Tanggung Jawab dalam Bagi Hasil pada Mudharabah
https://alawialbantani.blogspot.com/2019/05/tanggung-jawab-dalam-bagi-hasil-pada.html
A. Pendahuluan.
Al-qur’an dan hadits yang sampai kepada kita masih
otentik dan orisinil. Orisinilitas dan otentisitas disukung oleh penggunaan
bahasa aslinya, yakni bahasa Arab karena Al-Qur’an dan hadits merupakan dua
dalil hukum, yakni petunjuk-petunjuk adanya hukum. Untuk mengetahui hukum-hukum
tidak cukup dengan adanya petunjuk, melainkan perlu cara khusus untuk
mengetahui atau memahaminya dari petunjuk-petunjuk itu. Cara khusus itulah yang
kita sebut metode. Ilmu untuk mengetahui cara itu disebut metologi. Metologi
untuk memahami hukum Islam dari petunjuk-petunjuknya itu disebut Ilmu Ushul Fiqih. [1]
dalam penulisan karya ilmiah ini penulis akan membahas tentang Tanggung Jawab dalam Bagi Hasil pada
Mudharabah.
Dalam artikel ini penulis membahas hal-hal sebagai
berikut:
Tentang ushul fiqih yaitu: pengertian, objek kajian, tujuan, dan fungsi. mudharabah yaitu: pengertian mudharabah,
landasan hukum mudharabah, syarat mudharabah beserta kaidah ushul fiqih, rukun
mudharabah beserta kaidah ushul fiqih, nisbah keuntungan beserta kaidah ushul
fiqih, penetapan masa kontrak.
beserta kaidah ushul fiqih, ketentuan penyaluran dana mudharabah, Jenis-jenis mudharabah,
perkara yang membatalkan mudharabah. beserta kaidah ushul fiqih, dan pertentangan antara
pemilik dan pengusaha.
B. Tentang Ushul Fiqih
1.
Pengertian
Ushil Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata Ushul
bentuk jamak dari ashl dan kata Fiqih, yang masing-masing memiliki
pengertian yang luas, ashl secara
etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun
bukan”.
Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada
mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran
agama, baik berupa akidah (ushuliyah) maupun
amaliyah (furu’ah). Ini berartifiqih
sama dengan pengertian syari’ah
Islamiyah, yaitu pengetahuan yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat dan diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[2]
2. Objek Kajian.
Objek kajian
ushul fikih antara lain:
Menurut
Muhammad Al-Juhaili objek kajian ushul fiqih sebagai berikut:
a.
Sumber-sumber hukum syara, baik yang disepakati maupun
yang diperselisihkan,
b.
Pembahasan tentang ijtihad,
c.
Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang
bertentangan secara zahir, ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah, dan
lain-lain. Baik dengan jalan pengompromian (Al-Jam’u
wa Al-taufiq), menguatkan salah satu (tarjih),
pengguguran salah satu atau dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain).
d.
Pembahasan hukum syara’, meliputi, syarat-syarat dan
macam-macamnya, baik yang bersifat tuntunan, larangan, pilihan, atau keringanan
(rukhsah), juga dibahas tentang
hukum, hakim mahkum alaih, dan
lain-lain.
e.
Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistimbath hukum dan cara enggunakannya. [3]
3. Tujuan dan Fungsi.
a.
Memberikan pengertian dasar dan kaidah-kaidah dan
metodologi para ulama mujtahid dalam
menggali ilmu,
b.
Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum
syara’.
c.
Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai
metode yang dikembangkan oleh para mujtahid,
d.
Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalah gunaan
dalil.
e.
Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat dipakai untuk
menentukan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di
masyarakat.
f.
Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid. [4]
C. Mudharabah
1.
Pengertian Mudharabah.
Mudharabah, adalah
bahasa penduduk Irak dan Qiradh dan mudharabah bahasa penduduk Hijaz[5].
