Tanggung Jawab dalam Bagi Hasil pada Mudharabah


A.    Pendahuluan.
Al-qur’an dan hadits yang sampai kepada kita masih otentik dan orisinil. Orisinilitas dan otentisitas disukung oleh penggunaan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab karena Al-Qur’an dan hadits merupakan dua dalil hukum, yakni petunjuk-petunjuk adanya hukum. Untuk mengetahui hukum-hukum tidak cukup dengan adanya petunjuk, melainkan perlu cara khusus untuk mengetahui atau memahaminya dari petunjuk-petunjuk itu. Cara khusus itulah yang kita sebut metode. Ilmu untuk mengetahui cara itu disebut metologi. Metologi untuk memahami hukum Islam dari petunjuk-petunjuknya itu disebut Ilmu Ushul Fiqih. [1] dalam penulisan karya ilmiah ini penulis akan membahas tentang Tanggung Jawab dalam Bagi Hasil pada Mudharabah.
Dalam artikel ini penulis membahas hal-hal sebagai berikut:
Tentang ushul fiqih yaitu: pengertian, objek kajian, tujuan,  dan fungsi. mudharabah yaitu: pengertian mudharabah, landasan hukum mudharabah, syarat mudharabah beserta kaidah ushul fiqih, rukun mudharabah beserta kaidah ushul fiqih, nisbah keuntungan beserta kaidah ushul fiqih, penetapan masa kontrak. beserta kaidah ushul fiqih, ketentuan penyaluran dana mudharabah, Jenis-jenis mudharabah, perkara yang membatalkan mudharabah. beserta kaidah ushul fiqih, dan pertentangan antara pemilik dan pengusaha.
B.     Tentang Ushul Fiqih
1.      Pengertian
Ushil Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata Ushul bentuk jamak dari ashl dan kata Fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas, ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliyah) maupun amaliyah (furu’ah). Ini berartifiqih sama dengan pengertian syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat dan diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[2]
2.      Objek Kajian.
 Objek kajian ushul fikih antara lain:
Menurut  Muhammad Al-Juhaili objek kajian ushul fiqih sebagai berikut:
a.       Sumber-sumber hukum syara, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan,
b.      Pembahasan tentang ijtihad,
c.       Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir, ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah, dan lain-lain. Baik dengan jalan pengompromian (Al-Jam’u wa Al-taufiq), menguatkan salah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain).
d.      Pembahasan hukum syara’, meliputi, syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntunan, larangan, pilihan, atau keringanan (rukhsah), juga dibahas tentang hukum, hakim mahkum alaih, dan lain-lain.
e.       Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistimbath  hukum dan cara enggunakannya. [3]
3.      Tujuan dan Fungsi.
a.       Memberikan pengertian dasar dan kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali ilmu,
b.      Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’.
c.       Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para mujtahid,
d.      Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalah gunaan dalil.
e.       Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat dipakai untuk menentukan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat.
f.       Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid. [4]
C.    Mudharabah
1.      Pengertian Mudharabah.
Mudharabah, adalah bahasa penduduk Irak dan Qiradh dan mudharabah bahasa penduduk Hijaz[5]. Namun, pengertian qiradh dan mudharabah satu makna.[6] Mudharabah berasal dari kata al-dharib, yang berarti bepergian atau berjalan. Sebagaimana Firman Allah:
وَءَاخَرُونَ يَضۡرِبُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَبۡتَغُونَ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
Dan yang lainnya, berpergian di muka bumi mencari karunia Allah [7]  
Selain al-dharib, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Ada juga yang menyebut muamalah.[8] Jadi merurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan, berjalan dan atau bepergian).
Mudharabah arti asalnya berjalan di atas bumi untuk bepergian, atau yang disebut juga qiradah yang arti asalnya saling mengutang. Mudharabah mengandung arti kerja sama dua pihak yang satu diantaranya menyerahkan uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan; sedangkan keuntungannya dibagi diantara keduanya menurut kesepakatan.[9]
2.      Landasan Hukum Mudharabah
a.       Al-Qur’an.
