli Tafsir baru meninjau masalah riba ini dari
segi hukumnya saja, dan belum ada yang menninjaunya dalam segi ilmu ekonomi.
Lalu bagaimana bagaimana halnya dengan bunga yang terjadi bukan karena
utang-piutang sehingga menjadi riba, dan bukan pula manfaat yang diambil dari
jaminan utang yang hukumnya haram, tapi keuntungan yang diperoleh dari simpanan
uang pada Bank Tabungan Negara (tabungan pos) yang menguntungkan kedua belah
pihak; baik pihak yang menyimpan maupun pihak yangmenerima simpanan? Dalam hal
ini Prof. Dr. Mahmoud Syaltout mantan rektor Universitas Al- Azhar menulis
sebagai berikut:
“dengan menerapkan hukum-hukum syara’ dan
kaidah-kaidah fiqih yang benar, kami berpendapat bahwa bunga tabungan adalah
HALAL dan tidak haram. Sebab uang yang ditabung bukanlah piutang dari pemilik
kepada pos, dan pos juga tidak meminjam kepada pemiliknya, tapi pemilik uang
itu dengan sukarela datang kekantor pos minta supaya uangnya diterima
(disimpan). Pemilik uang ini tahu bahwa pos memutar uang tersebut dalam
lapangan perdagangan yang jarang, bahkan tak ada menalami kerugian. Menabung
ini dimaksudkan: (1). Menyimpan uang agar tidak hilang dan membiasakan dirinya
untuk menabungdan berlaku hemat. (2). Memberikan tambahan modal kepada jawatan
pos agar dapat memerluas kegiatannya, juga kepada pemerintah. Kedua hal ini,
yakni membiasakan berhemat dan membantu jawatan pemerintah, adalah tujuan yang
mulia dan mengandung kebaikan dan berkat. Pelakunya harus didorong dan diberi
semangat. Bila jawatan dalam memberi program memberi doronngan ini menyisihkan
sebagian labanya dari uang yang ditabung dan diberikan kepada para penabung,
maka tindakan ini merupakan tindakan yang berguna dan suatu bentuk
kegotong-royongan yang merata. Hasil gunanya mencakup penabung, pegawai dan
pemerintah, dan sama sekali tidak ada unsur pemerasan atas seseorang atau
penindasan atas kebutuhan orang yang terdesak. Kehalalan Muamalah (kerja sama)
ini tidak tergantung pada bentuk-bentuk serikat-serikat yang biasa dikenal oleh
para hli fiqih dan yang mereka tentukan hukum-hukumnya. Pada halkikatnya kerja
sama ini dengan segala macam cara dan pengaturannya dan terjaminnya keuntungan
belum dikenal oleh para ahli fiqih kita dahulu, sewaktu mereka membicarakan
bentuk-bentuk serikat dan menentukan syarat-syaratnya. Dalam perkembangan
selanjutnya masyarakat telah mencetuskan bentuk kerja sama dibidang
perekonomian yang didasarkan atas landasan yang benar dan adil yang belum
diketahui sebelumnya. Selama dasar pertimbangan syara’ dalam menghalalkan atau
mengharamkan dilandaskan kepada firman Allah Swt.
1. Allah mengetahui mana yang merusak dan mana yang
membangun (Al-Baqarah:220)
2. Kamu tidak
menganiaya dan tidak dianiaya (Al-Baqarah:279,
maka kita dapat menguatkannya dan berjalan diatas ketentuan-ketentuannya. Dari
sinilah jelas bagi kita bahwa keuntungantersebut bukan bunga yang didapat dari
utang dan piutang sehingga menjadi riba, dan bukan pula manfaat yang
diambil dari jaminan utang yang hukumnya
haram dan terlarang, tetapi keuntungan tersebut (seperti yang kami kemukakan)
merupakan daya penarik bagi para penabung untuk menyimpan uangnya dan
bergootong-royong sesuai dengan anjuran syara’. Di bagian piutang sehindalam keadaan darurat bila
seseorang terpaksa berutang dengan membayar bunga, maka keterpaksaannya itu
menghilangkan dosa dari perbuuatannya.
(Mardani, Ayat-ayat
dan Hadits Ekonomi Syariah, Jakarta: RajaGrapindo Prsada, 2011, hal 17, 18.
