Perwujudan Takamul, Washotiyah dan Harokah dalam Ekonomi Islam
https://alawialbantani.blogspot.com/2019/05/perwujudan-takamul-washotiyah-dan.html
M.
Tolib Alawi[1]
Nim: 2.215.2.019
A.
Pendahuluan.
Hukum Islam menghimpun antara hidup secara kolegial
dengan hidup secara individual, tanpa bertentangan antara fardiah dengan jama’iyah.
Cirri-ciri hukum Islam adalah syumul
(universal). Dengan ciri inilah hukum Islam dibedakan dengan hukum yang lain
yang diketahui manusia dari agama, filsafat, dan aliran-aliran. Hukum Islam
meliputi segala bidang kehidupan manusia, bidang ibadah, bidang mu’amalah, dan
lain-lain.
Dengan perubahan zaman dan tempat, hukum Islam tetap memiki tabi’at sempurna. Artinya bahwa hukum Islam
adalah lengkap, sempurna dan bulat, dimana berkumpul beragam pandangan hidup.
Dengan kesempurnaan hukum Islam maka tidak ada pertentangan antara usul dan furu’, akan tetapi saling melengkapi. Hukum Islam ini adalah hukum
yang berkarakter, dia mempunyai ciri-ciri khas (watak-watak) yang mana lebih
dikenal dengan kata Tawabi’ul Ahkam
dan karakter tersebut tidak berubah. Adapun ciri-ciri dan karakteristik hukum Islam
ini menurut Hasbi Ash Shiddiqi ada tiga yaitu: Takamul, Wasathiyah, dan Harakah.
Dengan semua ini, hukum Islam tidak membatasi gerak-gerik manusia, selalu
memberi kebebasan mencari yang berpadanan. Hukum Islam juga memberi perhatian
kepada kenyataan-kenyataan yang terjadi dan cita-cita maju yang berkembang
hidup. Oleh karena itu, hukum Islam membolehkan mahdhurat ketika timbul
darurat.
B. Pembahasan.
a. Takamul.[5]
Hukum Islam memiliki ciri takamul artinya bahwa hukum Islam
memiliki kesempurnaan dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain, hukum Islam
yang termaktub dalam al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad
melalui malaikat Jibril, as, telah mengatur hidup manusia[6]
dimulai manusia lahir sampai mati, dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Hukum Islam tidak hanya mengatur bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan tetapi
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain yang disebut muamalah [7]
jika hukum yang telah termaktub dalam al-qur’an ada yang belum jelas, maka
manusia akan mencari sumber hukum yang kedua yaitu al-Hadits, seperti dalam
shalat manusia tidak akan tahu bagaimana praktek shalat, seperti rukuk, sujud
dan sebagainya, karena dalam al-Qur’an tidak ada bagaimana caranya rukuk dan
sujud, maka manusia akan mengikuti apa yang dilakukan oleh rasul, saw, yang
dijelaskan dalam hadits, dan jika dalam al-hadits juga ada yang belum jelas
maka manusia akan mencari sumber yang kedua yaitu Ijma[8]
dan Qiyas[9]
para ulama, diama ijma dan qias adalah perpaduan antara akal dan syara[10].
Dalam melakukan qias manusia harus
didasari oleh akal yang sehat dan ilmu yang baik.
Sebagai mana yang telah disampaikan
diatas bahwa Islam memiliki takamul, ini
akan berbeda dengan hukum buatan manusia yang tidak berlandaskan syara’, sebagai contoh hukum lalulintas,
polisi akan tetap menjatuhkan salah kepada pengendara yang tidak memakai helem,
polisi tidak mahu tahu, apapun alasannya tetap pengendara bersalah, sekalipun
dikepala pengendara ditemukan luka yang menyebabkan tidak bisa memakai helem
misalnya, maka polisi akan tetap menyalahkan pengendara. Tapi hukum Islam,
dimana seorang muslim tidak mampu melaksanakan shalat sambil berdiri padahal
disyariatkan untuk berdiri, maka diperbolehkan sambil duduk, apabila sambil
duduk tidak bisa, maka sambil berbaring, apabila sambil berbaring tidak bisa,
maka shalatnya memakai isyarat, apabila pakai isyarat juga tidak bisa, maka
cukup melaksanakan shaat didalam hati. Itulah kesempurnaan hukum Allah SWT.