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung [10]
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.[11]
b.      Hadits
Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.(HR. Ibn Majah dan Shuhaib)[12]
Hadits diatas menjalaskan betapa mulyanya saling tolong menolong, dalam mudharabah tolong menolong sangatlah terlihat jelas, yaitu mudharib yang membutuhkan modal untuk usaha agar bisa mencukupi kebutuhan hidup mudharib dan keluarganya. Selain itu shahib al-mal yang memiliki banyak harta merasa ditolong sebab hartanya akan bertambah karena diusahakan oleh mudharib, maka antara mudharib dan shahib al-mal saling tolong menolong dan saling menguntungkan.
c.       Ijma’
Definisi ijma’ menurut istilah Ahli Ushul, Ijma’ ialah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian. [13]
Dianta Ijma’ dalam Mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat yang lain. [14]
Contoh Ijma di atas yang berkenaan dengan mudharabah tentang harta anak Yatim untuk diusahakan, hal ini tentu tidak bertentangan dengan hukum syara’, selagi yang mengusahakan harta anak yatim tersebut tidak dzolim, bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kepentingan anak yatim tersebut. Akan tetapi orang yang mengusahakan harta anak yatim menurut penulis diperbolehkan mendapat bagian dari keuntungan usaha.  
d.      Qiyas
Menurut ulama’ Ushul, Al-Qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nash-nya pada hukum yang nash telah menetapkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.[15]
Mudharabah diqiyaskan kepada al-Musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun), karena di antara manusia ada yang miskin dan ada pula yang kaya, di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya, di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya Mudharabah ditunjukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. [16]
3.      Syarat Mudharabah
ﻘﺎﻄﻊ اﻠﺤﻕ ﻋﻨﺪ اﻠﻠﺸﺮﻮﻂ
Putusnya hak bergantung pada syarat yang diperbuat (Sahih Bukhari, syarah Al-Kirmani, XlX:111) [17]
Jadi mudharabah tidak syah jika salah satu syarat tidak terpenuhi, karena syarat adalah komponen yang tidak boleh ditinggalkan, apabila syarat yang telah ditentukan dalam mudharabah ditinggalkan, maka rukun tidak akan berjalan. Ushul diatas menjelaskan begitu pentingnya syarat, hal ini bukan hanya dalam Mudharabah saja, tetapi dalam segala bentuk perbuatan, baik itu yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan manusia.  
Syarat mudharabah antara lain:
1.      Modal atu barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan atau barang dagang lainnya, mudharabah tersebt batal.
2.      Bagi yang melakukan akad mampu mmelakukan tasyaruf, maka dibatalkan akad anak-anak, orang gila dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
3.       Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal dengan laba.
4.      Keuntungan harus jelas persentasinya bagi kedua belah pihak.
5.      Melafadzkan ijab dan kabul.
Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang tertentu, dll. Bila dalam mudharabah ada persyaratan maka mudharabah tersebut menurut Al-Safi’iyah dan Malikiyah batal, sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad, sah. [18]
4.      Rukun Mudharabah.
الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة
            Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya. Dalam mudharabah pada asalnya kedua belah pihak bebas dari tanggung jawab, sebelum adanya akad, tetapi setelah adanya akad mereka terikat sampai berakirnya akad tersebut.
Menurut penulis yang dimaksud dalam Ushul tersebut ialah, seseorang tidak akan terikat dengan tanggung jawab, jika belum ada yang mengikat, seperti contoh, laki-laki tidak bertanggung jawab atas calon istrinya, tetapi jika sudah melakukan akad nikah, maka berlakulah baginya tanggung jawab terhadap istrinya baik lahir maupun batin. Dalam mudharabah, mudharib dan shahib al-mal sebelum dilangsungkannya akad mudharabah, mereka tidak  saling bertanggung jawab, tetapi setelah dilakukan akad, maka keduanya terikat oleh akad yang telah dilakukan keduanya dan mereka harus bertanggung jawab atas apa yang telah mereka akadkan.