Lihat juga Mardani, Hukum Ekonomi Syariah
di Indonesia, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010, halaman 119)
[9]
Riba fadhal adalah bentuk
kedua dari riba yang telah digunakan dan selalu terjadi dalam transaksi antara
pembeli dan penjual, dimana diartikan sebagai kelebihan pinjaman yang dibayar
dalam segala jenis, berbetuk pembayaran tambahan oleh peminjam kepada kreditor
dalam bentuk penukaran barang yang jenisnya sama” (M.Nur Rianto Al- Arif. Dasar-dasar Ekonomi
Islam, Solo: Era Adicitra
Intermedia, 2011, Cet.I, h. 96)
Riba fadli
ialah mempertukarkan atau memperjualbelikan suatu barang dengan barang yang
sejenis, atau yang mirip dengannya. Misalnya mempertukarkan atau memperjualkan
10 kg beras dengan yang berkualitas baik dengan 15 kg beras yang berkualitas
buruk, atau mempertukarkan 10 gram emas murni dengan 15 gram emas yang sudah
bercampur. Dalam hal ini bila seseorang membutuhkan beras yang berkualitas
baik, sedangkan beras yang ada padanya berualitas buruk, hendaknya ia menjual berasnya itu lebih
dahulu, lalu dengan hasl penjualan itu dibelinya beras yang berkualitas baik.
(Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi
Syariah, Jakarta: RajaGrapindo Prsada, 2011, hal 18. Lihat Bakhtiar Rusin, Adz-Zikra Terjemaah & Tafsir Al-Qur’an, Bandung:
Angkasa, 1991, juz 1-5, halaman 270.)
[10] Dalam istilah hukum islam, “riba berarti tambahan baik
berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk
membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada
hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu” (Safiudin Shidik,
MA. Hukum Islam tentang Berbagai Persoalan Kontemporer, Jakarta: PT. Intimedia
Cipta Nusantara, 2004, Cet. 1, h. 314.)
[11] (Safiudin Shidik, MA. Hukum
Islam tentang Berbagai Persoalan Kontemporer, Jakarta: PT.
Intimedia Cipta Nusantara, 2004, Cet. 1, h. 316.)
[13]Riba menurut Ar- Razi, antara lain:
a.
Merampas kekayaan orang lain.
b.
Merusak moralitas. Allah
berfirman “dan, jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh
sampai dia berkelapangan.” (Q.S. Al-Baqarah: 280)
c.
Melahirkan benih kebencian dan
permusuhan.
d.
Yang kaya semakin kaya, yang
miskin semakin miskin.
Aspek-aspek riba dan perjudian yang paling utama
dilarang oleh Raslullah SAW. Contohnya :
a.
Menjual barang atau tanah yang bukan milik si penjual.
b.
Menjual binatang yang masih dalam kandang.
c.
Menjual burung yang belum diburu dan ikan yang belum ditangkap.
d.
Menjual musarrat, biri-biri betina yang tidak mengeluarkan susu, dan
membebankan susunya pada si pembeli.
e.
Menjual barang yang rusak (cacatnya) namun disamarkaan.
f.
Menjual barang, si pembeli hanya boleh menyentuh barang tersebuat, tanpa
dilihat dan diteliti terlebih dulu.
g.
Menjual sepotong pakaian tanpa menampakkannya dengan jelas pada si pembeli.
h.
Menjual barang sembarangan tanpa ditimbang dan diukur.
i.
Menjual barang pertanian yang belum menghasilkan.
j.
Mengatur presetujuan kepeda seseorang dengan tawaran harga tinggi
k.
Menjual buah-buahan sebelum menampakkan tanda-tanda buah yang masuk”.
(A. Rahman I. Doi.
Penjelasan Lengkap Hukum- Hukum Allah (syariah), Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002, Cet. 1, h. 459-460).
[14]Paera sarjana muslim memberi
ilustrasi yang menarik tentang nasib uang jjika riba dilekatkan pada uang. Mmenurut al-Ghozali, akibat dari praktek riba
adalah uang menjadi kehilangan nilai “sakralnya” dan akan terpenjara dalam
situasi yang memandulkan fungsi-fungsi utamanya. Dalam Ihya AL-Ghozali mengatakan. “ketika
seseorang memperdagangkan dirham dan dinar, maka dia sungguh telah membuat
mereka tujuan erdagangannya yang jelas bertentangan dengan fungsi uang yang
sebenarnya. Uang tidaklah diciptakan untuk mendapatkan uang, dan mmelakukan
tidakan itu adalah berdosa. Dua macam uang itu merupakan sarana untuk
memperoleh barang-barang; mereka tidak melayani dirinya sendiri. Dalam
kaitannya dengan barang-barang lainnya, dinar dan dirham mirip dengan
proporsisi dalam kalimat yang digunakan untuk memberi makna atas kata-kata,
atau sepperti sebuah cermin yang merefleksika warna-warna namun dia sendiri
tidak berwarna. Apabila orang diijinkan untuk menjual (atau menukar) uang
dengan uang (agar mendapatkan keuntungan), lantas transaksi itu menjadi
tujuannya maka uang itupun akan menjadi terpenjara. Ibaratnya ialah
memenjarakan ppemerintah yang seharusnya dibiarkan menunaikan tugas-tugasnya,
maka demikian juga uang. (Ari Hoetoro, Ekonomi
Islam, Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2007.