Namun, pengertian qiradh dan mudharabah satu makna.[6]
Mudharabah berasal dari kata al-dharib, yang berarti bepergian atau
berjalan. Sebagaimana Firman Allah:
وَءَاخَرُونَ
يَضۡرِبُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَبۡتَغُونَ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
Dan yang
lainnya, berpergian di muka bumi mencari karunia Allah [7]
Selain al-dharib,
disebut juga qiradh yang berasal
dari al-qardhu, berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungannya. Ada juga yang menyebut muamalah.[8] Jadi
merurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan, berjalan dan atau bepergian).
Mudharabah arti asalnya berjalan di atas bumi untuk bepergian, atau yang disebut juga qiradah yang arti asalnya saling
mengutang. Mudharabah mengandung arti kerja sama dua pihak yang satu
diantaranya menyerahkan uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan; sedangkan
keuntungannya dibagi diantara keduanya menurut kesepakatan.[9]
2.
Landasan Hukum Mudharabah
a. Al-Qur’an.
فَإِذَا قُضِيَتِ
ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung [10]
لَيۡسَ
عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki
hasil perniagaan) dari Tuhanmu.[11]
b.
Hadits
Tiga perkara
yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh
(memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas
untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.(HR. Ibn Majah dan Shuhaib)[12]
Hadits diatas menjalaskan betapa mulyanya saling
tolong menolong, dalam mudharabah tolong
menolong sangatlah terlihat jelas, yaitu mudharib
yang membutuhkan modal untuk usaha agar bisa mencukupi kebutuhan hidup mudharib dan keluarganya. Selain itu shahib al-mal yang memiliki banyak harta
merasa ditolong sebab hartanya akan bertambah karena diusahakan oleh mudharib, maka antara mudharib dan shahib al-mal saling tolong menolong dan saling menguntungkan.
c.
Ijma’
Definisi ijma’ menurut istilah Ahli Ushul, Ijma’ ialah kesepakatan para imam
mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat,
terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian. [13]
Dianta Ijma’ dalam Mudharabah,
adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta
anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan
tersebut tidak ditentang oleh sahabat yang lain. [14]
Contoh Ijma di atas yang berkenaan dengan mudharabah tentang harta anak Yatim
untuk diusahakan, hal ini tentu tidak bertentangan dengan hukum syara’, selagi
yang mengusahakan harta anak yatim tersebut tidak dzolim, bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kepentingan
anak yatim tersebut. Akan tetapi orang yang mengusahakan harta anak yatim
menurut penulis diperbolehkan mendapat bagian dari keuntungan usaha.
d.
Qiyas
Menurut ulama’ Ushul, Al-Qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash
kepada kejadian lain yang ada nash-nya pada hukum yang nash telah menetapkan
adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat
hukumnya.[15]
Mudharabah diqiyaskan
kepada al-Musyaqah (menyuruh
seseorang untuk mengelola kebun), karena di antara manusia ada yang miskin dan
ada pula yang kaya, di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat
mengusahakan hartanya, di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau
bekerja, tapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya Mudharabah ditunjukan antara lain untuk
memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia
dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. [16]
3.
Syarat Mudharabah
ﻘﺎﻄﻊ اﻠﺤﻕ ﻋﻨﺪ اﻠﻠﺸﺮﻮﻂ
Putusnya hak
bergantung pada syarat yang diperbuat (Sahih Bukhari, syarah Al-Kirmani,
XlX:111) [17]
Jadi mudharabah tidak
syah jika salah satu syarat tidak terpenuhi, karena syarat adalah komponen yang
tidak boleh ditinggalkan, apabila syarat yang telah ditentukan dalam mudharabah ditinggalkan, maka rukun
tidak akan berjalan. Ushul diatas menjelaskan begitu pentingnya syarat, hal ini
bukan hanya dalam Mudharabah saja,
tetapi dalam segala bentuk perbuatan, baik itu yang berhubungan dengan Allah
maupun yang berhubungan dengan manusia.
Syarat mudharabah
antara lain:
1.
Modal atu barang yang diserahkan itu berbentuk uang
tunai. Apabila barang berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan
atau barang dagang lainnya, mudharabah tersebt
batal.
2.
Bagi yang melakukan akad mampu mmelakukan tasyaruf,
maka dibatalkan akad anak-anak, orang gila dan orang-orang yang berada dibawah
pengampuan.