Menurut Imam Syafi’iyah antara lain:
1.      Pemilik barang yang menyerahkan barangnya.
2.      Orang yang bekerja, yaitu pengelola barang (modal)
3.      Aqad Mudharabah dilakukan oleh pemilik modal dan pengelola
4.       Mal yaitu harta pokok atau modal;
5.      Amal yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba, dan;
6.      Keuntungan. [19]
Menurut Sayyid Sabiq, rukun Mudharabah adalah Ijab dan kobul yang keluar dari orang yang memilki keahlian [20].Ulama Hanafiyah berpendapat rukun Mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafad yang menunjukan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang seperti dengannya. Menurut jumhur ulama rukun mudharabah adalah dua orang yang melakukan akad (al-Aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shigat (ijab dan qabul). [21] 
5.      Nisbah Keuntungan.
a.      Prosentase,
ﻣﻥ ﻀﻣﻥ ﻤﺎ ﻻ ﻔﻠﻪ ﺮﺒﺤﻪ
Orang yang mennggung suatu harta benda maka ia memperoleh keuntungannya (Akhbar al-Qudhat, ll:319) [22]
            Jadi dalam mudharabah kedua belah pihak saling menanggung, shahib al-mal mengeluarkan modal sebagai tanggungannya dan mudharib harus mengelola modal tersebut agar mendapatkan sebuah keuntungan sehingga mereka berhak mendapatkan keuntungan dari usahanya sesuai dengan tanggung jawabnya (beban).
Keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, misalnya adalah 50:50, 70:30, 60:40. Menurut penulis dalam penentuan keuntungan mudharabah tentunya jangan sampai lebih besar shahib al-mal, karena mudharib modalnya akan tetap utuh sedangkan mudharib hanya mendapatkan keuntungan dari hasil usaha.   
b.      Bagi untung dan bagi rugi
اﻠﺧﺮاﺝ ﺒﺎﻠﻀﻤﺎﻦ
Orang yang menikmati hasil sesuatu bertanggung jawab atas resikonya [23]
Jadi dalam mudarabah tidak cukup jika hanya
Keuntungan diatas itu merupakan konsekuensi logis dari karakteristik mudharabah. Akan tetapi jika bisnis Mudharobah rugi, pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masng-masing pihak. Kemampuan shahib al-mal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudarib. Dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal shahib al-mal dalam kontrak ini adalah 100%, maka kerugian ditanggung 100% oleh shahib al-mal. Karena proporsi modal mudharib dalam kontrak ini 0%, bila terjadi kerugian mudharib menanggung keruugian  sebesar 0% pula.[24]
Jika dilihat dari pernyataan diatas seolah-olah mudharib tidak menanggung resiko, padahal kedua belah pihak juga sama menanggung resiko, akan tetapi resiko ynag mereka tangnggung tentu berbeda. Bila yang dikontribusikannya adalah uang maka resikonya uang. Sedangkan apabila yang dikontribusikannnya adalah kerja, resikonya hilangnya kerja, usaha dan waktunya tidak mendapatkan hasil apa-apa selama berbisnis.
c.       Jaminan
ﻻﺿﺮﺮ ﻮﻻﻀﺮاﺮ
Tidak madarat dan tidak memadaratkan[25]
Ketentuan pembagian kerugian seperti diatas hanya berlaku bila kerugian yang terjadi murri dilakukan oleh risiko bisnis (business risk), bukan karena karakter buruk Mudharib (caracter risk). Bila kerugian terjadi karena caracter risk maka shahib al-mal tidak perlu menanggung kerugian.
            Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana dalam akad syirkah lainnya.[26] Jelas konteknya adalah business risk. Jika mudharib melakukan kelalaian atau menyalahi kontrak mudharib tersebut harus menanggung kerugian sebagai sanksi dan tanggung jawabnya. Untuk menghindari hal tersebut maka shabil al-mal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shabil al-mal jika timbul kerugian akibat mudharib lalai atau menyalahi aturan kontrak. [27]
Jaminan tidak diciptakan untuk menjamin pulangnya modal tetapi untuk meyakinkan Performance mudharib sesuai dengan batasan-batasan kontrak dan tidak main-main. [28]
Jika kita membandingkan zaman dahulu ketika Islam awal dikenal dan umat Islam baru sedikit (zaman nabi, zaman sahabat dan zaman tabiin) dan nilai-nilai keislaman masih kental, tentunya mudharabah tidak perlu memakai jaminan. Akan tetapi pada zaman sekarang dimana umat Islam yang sudah menyebar dimana-mana, budaya Islam sudah menyatu dengan budaya barat, dan orang sudah banyak yang melenceng dari noorma-norma ke Islaman, maka menurut penulis  dalam mudharabah diperlukan adanya jaminan, karna dihawatirkan jika tidak memakai jaminan mudharib melakukan kecurangan, maka jika hal itu terjadi maka shahib al-mal akan mengambil jaminan tersebut sebagai ganti harta yang telah disalah gunakan oleh mudharib.
d.      Menentukan besarnya Nisbah.
لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ
Tidak diakui adanya waham (kira-kira)
Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan. Dalam menentukan besarnya nisbah shahibil al-mal dan mudharib tidak bisa dengan perkiraan, tetapi harus dengan jelas, agar dalam bermuamalah tidak ada pihak yang dirugikan. Jika dalam menentukan besarnya nisbah memakai perkiraan, maka dihawatirkan dalam muamalah akan ada ghoror dan maisir.  
Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang berkontrak, angka besaran nisbah muncul sebagai hasil tawar-menawar antara shabil al-mal dengan mudharib. [29]
e.       Cara menyelesaikan kerugian.
اذا تعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
Apabila terdapat pertentangan dua kesulitan, maka dihindarilah kesulitan yang lebih besar dengan mengambil kesulitan yang lebih ringan.
Maslahat adalah manfaat yang diperoleh seseorang setelah melakukan perbuatan baik. Untuk itu lahirlah kaidah:
لا مصلحة فى حمل الناس على فعل المكروه
Tidak ada maslahat yang membawa manusia kepada pekerjaan yang makruh, yang dibenci untuk dikerjakan.
Pendapat tersebut merupakan penjabaran sebuah kaidah yang berbunyi:
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
Kebijakan penguasa untuk rakyatnya adalah didasarkan pada maslahat[30]
Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikanya adalah, diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan meruakan pelindung modal, bilakerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari modal. [31]
6.      Penetapan Masa Kontrak.
مَا ثَبَتَ بِزَمَنِ يُحْكَمُ ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya.
Kajian fiqih tentang pembatasan waktu usaha terjadi perbedaan pendapat di kalangan mazhab. Menurut Mazhab Imam Maliki dan imam Syafe’i pembatasan waktu usaha dapat menyebabkan kontrak menjadi tidak valid. [32] Dalam fiqih ketika mudharib  belum memulai kerja, maka kontrak mudharabah dapat dihentikan oleh satu pihak dengan memberitahukan kepada pihak lain. Demikian menurut kesepakatan seluruh ulama/mazhab. Hal ini sangat mungkin terjadi sebab para jumhur fuqaha berpendapat bahwa mudharabah bukanlah kontrak yang mengikat.[33] Namun jika mudharib sudah memulai kerja Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa setelah mudharib memulai kerja pun dapat diberhentikan oleh satu pihak. Namun Imam Malik tidak membolehkannya. [34]
Menurut penulis pembatasan masa kontrak, ada positif dan negatifnya.
a.       Positif.  
1.      Mudharib akan sungguh-sungguh dalam berusaha, jika tidak sungguh-sungguh untung akan berkurang, karena waktu tetap berjalan.
2.      Bisa meminimalisir resiko shahibil al-mal, karena jika usaha mudharib tidak lancar maka mudharabah bisa dihentikan setelah habis  masa kontrak, akan tetapi jika mudharib usahanya baik, maka shahibil al-mal akan memperpanjang kontrak, bahkan menambah modal kepada mudharib, hal ini juga akan memicu smangat kepada mudharib untuk terus meningkatkan kinerjanya.