Allah tidak memerintah paksa kepada hambanya untuk melakukan sesuatu kecuali
mereka (makhluk) sanggup melakukannya.
Kesempurnaan hukum Islam nampak jelas,
karena hukum Islam tidak madharat juga tidak memadaratkan[11],
artinya hukum Islam adalah sebuah hukum yang menyesuaikan zaman, bukan hukum
yang melawan zaman juga bukan hukum yang mengikuti zaman. Dalam menyesuaikan
dengan zaman manusia tidak perlu harus merubah al-qur’an, karena al-qur’an
sudah sempurna, jadi Allah SWT telah menyesuaikan al-qur’an dengan zaman.
Kesempurnaan hukum Islam yang tertera
dengan jelas dalam al-qur’an memang tidak bisa disanggah lagi, sekalipun oleh
profesor-profesor dikumpulkan diseluruh dunia untuk menyanggah al-qur’an,
karena al-qur’an kitab yang dirurunkan oleh Allah dan dijaga kemurniannya oleh
Allah SWT[12].
Maka dengan ini tidak akan ada manusia yang mampu merusak al-qur’an dan tidak
akan ada lagi hukum yang akan menyempurnakan hukum Islam yang telah tertulis
dalam al-qur’an.
b. Washatiyah
Membicarakan hukum Islam dari sisi washatiyah, hukum Islam memiliki
keseimbangan dan keharmonisan, maksudnya hukum Islam, mengajarkan kepada
manusia untuk seimbang antara dunia dan akhirat, agar mendapatkan keharmonisan
di dunia juga di akherat. Jika manusia seimbang dalam menjalankan hidup di dunia,
yaitu mencari harta untuk bekal di dunia tetapi tidak menampikan peraturan
Allah, karena mereka menyadari akan menjalani hidup setelah mengalami kematian[13]
yaitu diakherat[14].
Seimbang yang dimaksud dalam hukum Islam
adalah, bahwa manusia yang dijadikan khalifah[15]
di muka bumi ini harus senantiasa menjalankan norma-norma Agama, agar
mendapatkan kesuksesan di dunia juga di akherat. Apa yang akan manusia dapatkan
di akherat sebagaimana dengan apa yang manusia kerjakan di dunia, jika di dunia
menjalankan hidup sesuai dengan aturan Tuhan, yaitu berakhlak baik (baik dengan
Tuhan maupun dengan Makhluk) dan tidak merusak[16]
(diri sendiri, alam, generasi, dan lain sebagainya), maka keharmonisan akan
manusia dapatkan baik harmonis di dunia maupun harmonis di akherat.
Apa yang akan manusia dapatkan di
akherat tergantung dengan apa yang manusia kerjakan di dunia, akherat seperti rumah dan dunia adalah pasar,
apa yang manusia beli di pasar itulah yang akan manusia nikmati di rumah,
manusia tidak akan lama hidup dipasar, selama hidup di rumah. Begitulah
gambaran dunia dan akherat.
Keseimbangnan hukum Islam tidak bisa
dielakkan lagi, karena manusia bisa rasakan keseimbngan itu sendiri, sebagai
contoh, Allah menciptakan tujuh lapis langit dan sebagai penyeimbangnya Allah
menciptakan tujuh lapis bumi. Bisa dibayangkan jika Allah hanya menciptakan
satu lapis langit dan satu lapis bumi, bagaimana kehidupan manusia akan
berkembang, karena di langit begitu banyak planet yang setiap saat bisa
mengancam dan mmenghancurkan planet bumi yang kecil ini.
Contoh kseimbangan Allah dalam mengatur
alam semesta beserta isinya, antara lain: Allah menciptakan siang dengan malam[17],
dunia dengan akhirat, perempuan dengan laki-laki, langit dengan bumi, ada
kehidupan juga ada kematian, sehat dengan sakit, senang dengan susah, dan
sebagainya. Semua itu Allah ciptakan sebagai bentuk penyeimbang dan sebagai
sebuah kesempurnaan Allah. Bisa dibayangkan jika Allah dalam menciptakan alam
semesta ini tidak seimbang maka tidak akan ada kehidupan di dunnia ini.
c. Harakah.[18]
Bergerak dan
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, artinya hukum Islam bukan hukum
yang setatis tetapi hukum yang dinamis. Hukum Islam meski mengikuti perubahan
zaman, akan tetapi etika, [19] moral,[20] norma[21] dan kesusilaan[22]
yang sesuai dengan hukum Islam tetap
dijaga, agar jangan sampai perubahan zaman merusak tatanan hukum Islam.