3.
Modal harus
diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal dengan laba.
4.
Keuntungan harus jelas persentasinya bagi kedua belah
pihak.
5.
Melafadzkan ijab dan kabul.
Mudharabah bersifat
mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara
tertentu, memperdagangkan barang tertentu, dll. Bila dalam mudharabah ada persyaratan maka mudharabah
tersebut menurut Al-Safi’iyah dan Malikiyah batal, sedangkan menurut Abu
Hanifah dan Ahmad, sah. [18]
4.
Rukun Mudharabah.
الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة
Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab
Pada dasarnya manusia
dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak
Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada
yang mengubahnya. Dalam mudharabah
pada asalnya kedua belah pihak bebas dari tanggung jawab, sebelum adanya
akad, tetapi setelah adanya akad mereka terikat sampai berakirnya akad
tersebut.
Menurut penulis yang dimaksud dalam Ushul tersebut
ialah, seseorang tidak akan terikat dengan tanggung jawab, jika belum ada yang
mengikat, seperti contoh, laki-laki tidak bertanggung jawab atas calon
istrinya, tetapi jika sudah melakukan akad nikah, maka berlakulah baginya
tanggung jawab terhadap istrinya baik lahir maupun batin. Dalam mudharabah, mudharib dan shahib al-mal sebelum dilangsungkannya
akad mudharabah, mereka tidak saling bertanggung jawab, tetapi setelah
dilakukan akad, maka keduanya terikat oleh akad yang telah dilakukan keduanya
dan mereka harus bertanggung jawab atas apa yang telah mereka akadkan.
Menurut Imam Syafi’iyah antara lain:
1.
Pemilik barang yang menyerahkan barangnya.
2.
Orang yang bekerja, yaitu pengelola barang (modal)
3.
Aqad Mudharabah dilakukan oleh pemilik modal
dan pengelola
4.
Mal yaitu harta pokok atau modal;
5.
Amal yaitu
pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba, dan;
6.
Keuntungan. [19]
Menurut Sayyid Sabiq, rukun Mudharabah adalah Ijab dan kobul yang keluar dari orang yang
memilki keahlian [20].Ulama
Hanafiyah berpendapat rukun Mudharabah adalah
ijab dan qabul, yakni lafad yang menunjukan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau
kata-kata yang seperti dengannya. Menurut jumhur ulama rukun mudharabah adalah dua orang yang
melakukan akad (al-Aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shigat (ijab dan qabul). [21]
5. Nisbah Keuntungan.
a.
Prosentase,
ﻣﻥ ﻀﻣﻥ ﻤﺎ ﻻ ﻔﻠﻪ ﺮﺒﺤﻪ
Orang yang
mennggung suatu harta benda maka ia memperoleh keuntungannya (Akhbar al-Qudhat,
ll:319) [22]
Jadi dalam mudharabah kedua belah pihak saling menanggung, shahib al-mal mengeluarkan modal sebagai
tanggungannya dan mudharib harus
mengelola modal tersebut agar mendapatkan sebuah keuntungan sehingga mereka
berhak mendapatkan keuntungan dari usahanya sesuai dengan tanggung jawabnya
(beban).
Keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase
antara kedua belah pihak, misalnya adalah 50:50, 70:30, 60:40. Menurut penulis
dalam penentuan keuntungan mudharabah
tentunya jangan sampai lebih besar shahib
al-mal, karena mudharib modalnya akan tetap utuh sedangkan mudharib hanya mendapatkan keuntungan
dari hasil usaha.
b.