3.      Kedua belah pihak yaitu mudharib dan  shahibil al-mal akan
b.      Negatif.
1.      Jika kontrak dibatasi, kesempatan mudharib dalam mendapatkan keuntungan akan terbatas oleh waktu kontrak yang telah ditentukan, jika shahibil al-mal tidak memperpanjang kontrak mudharabah kembali.
2.      Jika dalam masa kontrak mudharib telah memperoleh keuntungan yang bisa membiayai perusahaan tanpa melakukan mudharabah dengan shahibil al-mal, maka kesempatan bagi shahibil al-mal untuk mendapatkan keuntungan akan terhenti dengan adanya habis kontrak.
Mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa kontrak mudharabah tidak boleh berisi syarat yang menetapkan jangka waktu tertentu dalam proses kerja sama. Sementara Mazhab Hanafi dan Hambali mengijinkan adanya klausul tentang waktu (lama) kontrak. [35]
7.      Ketentuan Penyaluran Dana Mudharabah.
Fatwa DSN NO.07/DSN-MUI/Vl/2000. Sebagai berikut:
1.      Penyaluran dana mudharabah adalah penyaluran dana yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2.      Dalam penyaluran dana ini LKS sebagai shahibul al-mal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3.      Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
4.      Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yangtelah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek, tapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5.      Jumlah penyaluran dana harus dinyatakan dengan jenis dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6.      LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
7.      Pada prinsipnya, dalam penyaluran dana mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicaikan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8.      Kriteria pengusaha, prosedur penyaluran dana, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memerhatikan fatwa DSN.
9.      Biaya oprasional dibebankan kepada mudharib.
10.  Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan. [36]
8.      Jenis-jenis Mudharabah
Mudharabah mutlak adalah menyerahkan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan dan Mudharabah Muqqayad (terikat) adalah peyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan.
a.       Tasyaruf pengusaha pada Mudharabah Mutlak
Menurut ulama Hanafiyah, jika Mudarabah mutlak, maka pengusaha berhak untuk beraktifitas dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual beli. Menurut ulama Malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dengan melebihi modal yang diberikan kepadanya, pengusaha tidak boleh membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak boleh mencampurkannya dengan harta miliknya. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun atas seijin pemilik modal. [37]
Menurut penulis dalam mudharabah mutlak mudharib bebas menentukan barang yang akan dijual, menentukan pasar, menentukan konsumen, selagi tidak bertentangan dengan hukum syara’ dan hukum negara. Akan tetapi jika mudharib melakukan kekeliruan dalam melakukan usaha, seperti menjual barang yang dilarang oleh syara’ dan negara, seperti menjual babi, minuman keras, obat-obatan terlarang, dan lain-lain atau berjualan ditempat yang telah dilarang oleh pemerintah seperti berjualan di dekat rel kereta api, di pinggir jalan yang mengganggu ketertiban umum, maka shahibul al-mal berhak melakukan pencegahan, karena jika terjadi kerugian maka shahibul al-mal juga ikut menanggung kerugiannya.
b.      Tasyaruf pengusaha pada Mudharabah mukayad.
1.      Penentuan tempat, jika pemilik modal menentukan tempat, maka pengusaha harus mengikutinya, karena jika tidak mengikuti syarat tersebut apabila terjadi kerugian maka pengusaha harus menanggungnya.
2.      Penentuan orang, ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah membolehkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya atau kepada siapa ia harus menjual barang. Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarang sebab hal itu mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dan menghambat pencarian laba.
3.      Penentuan Waktu, ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah membolehkan sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.[38]
Menurut penulis dalam mudharabah mukayad akan membatasi gerak langkah mudharib dalam melakukan usaha, sehingga keuntungan yang akan diperoleh baik oleh mudharib maupun oleh shahibul al-mal akan terhambat, meski apabila terjadi kerugian dalam usaha yang menanggung kerugian adalah shahibul al-mal, tetapi mudharib tidak mendapat kebebasan dalam usaha, karena sejatinya managerial dipegang oleh shahibul al-mal, sedangkan mudharib layaknya pesuruh.