Hal. 146 lihat juga Al-Ghozali, Ihya Ulum
al-Din. Al-Juz al-Stalist. Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Hal 192)
[15] Menurut Ibn Rusyid “Merupakan perkara yang jelas menurut syari’ah bahwa tujuan pelarangan
ppraktek riba terkait dengan kemungkinan penipuan yang besar. Keadilan
transaksi seharusnya diwujudkan dalam ukuran ekuivalensi. Akan tetapi, ketika
mewujudkan ekuivalansi diantara macam-macam barang yang berbeda itu hampir
tidak mungkin, maka dinar dan dirham dibuat untuk memenuhi kebutuhan ini.
Selanjutnya apabila komoditas itu berbeda dan tidak dapat ditimbang atau
diukur, maka maka keadilan terletak pada proposisinya. Rasio nilai satu barang seharusnya disamakan dengan
barang-barang yang lain menurut jenisny. Misalnya, ketika seorang menjua seekor
kuda untuk mendapatkan pakaian, maka keadilan dapat diraih jika rasio nilai
kuda itu atas kuda-kuda yang lainnya sama dengan rasio pakaian itu atas
pakaian-pakaian yang lainnya. Sehingga, jika nilai kuda ituadalah lima puluh,
seharusnya nilai pakaian juga lima puluh, kendati pun ekuivalensi itu setara
dengan sepuluh potong pakaian. Jadi, komoditas-komoditas ini di contohkan
seekor kuda ekuivalen dengan sepuluh potong pakaian. (Ari Hoetoro, Ekonomi Islam, Malang: Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2007. Hal. 146 lihat juga Islahi, A.A
1995. Market Machanisme in Islam:
Historical Perspective. Jurnal of Islamic Ekonomics. Volume 3, Namber 2,
January 1995. Kuala Lumpur International Islamic University Malayasia.)
[16] وَلَقَدۡ
مَكَّنَّٰكُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَجَعَلۡنَا لَكُمۡ فِيهَا مَعَٰيِشَۗ قَلِيلٗا مَّا
تَشۡكُرُونَ ١٠
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka
bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah
kamu bersyukur(QS. Al-A’raf:10)
[17] وَيۡلٞ
لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١ ٱلَّذِي
جَمَعَ مَالٗا وَعَدَّدَهُۥ ٢ يَحۡسَبُ
أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخۡلَدَهُۥ ٣
1. Kecelakaanlah
bagi setiap pengumpat lagi pencela 2. yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitung 3. dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya( QS Al-Humazah:1-3)
[18] وَمَآ
ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ
عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ
فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ ٣٩
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya) (QS Al-Rum:39)
[19] ٱلَّذِينَ
يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ
إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ
ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا
سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ
ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥
Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.( QS Al-Baqarah:275)
[20] (M.Nur Rianto Al- Arif. Dasar-dasar
Ekonomi Islam, (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011, Cet.I, h. 102,104)
[21] وَمَآ
ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ
عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ
فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ ٣٩
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya) (Q.S. Ar Rum: 39)
فَبِظُلۡمٖ
مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمۡنَا عَلَيۡهِمۡ طَيِّبَٰتٍ أُحِلَّتۡ لَهُمۡ
وَبِصَدِّهِمۡ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ كَثِيرٗا ١٦٠
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan
atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah
وَأَخۡذِهِمُ
ٱلرِّبَوٰاْ وَقَدۡ نُهُواْ عَنۡهُ وَأَكۡلِهِمۡ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِۚ
وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا ١٦١
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih (Q.S. An Nisa: 160-161)[22]
[23] يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٣٠
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan (Q.S. Ali Imran: 130)
[24] يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ٱلۡحُرُّ
بِٱلۡحُرِّ وَٱلۡعَبۡدُ بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ
مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ
بِإِحۡسَٰنٖۗ ذَٰلِكَ تَخۡفِيفٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةٞۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ
بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٧٨ وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ
يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Q.S. Al Baqarah: 278-279).
[25]Segala perbuatan, perkataan dan
keizinan Nabi Muhammad saw. (Af’al, Aqwal, dan Taqrir. Juga dapat berarti, (1).
UU atau peraturan yang tetap berlaku, (2). Cara yang diadakan, (3) jalan yang
telah dijalani, (4) keterangan. (Miftah Faridl, Pokok-pokok Ajaran Islam, Bandung: Pustalka, 2010, hal. 18. Lihat
juga. H. Munawar Chalil, Kembali Kepada
al-Quran dan As-Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hal. 196.)