Bagi untung dan bagi rugi
اﻠﺧﺮاﺝ
ﺒﺎﻠﻀﻤﺎﻦ
Orang yang
menikmati hasil sesuatu bertanggung jawab atas resikonya [23]
Jadi dalam mudarabah
tidak cukup jika hanya
Keuntungan diatas itu merupakan konsekuensi logis dari
karakteristik mudharabah. Akan tetapi
jika bisnis Mudharobah rugi,
pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi
modal masng-masing pihak. Kemampuan shahib
al-mal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudarib. Dengan demikian, karena
kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal shahib
al-mal dalam kontrak ini adalah 100%, maka kerugian ditanggung 100% oleh shahib al-mal. Karena proporsi modal mudharib dalam kontrak ini 0%, bila
terjadi kerugian mudharib menanggung
keruugian sebesar 0% pula.[24]
Jika dilihat dari pernyataan diatas seolah-olah mudharib tidak menanggung resiko,
padahal kedua belah pihak juga sama menanggung resiko, akan tetapi resiko ynag
mereka tangnggung tentu berbeda. Bila yang dikontribusikannya adalah uang maka
resikonya uang. Sedangkan apabila yang dikontribusikannnya adalah kerja, resikonya
hilangnya kerja, usaha dan waktunya tidak mendapatkan hasil apa-apa selama
berbisnis.
c. Jaminan
ﻻﺿﺮﺮ ﻮﻻﻀﺮاﺮ
Tidak madarat dan tidak memadaratkan[25]
Ketentuan pembagian kerugian seperti diatas hanya
berlaku bila kerugian yang terjadi murri dilakukan oleh risiko bisnis (business risk), bukan karena karakter
buruk Mudharib (caracter risk). Bila kerugian terjadi karena caracter risk maka shahib
al-mal tidak perlu menanggung kerugian.
Para fuqaha berpendapat bahwa pada
prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan,
sebagaimana dalam akad syirkah lainnya.[26]
Jelas konteknya adalah business risk. Jika
mudharib melakukan kelalaian atau
menyalahi kontrak mudharib tersebut harus menanggung kerugian sebagai
sanksi dan tanggung jawabnya. Untuk menghindari hal tersebut maka shabil al-mal dibolehkan meminta jaminan
tertentu kepada mudharib. Jaminan ini
akan disita oleh shabil al-mal jika
timbul kerugian akibat mudharib lalai
atau menyalahi aturan kontrak. [27]
Jaminan tidak diciptakan untuk menjamin pulangnya
modal tetapi untuk meyakinkan Performance
mudharib sesuai dengan batasan-batasan kontrak dan tidak main-main. [28]
Jika kita membandingkan zaman dahulu ketika Islam awal
dikenal dan umat Islam baru sedikit (zaman nabi, zaman sahabat dan zaman
tabiin) dan nilai-nilai keislaman masih kental, tentunya mudharabah tidak perlu memakai jaminan. Akan tetapi pada zaman
sekarang dimana umat Islam yang sudah menyebar dimana-mana, budaya Islam sudah
menyatu dengan budaya barat, dan orang sudah banyak yang melenceng dari
noorma-norma ke Islaman, maka menurut penulis dalam mudharabah
diperlukan adanya jaminan, karna dihawatirkan jika tidak memakai jaminan mudharib melakukan kecurangan, maka jika
hal itu terjadi maka shahib al-mal akan
mengambil jaminan tersebut sebagai ganti harta yang telah disalah gunakan oleh mudharib.
d.
Menentukan besarnya Nisbah.
لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ
Tidak diakui adanya waham (kira-kira)
Maksudnya adalah dalam suatu
hal, kita tidak menggunakan perkiraan. Dalam menentukan besarnya nisbah shahibil al-mal dan mudharib tidak bisa dengan perkiraan,
tetapi harus dengan jelas, agar dalam bermuamalah tidak ada pihak yang
dirugikan. Jika dalam menentukan besarnya nisbah
memakai perkiraan, maka dihawatirkan dalam muamalah akan ada ghoror dan maisir.
Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak yang berkontrak, angka besaran nisbah muncul sebagai hasil tawar-menawar antara shabil al-mal dengan mudharib. [29]
e. Cara menyelesaikan kerugian.
اذا تعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
Apabila terdapat
pertentangan dua kesulitan, maka dihindarilah kesulitan yang lebih besar dengan
mengambil kesulitan yang lebih ringan.