Hukum Islam yang telah termaktub dalam
al-Qur’an tidak hanya membicarakan masalalu, tetapi juga membicarakan masa
sekarang dan masa depan. Hukum Islam bukan hukum kuno yang akan termakan oleh
waktu, tetapi hukum Islam hukum yang dinamis yang akan tetap bersinergi
menyesuaikan zaman. Dalam menyesuaikan zaman, hukum Islam tidak perlu adanya
amandemen al-qur’an, tetapi dalam mengikuti zaman telah disesuaikan oleh Allah
SWT, manusia hanya tinggal menggali apa yang tersembunyi dibalik makna
al-qur’an, jadi bukan al-q ur’an
yang dirubah tetapi makna al-Qur’an yang digali.
Perkembangan hukum Islam bukan hanya
sebuah wacana tanpa fakta, tetapi sebuah realita yang nampak terlihat oleh hal
layak dunia. Jabur, taurat dan Injil telah dirubah dan direkayasa oleh
pengikutnya, sehingga adanya perjanjian lama dan perjanjian baru, semua itu
mereka lakukan agar kitab yang mereka yakini mampu mengikuti zaman, tetapi
al-qur’an senjak diturunkan sampai sekarang belum pernah sekalipun mengadakan
perubahan, ini artinya al-Qur’an terbukti telah menyesuaikan dengan zaman.
Perwujudan takamul hukum Islam
bagi ekonomi syariah.
Pembahaasan ekonomi Islam[23]
akan bersinggungan dengan materi atau harta[24]
kesempurnaan hukum Islam dalam mengatur urusan harta sangatlah berbeda dengan
hukum-hukum yang lain. Hukum Islam yang dalam hal ini hukum ekonomi Islam
memiliki prinsip yang berbeda dengan sistem ekonomi yang lainnya, hukum Islam
memiliki prinsip Tauhid[25],
prinsip Keadilan[26],
dan prinsip Amar Ma’ruf Nahy Munkar[27].
Hal inilah kiranya yang membedakan hukum
ekonomi Islam dengan hukum ekonomi konvensional. Ada satu ungkapan yang perlu dijadikan
pedoman dalam hidup yaitu “makan untuk
hidup atau hidup untuuk makan” artinya jika memilih makan untuk hidup dalam mencari rejeki tidak menghalalkan segala
cara, karena orang muslim yang beriman menyadari akan adanya kehidupan yang
lebih panjang dari kehidupan di dunia ini. Sehingga harta itu harus dijadikan
bekal untuk menyembah Allah, manusia (muslim) dituntu untuk mengeluarkan zakat,[28]
infaq, shadakah, dari harta yang dimilikinya, karena dibalik harta yang
diperoleh ada hak orang lain yang harus diberikan. Jika tidak menunaikan apa
yang telah Allah perinahkan, maka akan masuk golongan orang yang serakah, dan orang tersebut termasuk
dalam kategori hidup untuk makan dimana
mereka hidp untuk terus-menerus mencari harta, menumpuk harta, dan bukan tidak
mungkin mereka telah mempersekutkan Tuhan dengan harta. Jika manusia sudah
mempersekutukan harta dengan Tuhan, mereka akan lupa segalanya, melupakan Tuhan
demi mengejar harta dan semakin mengejar harta semakin tidak akan mereka
temukan ketenangan dalam jiwanya, karena harta telah menghantuinya.
Manusia yang mengukur kesenangan dengan
harta itu keliru, karena banyak pakta orang kaya yang justru menderita dengan
kekayaannya, harta akan mendatangkan dua kemungkinan bagi pemiliknya, bahagia
dan menderita, jika harta itu didapatkan dengan dengan cara baik dan
didistribusikan dengan baik sesuai dengan ketentuan syar’i maka harta tersebut
akan mendatangkan kebahagiaan baik bahagia di dunia juga di akherat. Tetapi
harta yang didapatkannya diperoleh dari hasil yang tidak baik, seperti dapat
mencuri, korupsi, dan lain sebagainya yang tidak dibenarkan oleh agama, maka
harta tersebut bukan hanya akan menjadi malapetaka di dunia tetapi juga akan
menjadi penyebab seorang pemilik hatrta tersebut masuk neraka.