Hemat penulis dalam mudharabah lebih baik mudharabah mutlak, tetapi shahibul al-mal juga ikut mengawasi usaha yang dilakukan oleh mudharib, jika mudharib melakukan kesalahan dalam usaha, maka shahibul al-mal berhak memberikan peringatan dan atau mengarahkan kepada jalan atau cara berbisnis yang baik, yaitu yang sesuai dengan hukum syara’ dan hukum negara. Dengan sistem ini lah mudharib akan bertindak sebagai manager bukan sebagai pesuruh dan shahibul al-mal akan bertindak sebagai pengawas, yang mengawasi perusahaan yang dijalankan oleh mudharib.
9.      Perkara yang Membatalkan Mudharabah.
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya
1.      Pembatalan, larangan berusha, dan pemecatan;
2.      Salah seorang aqid meninggal dunia;
3.      Salah seorang aqid gila;
4.      Pemilik modal murtad;[39]
5.      Modal rusak ditangan pengusaha.[40]
10.  Pertentangan antara Pemilik dan Pengusaha
1.      Perbedaan dalam mengusahakan harta
a.       Jika terjadi perbedaan antara pemilik dan pengusaha, satu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah yang khusus, yang diterima adalah yang menyangkut hal-hal umum dalam perdagangan, yakni menyangkut pendapatan laba, yang dapat diperoleh dengan menerapkan ketentuan-ketentuan umum.
b.      Jika terjadi perbedaan pendapat antara mutlak dan muqayyad, yang diterima adalah yang menyangkut mutlaq.
c.       Jika kedua orang yang berakad berbeda dalam jenis usaha atau jenis barang yang dibeli, maka yang diterima adalah ucapan pemilik harta.
2.      Perbedaan dalam harta yang rusak. Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa kerusakan disebabkan oleh pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya, maka yang diterima berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah ucapan pengusaha sebab pada dasarnya ucapan pengusaha adalah amanah, yakni tidak ada khianat.
3.      Perbedaan tentang pengembalian harta. Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan pengusaha, bahwa modal telah dikembalikan, yang diterima menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah pernyataan pemilik modal. Adapun menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, yang diterima adalah ucapan pengusaha, karena pengusaha dipercaya. 
4.      Perbedaan dalam jumlah modal. Ulama fiqih sepakat bahwa Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang, yang diterima adalah ucapan pengusaha sebab dialah yang memegangnya.
5.      Perbedaan dalam ukuran laba, ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik modal, jika pengusaha mengakui bahwa disyaratkan bagian setengah laba, sehingga menurut pemilik adalah sepertiga. Ulama malikiyah berpendapat, yang diterima adalah ucapan pengusaha beserta sumpahnya dengan syarat: a. Harus sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku dalam mudharabah, b. Harta masih dipegang oleh pengusaha. Menurut ulama Syafiiyah, jika terjadi perbedaan pendapat dalam pembagian laba, harus diputuskan oleh hakim. 
6.      Perbedaan dalam sifat modal. Ulama Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bila ada perbedaan pendapat dalam sifat modal, ucapan yang diterima adalah pemilik harta. [41]




Daftar Pustaka
Al-Hasan Ridwan dan Deni K. Yusuf, (Ed). 2004. BMT dan Bank Islam. Bandung
: CV. Bani Quraisy
Al-Khalani, Muhammad Ibn Ismail. t.t. Subul al-Salam, Bandung: Dahlan.
Al-Syaharti,  Idah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, al-Haramain, Jedah
Al-Qardawi, Yusuf (2002), Fiqih Praktis bagi Kehidupan Moderen Jakarta: Gema
Insani Press.
Al- Zuhaili, Wahab (1997).  Al-Fiqhu Al-Islami wa-Adilatuhu. Damaskus: Dar al-
Fiqr.
Antonio, M Syafi’i (2001). Bank Syariah Teori dan Praktek. Jakarta: Gema Insani
Press, 
Bajuri, al-Syaikh Ibrahim t.t. al-Bajuri, Semarang: Usaha Keluarga,
Departemen Agama RI (2009). Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Ibnu Rusyid.  Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Toha
Putra.