Maslahat
adalah manfaat yang diperoleh seseorang setelah melakukan perbuatan baik. Untuk
itu lahirlah kaidah:
لا مصلحة فى حمل الناس على فعل المكروه
Tidak ada maslahat yang membawa
manusia kepada pekerjaan yang makruh, yang dibenci untuk dikerjakan.
Pendapat tersebut
merupakan penjabaran sebuah kaidah yang berbunyi:
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikanya adalah,
diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan meruakan pelindung
modal, bilakerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari modal. [31]
6.
Penetapan
Masa Kontrak.
مَا ثَبَتَ بِزَمَنِ يُحْكَمُ
ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya.
Kajian fiqih tentang pembatasan waktu usaha terjadi
perbedaan pendapat di kalangan mazhab. Menurut Mazhab Imam Maliki dan imam
Syafe’i pembatasan waktu usaha dapat menyebabkan kontrak menjadi tidak valid. [32]
Dalam fiqih ketika mudharib belum memulai kerja, maka kontrak mudharabah dapat dihentikan oleh satu
pihak dengan memberitahukan kepada pihak lain. Demikian menurut kesepakatan
seluruh ulama/mazhab. Hal ini sangat mungkin terjadi sebab para jumhur fuqaha berpendapat bahwa mudharabah bukanlah kontrak yang
mengikat.[33]
Namun jika mudharib sudah memulai
kerja Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa setelah mudharib memulai kerja pun dapat
diberhentikan oleh satu pihak. Namun Imam Malik tidak membolehkannya. [34]
Menurut penulis pembatasan masa kontrak, ada positif
dan negatifnya.
a.
Positif.
1.
Mudharib akan
sungguh-sungguh dalam berusaha, jika tidak sungguh-sungguh untung akan
berkurang, karena waktu tetap berjalan.
2.
Bisa meminimalisir resiko shahibil al-mal, karena jika usaha mudharib tidak lancar maka mudharabah
bisa dihentikan setelah habis masa
kontrak, akan tetapi jika mudharib usahanya
baik, maka shahibil al-mal akan
memperpanjang kontrak, bahkan menambah modal kepada mudharib, hal ini juga akan memicu smangat kepada mudharib untuk terus meningkatkan
kinerjanya.
3.
Kedua belah pihak yaitu mudharib dan shahibil al-mal akan
b.
Negatif.
1.
Jika kontrak dibatasi, kesempatan mudharib dalam mendapatkan keuntungan akan terbatas oleh waktu
kontrak yang telah ditentukan, jika shahibil
al-mal tidak memperpanjang kontrak mudharabah
kembali.
2.
Jika dalam masa kontrak mudharib telah memperoleh keuntungan yang bisa membiayai perusahaan
tanpa melakukan mudharabah dengan shahibil al-mal, maka kesempatan bagi shahibil al-mal untuk mendapatkan
keuntungan akan terhenti dengan adanya habis kontrak.
Mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa kontrak mudharabah tidak boleh berisi syarat
yang menetapkan jangka waktu tertentu dalam proses kerja sama. Sementara Mazhab
Hanafi dan Hambali mengijinkan adanya klausul tentang waktu (lama) kontrak. [35]
7. Ketentuan Penyaluran Dana Mudharabah.
Fatwa DSN
NO.07/DSN-MUI/Vl/2000. Sebagai berikut:
1.
Penyaluran dana mudharabah
adalah penyaluran dana yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk
suatu usaha yang produktif.
2.
Dalam penyaluran dana ini LKS sebagai shahibul al-mal (pemilik dana) membiayai
100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak
sebagai mudharib atau pengelola
usaha.
3.
Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana dan
pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
4.
Mudharib boleh
melakukan berbagai macam usaha yangtelah disepakati bersama dan sesuai dengan
syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek, tapi
mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5.
Jumlah penyaluran dana harus dinyatakan dengan jenis
dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6.
LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian
akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai atau menyalahi perjanjian.
7.
Pada prinsipnya, dalam penyaluran dana mudharabah tidak ada jaminan, namun agar
mudharib tidak melakukan
penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicaikan apabila
mudharib terbukti melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8.
Kriteria pengusaha, prosedur penyaluran dana, dan
mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memerhatikan fatwa DSN.