[26] Islam melarang bunga dan
menghafuskan riba. Dengan langkah ini, Islam memastikan transformasi
(perubahan) modal yang dalam masyarakat Islam menjadi modal produktif yang
dimanfaatkan dalam ranah perniagaan ataupun industri. (Muhammad Baqir Ash
Shadar, Buku Induk Ekonomi Islam
“Iqtishadina”, Jakarta: Zahra, 2008. Hal. 407)
[27] Akal dan syara’ merupakan
pasangan yang tidak dapat dipisahkan, dengan bekerja sama yang erat, antara
akal dan syara’ kita berada di atas jalan yang lurus, dapat menikmati arti
hidup, berpandangan luas, dan dapat memelihara keseimbnagan antara tuntutan
otak dan hati. Al-Ghozali memberikan penjelasan antara akal syara’ “adapun akal tidaklah dapat memberi petunjuk
melainkan dengan bimbingan syara’ (agama), dan agama tidak akan jelas dipahami
melainkan dengan akal yang sehat. Akal laksana pondaen dan agama (syara’)
laksana bangunan di atasnya; dan tidaklah ada gunanya pondamen tanpa bangunan
diatasnya, dan sebaliknya sebuah bangunan tidak dapat berdiri dengan tangguh
tanpa pondamen. Demikian pula akal laksana mata dan syara’ laksana pancaran
cahaya, maka tidak ada gunanya mata jika pancaran cahayanya tidak ada; dan
apafaedahnya cahaya jika mata tidak ada. Akal laksana pelita dan syara’ laksana
minyaknya, jika minyak tidak ada seolah-olah pelita tidak ada pula. Selama
tidak ada pelita, tidaklah minyak memberi cahaya. Sayara’ adalah akal dari luar
dan akal adalah syara dari dalam, keduanya saling membantu bahkan menyatu. Oleh
karena syara’ merupakan akal dari luar maka Allah ta’ala hilangkan sebutan akal
dari orang kafir pada banyak tempat dalam al-quran, seperti dalam firman-Nya;
“Mereka tuli, bisu dan buta, mereka tidak berakal”. Dan oleh karena akal adalah
syara’ dari dalam, Allah berfirman menerangkan sifat akal; “Ciptaan Allah yang
Ia ciptakan manusia atas kepercayaan kepada tauhid. Tidak ada yang dapat
merobah akal ciptaan Allah, itulah agama yang lurus”. Dinamakan akal dengan
sebutan agama, karena keduanya bersatu. Ingat pula akan firman Allah Ta’ala;
“Nurun ‘ala nurin’, cahaya diatas cahay, maksudnya itulah cahaya akal dan
cahaya syara’” (Zaini Dahlan, dkk, filsafat Hukum Islam, Departemen Agama
RI, 1987, 122,123,124. Lihat juga Juhaya S Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Pranada Media, 2008,
hal. 177. Lihat juga. Dagobert D. Runes, A
Treasury of Philosophy, 1, 137-144).
[28] Hendi Suhendi, 2002, Fiqih Muamalah, Jakarta PT
RajaGrapindo Persada, 65 selanjutnya lihat juga Sulaeman Rasid. 1976, Fiqih Islam, Jakarta: Attahiriyah, 261
[29] Hendi Suhendi, 2002, Fiqih Muamalah, Jakarta PT
RajaGrapindo Persada,
[30] Ekonomi dalam Islam itu
sesungguhnya bermuara kepada akidah Islam, yang bersumber dari syariatnya.
Sedangkan dari sisi lain ekonomi Islam bermuara pada al-Qur’an al Karim dan As-Sunnah
Nabawiyah. (Mustofa Edwin Nasution dkk, Ekonomi
Islam, Jakarta: Kencana, 2007, 16)
[31] Para ulama berbeda pendapat mengenai harta,
namun di sini dapat disimpulkan bahwa penekanan para ulama dalam mendefinisikan
harta itu antara lain sebagai berikut;
Habi
Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa harta adalah nama bagi selain manusia, dapat
dikelola, dapat dimiliki, dapat diperjualbelikan, dan berharga. Kedudukan harta
telah diterangkan dalam al-Qur’an. (Hendi
Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2005, 11, 12, 13. lihat
juga Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. Bandung:
Pustaka Setia, 2001)
ٱلۡمَالُ
وَٱلۡبَنُونَ زِينَةُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.(QS. Al-Kahfi:46)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka(QS. At-Taghabun:14)
إِنَّمَآ
أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di
sisi Allah-lah pahala yang besar (QS.
At-Taghabun:15)
[32]“Maysir atau qimar secara harfiah bermakna judi (istilah kerennya
spekulasi). Secara teknis adalah setiap permainan yang didalamnya disyariatkan
adanya suatu (berupa materi) yang diambil dari pihak untuk pihak yang menang”.
Berikut beberapa definisi judul (Maysir atau qimar) menurut Ibrahim Anis dkk.
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith hal.758, judul adalah setiap permainan (Ia’b[un])
yang mengandung taruhan dari kedua pihak (muraahanah). (M.Nur Rianto Al- Arif. Dasar-dasar Ekonomi Islam, Solo: Era Adicitra
Intermedia, 2011, Cet.I, h. 108)
[33] Al-Gharar ialah
“ketidakpastian”. Maksud ketidak pastian dalam transaksi muamalah adalah, “terdapat sesuatu yang ingin
disembunyikan oleh sebelah pihak dan menimbulkan rasa ketidakadilan serta
penganiayaan terhadap pihak lain” (M.Nur Rianto Al-
Arif. Dasar-dasar Ekonomi Islam, Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011, Cet.I, h. 104.)