Kesempurnaan Allah dalam mengatur segala
sesuatu yang ada dialam semesta ini sungguh luar biasa. Apa yang Allah ciptakan
semuanya mengandung unsur ekonomi, sekalipun menurut pandangan manusia
terkadang salah persefsi terhadap ciptaan Allah tersebut, apa yang Allah
ciptakan untuk menghidupi manusia dimuka bumi ini. Satu contoh Allah
menciptakan nyamuk, namun manusia mungkin mengeluh dengan adanya nyamuk, tapi
manusia tidak berpikir berapa juta terliun orang yang menggantungkan hidup dari
nyamuk. Banyak orang mengais rejeki karena Allah menciptakan nyamuk.
Allah menciptakan nyamuk pasti akan ada
penyakit yang didatangkan oleh nyamuk, disini manusia berpikir bagaimana
caranya membasmi nyamuk, maka manusia membuat obat nyamuk, bisa dibayangkan
berapa terliun orang yang menggantungkan hidup dari nyamuk. Padahal manusia
banyak yang mengeluh tentang nyamuk. Contoh diatas hanya sebagian kecil contoh
kesempurnaan Allah dalam menciptakan alam semesta dan pengisinya yang Allah
sediakan untuk manusia, karena masih banyak contoh-contoh lain yang tidak
penulis masukan dalam jurnal ini.
Perwujudan washatiyah hukum Islam
bagi ekonomi syariah.
Perwujuudan
Washatiyah dalam ekonomi sayriah
adalah bahwa dalam bermuamalah tidak boleh ingin untung sendiri, maka dalam
hukum ekonomi syariah dikenal profit lost
and sharing[29]
agar dalam bermuamalah tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, jangan sampai
kita mendapatkan harta dengan jalan yang tidak baik (dengan bathil[30])
karena mendapatkan harta seperti itu termasuk dzolim yang mana Islam tidak mengindahkannya. Dalam hukum ekonomi Islam
untuk memperoleh harta tidak cukup dengan halal
tetapi juga harus tahyib.
Untuk mewujudkan keseimbangan dan keharmonisan, maka dalam
bermuamalah kita dituntut harus adil[31].
Dalam
filsafat hukum Islam memiliki tiga konsep yaitu, Tuhan, Alam dan Manusia. Allah
menciptakan Alam untuk kehidupan manusia dan manusia berkewajiban menyembah
Allah dan juga menjaga alam, agar alam yang menjadi sumber kehidupan manusia
tidak hancur oleh ulah manusia sendiri. Artinya dalam mencari harta manusia
harus memperhatikan alam, jangan sampai mengeruk kekayaan tanpa memperhatikan
kerusakannya[32].
Maka jika dalam mencari harta manusia didasari beribadah kepada Allah, manusia
tidak akan merusak alam yang telah Allah ciptakan untuk kehidupan manusia itu
sendiri, jika manusia merusaknya, maka termasuk dzolim kepada Allah, kepada
alam dan kepada manusia termasuk dirinya sendiri.
Dalam mencukupi kebutuhan duniawi
umat muslim dituntut untuk menyeimbangkan dengan kebutuhan kelak diakherat.
Harta yang didapatkan di dunia ada dua kemungkinan yang akan didapatkan kelak
diakherat, jika harta didaatkan dengan jalan baik dan didistribusikan dengan
baik pula, maka harta tersebut akan menjadi penyelamat diakherat.
Perwujudan harakah hukum Islam
bagi ekonomi syariah.
Harakah dalam bidang ekonomi syariah[33]
adalah bahwa hukum ekonomi akan terus berkembang, seperti contoh zaman Nabi
belum ada Bank, ATM, dll. Karean pada dasarmya bermuamalah itu diperbolehkan
selagi tidak ada dalil yang melarangnya. perwujudan harakah dalam ekonomi syariah sangat diperlukan, karena jika
sesuatu tidak berkembang berarti mati, jadi jika sistem ekonomi syariah tidak
berkembang maka umat muslim akan ketinggalan jauh oleh sistem ekonomi yang lain
yaitu sistem ekonomi kafitalis dan sistem ekonomi sosialis.