9.
Biaya oprasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal
penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran
terhadap kesepakatan, mudharib berhak
mendapat ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan. [36]
8. Jenis-jenis Mudharabah
Mudharabah mutlak
adalah menyerahkan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan
dan Mudharabah Muqqayad (terikat)
adalah peyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan.
a.
Tasyaruf pengusaha pada Mudharabah Mutlak
Menurut ulama Hanafiyah, jika Mudarabah mutlak, maka pengusaha berhak untuk beraktifitas dengan
modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual beli. Menurut
ulama Malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dengan melebihi modal
yang diberikan kepadanya, pengusaha tidak boleh membelanjakan modal selain
untuk mudharabah, juga tidak boleh
mencampurkannya dengan harta miliknya. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal
tidak boleh diberikan kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha maupun laba,
meskipun atas seijin pemilik modal. [37]
Menurut penulis dalam mudharabah mutlak mudharib bebas
menentukan barang yang akan dijual, menentukan pasar, menentukan konsumen,
selagi tidak bertentangan dengan hukum syara’ dan hukum negara. Akan tetapi
jika mudharib melakukan kekeliruan
dalam melakukan usaha, seperti menjual barang yang dilarang oleh syara’ dan
negara, seperti menjual babi, minuman keras, obat-obatan terlarang, dan
lain-lain atau berjualan ditempat yang telah dilarang oleh pemerintah seperti
berjualan di dekat rel kereta api, di pinggir jalan yang mengganggu ketertiban
umum, maka shahibul al-mal berhak
melakukan pencegahan, karena jika terjadi kerugian maka shahibul al-mal juga ikut menanggung kerugiannya.
b.
Tasyaruf pengusaha pada Mudharabah mukayad.
1.
Penentuan tempat, jika pemilik modal menentukan
tempat, maka pengusaha harus mengikutinya, karena jika tidak mengikuti syarat
tersebut apabila terjadi kerugian maka pengusaha harus menanggungnya.
2.
Penentuan orang, ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah
membolehkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya
atau kepada siapa ia harus menjual barang. Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah
melarang sebab hal itu mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dan
menghambat pencarian laba.
3.
Penentuan Waktu, ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah
membolehkan sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.[38]
Menurut penulis dalam mudharabah mukayad akan membatasi gerak langkah mudharib dalam melakukan usaha, sehingga
keuntungan yang akan diperoleh baik oleh mudharib
maupun oleh shahibul al-mal akan
terhambat, meski apabila terjadi kerugian dalam usaha yang menanggung kerugian
adalah shahibul al-mal, tetapi mudharib tidak mendapat kebebasan dalam
usaha, karena sejatinya managerial dipegang oleh shahibul al-mal, sedangkan mudharib
layaknya pesuruh.
Hemat penulis dalam mudharabah lebih baik mudharabah
mutlak, tetapi shahibul al-mal juga
ikut mengawasi usaha yang dilakukan oleh mudharib,
jika mudharib melakukan kesalahan
dalam usaha, maka shahibul al-mal berhak
memberikan peringatan dan atau mengarahkan kepada jalan atau cara berbisnis
yang baik, yaitu yang sesuai dengan hukum syara’ dan hukum negara. Dengan
sistem ini lah mudharib akan
bertindak sebagai manager bukan sebagai pesuruh dan shahibul al-mal akan bertindak sebagai pengawas, yang mengawasi
perusahaan yang dijalankan oleh mudharib.
9. Perkara yang Membatalkan Mudharabah.
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان
“Hukum asal itu tetap dalam
keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya “
1.
Pembatalan, larangan berusha, dan pemecatan;
2.
Salah seorang aqid meninggal dunia;
3.
Salah seorang aqid gila;
4.
Pemilik modal murtad;[39]
5. Modal rusak
ditangan pengusaha.[40]
10. Pertentangan antara Pemilik dan Pengusaha
1.
Perbedaan
dalam mengusahakan harta
a.