[34] merupakan inti ajaran Islam,
sedangkan inti ajaran tauhid adalah monotheis (tiada tuhan selain Allah)
yaitu ajaran tentang hakikat ke-Esaan Allah SWT. Esa dalam segalanya, zat,
sifat dan perbuatan. Dengan demikian tauhid
adalah eksistensi keislaman. Allah adalah pencipta, pengatur, dan
pemelihara ‘alam, Dia adalah pencipta hukum. (Atang Abdul Hakim, hal 146. Lihat
juga Yusuf Qardhawi, Hakikat Tauhid dan
Penomena Kemasyarakatan, Jakarta: Rabbani Press, 2003, hal 5. Lihat juga
Ja’far Subhani, Studi Kritis Faham Wahabi
dan Syirik, Bandung; Miizan, 1995, hal 24).
[35] Menurut perspektif al-qur’an
keadilan memiliki empat macam arti. Pertama,
adil berarti “sama” (al-musawat), QS. Al-Nisa {4}: 58. Artinya ayat ini
menuntun para hakim untuk menempatkan para pihak yang berperkara dalam posisi
yang sama. Kedua, adil berarti
“seimbang” (al-mizan), QS. Al-Hadid {57}
: 25dan QS. Ar-Rahman {55}: 9. Keadilan disini semakna dengan kesesuaian
(proporsional), keadilan model ini tidak menutuk kesamaan kadar dan syarat bagi
semua unit agar seimbang. Yang satu bisa lebih besar atau lebih kecil dari yang
lain sesuai dengan proporsinya. Pengertian ini menunjukan bahwa Allah SWT. Maha
Bijaksana dan Mengetahui, Menciptakan dan mengelola sesuatu sesuai dengan kadar
dan waktu tertentu. Ketiga, keadilan
ialah memelihara hak individu dan memberikannya kepada yang berhak (i’to’u syaiin ila ilamustahikk). Pengertian
ini membewa kepada pengertian lain, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya (wad’u syaiin fimahalihi), disamping
itupun berkaitan dengan keadilan sosial yang harus dihormati. Maka ketiga bersandar kepada dua hal;
(1) hak dan preferensi, yaitu jika seseorang membuat sesuatu maka ia menjadi
pemilik hasil pekerjaannya. (2). Kekhasan pribadi manusia, artinya agar
masyarakat meraih kebahagiaan maka hak dan preferensinya harus dipelihara. Keempat. Keadilan yang dinisbatkan
kepada Allah SWT, artinya memelihara hak berlanjutnya eksistensi. (Atang Abdul
Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, Bandung:
PT Refika Aditama, 2011, 193. Lihat juga M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2002,
halm. 114, 116. Murtadha Muthhari, Keadilan
Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam, Bandung: Mizan, 1981. Hlm. 54,58 )
[36] Adalah salah satu
prinsip-prinsip hukum Islam (al-tauhid,
al-adalat, al-huriyat, al-musawat, dan al-tasamuh (toeransi). Banyak
disebut dalam al-quran seperti dalam QS. Ali Imran: {3}: 140 dan 114, QS.
Al-A’raf {7}: 157, QS. Al-Taubah {9}:71, QS. Al-Nahl {16}: 90, dan QS.
Al-Ankabut {29}: 45. Ayat-ayat ini mengisyaratkan bahwa al-qur’an adalah kitab
dakwah yang harus disebar luaskan kepada umat manusia, karena didalamnya berisi
norma-norma kehidupan. (Atang Abdul Hakim, Fiqih
Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2011, 155. )
[37] zakat mrupakan salah satu
pesan Islam yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar umat manusia,
yakni terciptanya kesejahtraan ekonomi yang seimbang, tidak menumbuhkan
kecemburuan yang makin menajam antara kaum kaya dan golongan miskin. Zakatlah
pesan Islam pernah mendapat prioritas pembinaan umat ketika Nabi, SAW pertama
kali membina masyarakat di kota Madinah.
Jakat adalah ajaran Islam yang
memiliki dimensi ganda, spritual dan material. Selan itu, zakat pun berdimensi
sosial yang berarti bahwa pemenuhan kebutuhan material, bukan hanya
berorientasi pada situasi individual tetapi juga sosial. Dalam krangka inilah
prinsip zakat menjadi alternatif dalam membangun kekuatan ekonomi umat,
sekaligus menciptakan kesejahtraan dan iklim solideritas sesama manusia.