Jajiri, Abdurrahman, t.t. al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Qalam.
Karim, Adiwarman (2006).  Bank Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahab  (1985). Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah
Bandung.
Khatib, Muhammad al-Sarbini t.t. al-Iqna’ fi Hall al-Alfadz Abi Syujua’,
Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah,  
Mardani (2012). Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Muhammad (2008). Manajemen Pembiayaan Mudharabah. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,
Rasyid, Sulaiman (1976). Fiqih Islam, Jakarta: Attahiriyah.
Saeed,  Abdullah (1996).  Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of
Riba and Its Contemporary Interpretation, Leiden, New York, Konl: Brill,
Suhendi, Hendi (2005). Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Syafe’i, Rahmat (2015). Ilmu Ushul Fiqih. Bandung; Pustaka Setia
______________ (2001). Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia.
Syahari, Abdullah Ibn Sa’id Muhammad ‘Ubaid al-Hadrami al-, Idah al-Qawa’id
al-Fiqhiyah, al-Haramain, Jedah,
Syarifudin, Amir (2005). Garis-garis Besar Fiqih, Jakarta: Perdana Media.


[1] Kata sambutan Prof. Dr. Juhaya S. Praja pada buku Ilmu Ushul Fiqih, Prof Dr. Rahmat Syafe’i, M.A.  (Bandung; Pustaka Setia, 20015),5
[2]Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia, 20015), 17
[3] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia, 20015),23
[4] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia, 20015), 24, 25
[5] al-Syaikh Ibrahim Bajuri, t.t. al-Bajuri, Semarang: Usaha Keluarga,  20
[6] Lihat fifayat al-Akhyar, 301
[7] QS. Al-Muzamil;20
[8] Muhammad al-Sarbini Khatib t.t. al-Iqna’ fi Hall al-Alfadz Abi Syujua’, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah,  53
[9] Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Perdana Media, 2005), 244-245
[10] QS. Al-Juma’ah:10
[11] QS. Al-Baqarah : 198
[12]Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  225 Lihat juga Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), 138
[13] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung: Risalah Bandung, 1985), 62 lihat juga Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia, 20015), 68
[14] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  227 lihat juga Yusuf Al-Qardawi, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Moderen (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 58
[15] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung: Risalah Bandung, 1985), 73 lihat juga Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia, 20015), 86-87.
[16] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  227
[17] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia, 20015),  258.
[18] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), 141 lihat juga Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  228, 229
[19] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005),139 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, 56
[20] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), 139
[21] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  226 lihat juga Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 205
[22] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka Setia, 20015), 258.
[23] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung; Pustaka Setia, 20015), 259.
[24] Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 208
[25] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung; Pustaka Setia, 20015), 257
[26] Wahab Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami wa-Adilatuhu, 195
[27] Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 208, 209 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 41
[28] Syafi’i Antonio, Bank Syaria Teori dan Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 105
[29] Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 209 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 36
[30]Al-Syaharti,  Idah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (al-Haramain, Jedah), 184
[31] Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 210.
[32]Abdurrahman Jajiri, t.t. al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Qalam.:41
[33] Ibnu Rusyid.  Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Toha
Putra. tt:181
[34] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 42,43 lihat juga Ibnu Rusyid, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Semarang: Toha Putra, hal. 183
[35] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation, (Leiden, New York, Konl: Brill, 1996), 80
[36] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah ,57,58
[37] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),231, lihat juga Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006),12, 13
[38] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 232,233 lihat juga Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006),12, 13
انّ الله قد اعطى كل ذي حق حقه فلا وصيّة لوارث
 (Muhammad Ibn Ismail al-Khalani, tp.th: j, III: 106). Artinya “Allah telah menentukan bagian-bagian orang yang berhak menerima pusaka, dan ahli waris tidak berhak menerima pusaka berdasarkan wasiat.”
[40] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka Setia, 20015), 237, 238
[41] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka Setia, 20015), 235, 236, 237.

Related

HUKUM ISLAM 3033581339295795349

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item