Jika terjadi perbedaan antara pemilik dan pengusaha,
satu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah yang
khusus, yang diterima adalah yang menyangkut hal-hal umum dalam perdagangan,
yakni menyangkut pendapatan laba, yang dapat diperoleh dengan menerapkan
ketentuan-ketentuan umum.
b.
Jika terjadi perbedaan pendapat antara mutlak dan muqayyad, yang diterima adalah yang menyangkut mutlaq.
c.
Jika kedua orang yang berakad berbeda dalam jenis
usaha atau jenis barang yang dibeli, maka yang diterima adalah ucapan pemilik
harta.
2.
Perbedaan
dalam harta yang rusak. Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal
dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa
kerusakan disebabkan oleh pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya,
maka yang diterima berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah ucapan pengusaha
sebab pada dasarnya ucapan pengusaha adalah
amanah, yakni tidak ada khianat.
3.
Perbedaan
tentang pengembalian harta. Jika terjadi perbedaan pendapat
antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan
pengusaha, bahwa modal telah dikembalikan, yang diterima menurut ulama
Hanafiyah dan Hanabilah adalah pernyataan pemilik modal. Adapun menurut
Malikiyah dan Syafi’iyah, yang diterima adalah ucapan pengusaha, karena
pengusaha dipercaya.
4.
Perbedaan
dalam jumlah modal. Ulama fiqih sepakat bahwa Jika terjadi perbedaan
pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang, yang diterima adalah
ucapan pengusaha sebab dialah yang memegangnya.
5.
Perbedaan
dalam ukuran laba, ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ucapan
yang diterima adalah pernyataan pemilik modal, jika pengusaha mengakui bahwa
disyaratkan bagian setengah laba, sehingga menurut pemilik adalah sepertiga.
Ulama malikiyah berpendapat, yang diterima adalah ucapan pengusaha beserta
sumpahnya dengan syarat: a. Harus sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku
dalam mudharabah, b. Harta masih
dipegang oleh pengusaha. Menurut ulama Syafiiyah, jika terjadi perbedaan
pendapat dalam pembagian laba, harus diputuskan oleh hakim.
6.
Perbedaan
dalam sifat modal. Ulama Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bila
ada perbedaan pendapat dalam sifat modal, ucapan yang diterima adalah pemilik
harta. [41]
Daftar Pustaka
Al-Hasan
Ridwan dan Deni K. Yusuf, (Ed). 2004. BMT
dan Bank Islam. Bandung
: CV. Bani Quraisy
Al-Khalani,
Muhammad Ibn Ismail. t.t. Subul al-Salam,
Bandung: Dahlan.
Al-Syaharti, Idah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, al-Haramain,
Jedah
Al-Qardawi,
Yusuf (2002), Fiqih Praktis bagi Kehidupan Moderen Jakarta: Gema
Insani Press.
Al-
Zuhaili, Wahab (1997). Al-Fiqhu Al-Islami wa-Adilatuhu. Damaskus:
Dar al-
Fiqr.
Antonio,
M Syafi’i (2001). Bank Syariah Teori dan
Praktek. Jakarta: Gema Insani
Press,
Bajuri,
al-Syaikh Ibrahim t.t. al-Bajuri, Semarang:
Usaha Keluarga,
Departemen
Agama RI (2009). Mushaf Al-Qur’an dan
Terjemah. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Ibnu
Rusyid. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Toha
Putra.
Jajiri,
Abdurrahman, t.t. al-Fiqh ‘Ala Madzahib
al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Qalam.
Karim,
Adiwarman (2006). Bank Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Khallaf,
Abdul Wahab (1985). Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah
Bandung.
Khatib,
Muhammad al-Sarbini t.t. al-Iqna’ fi Hall
al-Alfadz Abi Syujua’,
Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyah,
Mardani
(2012). Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi
Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Muhammad
(2008). Manajemen Pembiayaan Mudharabah. Jakarta:
PT
RajaGrafindo Persada,
Rasyid,
Sulaiman (1976). Fiqih Islam, Jakarta:
Attahiriyah.
Saeed, Abdullah (1996). Islamic
Banking and Interest, A Study of Prohibition of
Riba and Its
Contemporary Interpretation, Leiden, New York, Konl:
Brill,
Suhendi,
Hendi (2005). Fiqih Muamalah, Jakarta:
PT. Raja Grafindo.