(Taufiqullah, Zakat Pemberdayaan Ekonomi
Umat, Bandung: BAZ Jabar, 2004),3 lihat juga
(Suyuti Ghojali, dkk, Pedoman
Zakat, Jakarta: PT Cemara Indah, 1986)
[38]Manusia lahir kebumi dengan
dua sisi. Sisi malaikat dan sisi hewaniyah. Jika sisi hewaniyah yang
diperturutkan maka yang muncul adalah naluri hewan yang tidak mengenal aturan
sehingga nafsunya yang diikuti. Pemerasan, pemalsuan, penipuan, pengutamaan
kepentingan sendiri (egois) dan semua akhlak buruk lainnya akan mengambil peran
dalam semua aspek kehidupan manusia, terutama aspek ekonomi (bisnis). Bisnis
apapun yang dilaksanakan orientasi profit yang maksimal merupakan berhala yang
harus dpatuhi tanpa peduli dengan persoalan (muamalah). Sebaliknya bila sisi
malaikat yang dikembangkan maka yang muncul adalah sifat-sifat yang terpuji.
Ekonomi Islam hanya akan tegak manakala semua pelakunya berakhlak mulia (akhlakul karimah). Karena akhlak manusia
masih banyak yang liar, maka dipandang mutlak untuk dijinakan dengan tuntutan
syariah. (Hasan Aedy, Indahnya Ekonomi
Islam, Bandung: Alfabeta, 2007 Halaman 7)
[39] Seorang sarjana muslim
bernama Dr. M. Sa’id Ramadhan Al-Buwaithi menegaskan pendapatnya, bahwa umat
Islam dizaman sekarang bukanlah mengalami krsis ilmu dan pemikiran, tetapi
berada dalam krisis akhlak/moral.
Menurut Yusuf Qardhawi untuk
menegakan akhlak yang baik harus ditempuh dua cara antara lain: Taklifiyah yang sifatnya negatif yaitu
menjauhi dan membasmi segala sifat jahat yang menimbulkan akhlak yang jahat dan
menyebabkan terjadinya pelanggaran dan kerusakan. Tahlifiyah yang bersifat positif,
yaitu harus memakai, menghiasi, dan memperkuat segala sifat mental yang
baik, yang menimbulkan akhlak yang terpuji dan menjamin terjadinya keamanan dan
ketentraman. (Abdullah Zaky Al Kaaf, Ekonomi dalam Perspektif Islam, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2002, halaman 243)
[40] Merupakan sistem yang
mendasari oprasional perbankan syariah. Sistem ini telah dipraktekan di
pakistan dan Malayasia sekitar tahun 1940-an, yakni dengan adanya upaya untuk
mengelola dana jemaah haji secara non konvensional. (Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharaba, Jakarta:
PT RajaGrafindo, 2008, hal. 18. Lihat juga. Safi’i Antonio, Bank Syariah Teori dan Praktek, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001. Hal. 18
[41] وَلَا
تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil (QS. Al-Baqarah: 188)
[42] Komitmen Al quran tentang penegakan keadilan terlihat dari
penyebutan kata keadilan di dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali, yang
berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al quran setelah kata Allah
dan ‘Ilm. Bahkan, menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran
berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan
ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dll (Kahduri, The Islamic
Conception of Justice 1984:10).
[43] Dalam hidup manusia akan
melewati tiga tahap eksistensi, yaitu: 1) tahap
estetis, pada tahap ini manusia berorientasi sepenuhnya diarahkan untuk
mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai oleh naluri-naluri
seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistik, dan biasanya bertindak menurut suasana hati (mood).2). tahap etis, pada tahap ini
manusia mengubah pola hidup yang semula estetis
menjadi etis. Ada semacam
“pertobatan” di sini, di mana individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral
dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Prinsip kesenangan (hedonisme)
dibuang jauh-jauh dan sekarang ia menerima dan menghayati nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal. 3). Tahap
religius, pada tahap ini manusia hidup sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai
kalau individu, dengan “mata tertutup”, lompat dan meleburkan diri dalam
realitas tuhan. (Zaenal Abidin, Filsafat
Manusia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014. Hal. 148,149,150).
[45] Sejak abad ke 19, bank yang berbasis bunga yang berkembang
di negara-negara muslim dalam masyarakat dimana ban itu beroprasi. Mereka
menghindarinya atas alasan nasionalisme dan neo-keagamaan. Menyikapi realitas
itu tokoh-tokoh revaivalis melakukan beberapa terobosan diantaranya menyuarakan
secara kritis pengharaman bunga bank dari sudut pandang moral keagamaan. Dan
karena itu mereka menghimbau umat Islam untuk beranjak dari sistem ribawimenuju
sistem ekonomi yang sesuai dengan kerangka Islam, Qur’an dan Sunah Nabi.
Tokoh-tokoh neo-revitalis juga mendesak para pimpinan negara-negara Islam untuk
menjalankan sistem perbankan menuruut ajaran Islam dan reogranisasi lembaga
keuangan yang masih memakai sistem bunga. (Muhammad, 2005. Bank Syariiah, problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia. Yogyakarta:
Ghama Ilmu. Hal. 76 Lihat juga. Abdullah Sayid, 1996 Isamic Banking and Interest,: A Study of The Prohibition of Riba and
its Contemporary Interpratation. E.J. Brill Leiden. New York: Koln. Hal. 9)
[46] Pakistan merupakan
pelopor di bidang bank syariah. Pada awal Juli 1979 , sistem bunga dihapuskan
dari oprasional tiga institusi: National Investment (Unit Trust), House
Building Finance Corporation (Pembiayaan sektor perumahan), dan Mutual Funds of
the Investement Corporation of Pakistan (Kerja sama investasi). (M. Syafi’i
Antonio, Bank Syariah, dari teori ke
praktek, Jakarta; Gema Insani, 2005, 22 lihat juga Cii Council of Islamic
Ideology, Consolidated on the Islamic
Ekonomic Syistem, Islamabad: Council of Islamic Idiology, 1983).
Mesir. Faisal Islamic Bank berdiri
Maret 1978, selain Faisal Islamic Bank terdapat bak lain yaitu; Islamic
International Bank for Investement and Develoment, yang beroprasi dengan sistem
Islam. (Elias G. Kazarian, Islamic Versus
Traditional Banking, Boulder:WestviewPress, 1993).
Siprus, Faisal Islamic Bank of Kibris
(Siprus) mulai beroprasi pada Maret 1983 dan mendirikan Faisal Islamic Investement Corporation yang memiliki dua cabang di
Siprus dan satu cabang di Istambul. (Ahmad el-Najjar, Bank Bila Fawaid ka Istiratijiyah al-Iqtishadiyah, Jeddah: King
Abdul Aziz University Press: 1972).
Kwait, Kuait Finance Hose didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal
beroprasi dengan sistem tanpa bunga.
Bahrain,
bahrain
merupakan off-shore banking heaven terbesar
di Timur Tengah. Tumbuh sekitar 220 local
dan off-shore banks. Tidak kurang
22 diantaranya beroprasi berdasarkan syariah, antara lain: Citi Islamic Bank of Bahrain, Faysal Islamic Bank of Bahrain dan Al-Barakah Bank.
Uni Emirat Arab, Dubai
Islamic Bank merupakan
salah satu plopor perkembangan bank syariah. Didirikan pada tahun 1975.
Malayasia, Bank
Islam Malayasia Berhad, (BIMB) merupakan bank syariah pertama
di Asia Tenggara. Bank ini didirikan pada tahun 1983. Di negri Jiran ini, di
samping full pledge Islamic Banking, Pemerintah
Malayasia memperkenankan jiga sistem Islamic
Window yang memberikan layanan Syariah pada bank konvensional. (Bank Islam
Malayasia Berhad, Islamic Bank Practice
from the Practitioner’s Prespective, Kluala Lumpur, 1994)
Iran, ide pengembangan perbankan
syariah di Iran bermula sejak Revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatullah
Khomaini pada tahun 197, sedangkan pengembangan dalam bentuk riil baru dimulai
pada bulan Januari 1984.
Turki, pada tahun 1984, Pemerintah Turki memberikan izin
kepada Daar al-Maal al-Islami (DMI)
untuk mendirikan bankyang beroprasi berdasarkan prinsip bagi hasil.
Indonesia, Bank Muamalat Indonesia
lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI. Akta pendirian PT Bank Muamalat
Indonesia ditandatagani pada tanggal 1 November 1991. Pada tanggal 1 Mei 1992
BMI mualai beroprasi. Hingga september 1999, BMI telah memiliki lebih 45 outlet
yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar.
(Bank Muamalat, Anual Report, Jakarta,
1999, lihat juga. M. Syafi’i Antonio, Bank
Syariah, dari teori ke praktek, Jakarta; Gema Insani, 2005, 22, 23, 24, 25,
26.)
[47] Ekonomi syariah adalah
kumpulan dari dasar-dasar umum ekonomi yang diambil dari al-qur’an dan sunah
Rasul, SAW serta diambil dari tatanan ekonomi yang dibangun di atas dasar-dasar
tersebut, sesuai dengan berbagai macam bid’ah (lingkungan) dan setiap zaman.
(Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Refrensi
Ekonomi Syariah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2006, 32.)
[48] Bank Muamalah Indonesia pada 24 Rabius Tsani
1412 H atau 1 Nopember 1991, diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
Pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan operasinya pada 27 Syawwal 1412 H
atau 1 Mei 1992. Dengan dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendekiawan Muslim
se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim, pendirian Bank Muamalat juga
menerima dukungan masyarakat, terbukti dari komitmen pembelian saham Perseroan
senilai Rp 84 miliar pada saat penandatanganan akta pendirian Perseroan.
Selanjutnya, pada acara silaturahmi peringatan pendirian tersebut di Istana
Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang turut
menanam modal senilai Rp 106 miliar. (Bank Muamalat, Anual Report, Jakarta, 1999).