Syafe’i,
Rahmat (2015). Ilmu Ushul Fiqih. Bandung;
Pustaka Setia
______________
(2001). Fiqih Muamalah. (Bandung:
Pustaka Setia.
Syahari, Abdullah Ibn Sa’id
Muhammad ‘Ubaid al-Hadrami al-, Idah al-Qawa’id
al-Fiqhiyah, al-Haramain, Jedah,
Syarifudin, Amir (2005). Garis-garis Besar Fiqih, Jakarta: Perdana Media.
[1] Kata sambutan Prof. Dr. Juhaya
S. Praja pada buku Ilmu Ushul Fiqih, Prof
Dr. Rahmat Syafe’i, M.A. (Bandung;
Pustaka Setia, 20015),5
[2]Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia,
20015), 17
[3] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia,
20015),23
[4] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia,
20015), 24, 25
[5] al-Syaikh Ibrahim Bajuri, t.t. al-Bajuri, Semarang: Usaha Keluarga, 20
[6] Lihat fifayat al-Akhyar, 301
[7] QS. Al-Muzamil;20
[8] Muhammad al-Sarbini Khatib t.t. al-Iqna’ fi Hall al-Alfadz Abi Syujua’,
Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 53
[9] Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta:
Perdana Media, 2005), 244-245
[10] QS.
Al-Juma’ah:10
[11] QS. Al-Baqarah
: 198
[12]Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 225 Lihat juga Hendi Suhendi, Fiqih
Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), 138
[13] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung:
Risalah Bandung, 1985), 62 lihat juga Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia, 20015), 68
[14] Rahmat Syafe’i,
Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), 227 lihat juga Yusuf Al-Qardawi,
Fiqih Praktis bagi Kehidupan Moderen (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),
58
[15] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung:
Risalah Bandung, 1985), 73 lihat juga Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia, 20015), 86-87.
[16] Rahmat Syafe’i,
Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), 227
[17] Rahmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka
Setia, 20015), 258.
[18] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2005), 141 lihat juga Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 228,
229
[19] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2005),139 lihat juga Muhammad, Manajemen
Pembiayaan Mudharabah, 56
[20] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2005), 139
[21] Rahmat Syafe’i,
Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), 226 lihat juga Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 205
[22] Rahmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka
Setia, 20015), 258.
[23] Rahmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqih (Bandung; Pustaka
Setia, 20015), 259.
[24] Adiwarman A
Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), 208
[25] Rahmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqih (Bandung; Pustaka Setia,
20015), 257
[26] Wahab Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami wa-Adilatuhu, 195
[27] Adiwarman A
Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), 208, 209 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2008), 41
[28] Syafi’i
Antonio, Bank Syaria Teori dan Praktek, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), 105
[29] Adiwarman A
Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), 209 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2008), 36
[30]Al-Syaharti, Idah al-Qawa’id al-Fiqhiyah,
(al-Haramain, Jedah), 184
[31] Adiwarman A
Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), 210.
[32]Abdurrahman Jajiri, t.t. al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut:
Dar al-Qalam.:41
[33] Ibnu Rusyid. Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Toha
Putra. tt:181
[34] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2008), 42,43 lihat juga Ibnu Rusyid, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Semarang: Toha Putra, hal. 183
[35] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, A Study of
Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation, (Leiden, New York,
Konl: Brill, 1996), 80
[36] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah ,57,58
[37] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001),231, lihat juga Adiwarman A Karim, Bank
Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006),12, 13
[38] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 232,233 lihat juga Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006),12, 13
انّ
الله قد اعطى كل ذي حق حقه فلا وصيّة لوارث
(Muhammad Ibn Ismail al-Khalani, tp.th: j,
III: 106). Artinya “Allah telah menentukan bagian-bagian orang yang berhak
menerima pusaka, dan ahli waris tidak berhak menerima pusaka berdasarkan
wasiat.”
[40] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka
Setia, 20015), 237, 238
[41] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka
Setia, 20015), 235, 236, 237.