[49] Menurut Perwataatmadja, Pengertian
Bank Syariah ialah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip
syariah (islam) dan tata caranya didasarkan pada ketentuan Al-quran dan Hadist.
(Bank Muamalat, Anual Report, Jakarta,
1999).
[50] Bank
Syariah Level-A. Bank syariah ini dari hulu sampai hilir, dana yang mengalir
sama sekali tidak pernah tercampur dengan lembaga/pihak yang mengandung unsur
yang tidak halal (dalam hal ini adalah
unsur riba). Bank mendapatkan dana dari bank sentral yang hanya mengelola dana
bank syriah sejenis saja. Hal ini hanya bisa tercapai pada Negara yang memiliki
bank sentral syariah tersendiri (bank sentral yang hanya menangani bank-bank
syariah juga) atau di negara yang semua banknya menganut syariah sehingga tidak
ada percampuran dana dengan bank konvensional.
Bank Syariah Level-B. Bank syariah tingkatan ini bergerak
dengan sistem syariah dan berdiri sendiri. Ini berarti bank ini bukan merupakan
bagian dari bank lain yang mengatur sistem konvensional. Kalau di Indonesia,
dikenal dengan Bank Umum Syariah (BUS). Dalam perkemangannya jumlah BUS
mengalami peningkatan.
Bank Syariah Level-C. Bank yang bergerak dengan sistem
syariah, namun masih merupakan anak perusahaan dari bank konvensional lain, dan
secara pendanaan masih bercampur dengan bank induknya. Bank ini lebih dikenal
Unit Usaha Syariah (UUS). Hal yang perlu disikapi oleh kita dalam hal ini
adalah sekalipun bank ini menggunakan sistem syariah, sebenarnya hanya
merupakan salah satu divisi saja dalam bank konvensional.
Bank Syariah Level-D. Bank syariah level ini biasa disebut
juga sebagai bank gadungan karena hanya menggunakan nama syariah saja, namun
dalam praktik operasionalnya menerapkan sistem bunga (riba).
[51]Ajaran
Yahudi sebenarnya juga melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini
banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (perjanjian lama) maupun UU Talmud seperti dinyatakan
Kitab Exodus (keluaran) pasal 22 ayat
25. “jika engkau meminjamkan uang kepada
salah seorang dari umat-Ku yang miskin diantara kamu, janganlah engkau berikan
bunga uang padanya, melainkan engkau harus takut kepada Allah-mu supaya
saudaramu dapat hidup diantaramu” Dan Kitab
Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 “
janganlan engkau membungakan uang maupun bahan makanan yang dapat
dibungakan” Kitab Levictius (Imamat)
pasal 35 ayat 7. (Juhaya S Praja, 2012;42)
[52]Pada
masa Yunani, sekitar abad Vl sebelum masehi hingga l Masehi telah terdapat
bergabai jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi bergantung
kegunaannya. Pada masa Romawi,sekitar abad V sebelum masehi hingga lV Masehi,
terdapat UU yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bnga
tersebut sesuai dengan “tingkat
maksimal yang dibenarkan hukum” (maksimum
legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya
waktu. Meskipun UU membenarkan pengambilan bunga, pengambilannya tidak
dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double
countable). Pada masa pemerintaha Genucia
(342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Praktik
pengambilan bunga dicela oleh para filsof Yunani: Plato (427-347 SM) dan
Aristoteles (384-149 SM) dikenal sangat mengecam praktek bunga. Cato (234-149
SM) dan Cicero (106-43 SM) Juga sama mengecam praktek bunga. Plato mengcam
praktek bunga berdasarkan dua alasan. Pertam,
bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga alat golongan kaya untuk
mengeksploitasi golongan miskin. (Juhaya
S Praja, 2012;42)
[53]Kerajaan Romawi kuno juga
melarang keras setiap pungutan atas bunga. Pada perkembangan berikutnya, mereka
membatasi besarnya bunga melalui undang-undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan
pertama yang menerapkan peraturan tentang bunga untuk melindungi kaum konsumen.
(Juhaya S Praja, 2012;42)
[54] Menurut
keyakinan Nasrani, meskipun kitab perjanjian baru tidak begitu tegas memutuskan
masalah ini, namun sebagian kalangan agamawan kristiani menganggap bahwa ayat
yang terdapat dalam Lukas 6:34-35 sebagai ayat yang mengecam praktek bunga
seerti pandangan kaum pendeta dari generasi awal (abad l hingga Xll) yang
mengharamkan bunga. dalam perjanjian baru injil Lukas ayat 32 ”jika kamu menghutangi kepada orang yang kamu
harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatan kamu, tapi berbuatlah
kebajikan dan berkanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembali karena
pahala kamu akan sangat banyak”. (Juhaya
S Praja, 2012;42)