Perlu disyukuri
adanya perkembangan hukum Islam yang dalam hal ini adalah hukum ekonomi Islam. Namun
disini tidak sedang membicarakan perkembangan ekonomi Islam yang bersifat
nasional, akan tetapi membicarakan perkembanagn ekonomi Islam sekala
Internasional, saat ini para ekonom tengah melirik sistem ekonomi syariah,
sehingga ekonomi syariah begitu drastis melejit, hampir disetiap Negara
mendirikan Bank Syariah. Bahkan orang-orang non muslim banyak yang melirik bank
syariah daripada bank konvensional.
Di
Indonesia sejak lahirnya BMI[34]
sampai sekarang telah menginspirasi berbagai bank konvensional mendirikan bank
syariah[35],
seperti, BRI, Mandiri, BJB, BNI, Bank Mega, dll, semua mendirikan syariah.
Selain bermunculannya Bank konvensional menjadi bank syariah,
perusahaan-perusahaan yang tadinya tidak memakai sistem syariah saat ini banyak
yang memakai syariah. Banyaknya bank dan perusahaan yang beralih provesi dari
konvensional kepada syariah, selain perlu untuk di syukuri juga perlu untuk
dicermati, karena kemunculan mereka akan memunculkan dua dampak bagi hukum Islam.
Yang pertama dampak negatif, kenegatifan munculnya bank dan
perusahaan yang alih status dari konvensional kepada syariah ialah dihawatirkan
mereka hanya ikut trent tetapi tidak menjalankan hukum syari’ah, sehingga hukum
Islam akan dipandang sama dengan hukum yang lainnya yang dalam ekonomi
disamakan dengan hukum konvesnional, padahal hukum ekonomi syariah dengan hukum
ekonomi konvensional layaknya seperti air dan minyak. Yang kedua dampak positif, kemunculan
bank dan perusahaan yang membuka syariah juga membawa damppfak positif
bagi hukum Islam, ialah bahwa hukum Islam diakui oleh dunia sebagi
suatu hukum yang sempurna, yang tidak hanya mengatur hubungan antara Tuhan dan
Manusia (ibadah) tetapi juga mengatur hubungan antara manusia denagan manusia
(muamalah), jika para ekonom-ekonom yang alih profesi menjalankan hukum Islam
sebagaimana mestinya.
Perkembangan
hukum Islam dalam bidang ekonomi memang dibutuhkan, karena jika membicarakan
ekonomi maka akan membicarakan hukum sosial, yang mana hukum tersebut akan
terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, jika hukum ekonomi Islam
tidak berkembang maka Islam akan ketinggalan oleh hukum-hukum lain.
Perkembangan
bank syariah[36]
bukan hanya dibicarakan di Indonesia saja tetapi jauh dari itu masyarakat dunia
sudah memperbincangkannya, bahkan jika dilihat dari sisi sejarah berdirinya
bank sayariah di Indonesia termasuk usia yang sangat muda jika dibandingkan
dengan negara-negara lainnya.
Ada
sebuah ungkapan bahwa hukum Islam yang termaktub dalam al-Qur’an tidak memberikan
penjelasan yang detil terhadap hukum-hukum terutama dalam bermuamalah, sehingga
banyak timbul permasalahan-permasalahan yang disebabkan karena hukum Islam
tidak mempunyai kejelasan, disini perlu adanya pengkajian secara mendalam
terhadap nilai kesempurnaan itu sendiri, al-Qur’an tidak memberikan penjelasan
dengan detil itu bukan sebuah ketidak sempurnaan hukum Islam, tetapi justru
itulah bukti dari sebuah kesempurnaan hukum Islam. Bisa dibayangkan jika dalam
al-Qur’an bermuamalah diberikan patokan atau aturan secara baku, maka dikala
ada permasalahan yang timbul maka al-Qur’an harus diperbaharui, sebagaimana
kitab-kitab yang lain. Akan tetapi karena al-Qur’an tidak memberikan aturan
secara baku dalam bermuamalah, dikala ada permasalahan maka bukan al-Qur’an
yang dirubah tetapi manusia menggali makna yang terkandung dalam al-Qur’an yang
belum difahami.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Hanafi (1996).
Pengantar Filsafat Islam, ed. 19, Jakarta: PT Bulan
Bintang.
Ali, Zainuddin
(2006). Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafindo.
Anshari, Endang Saiffudin, (1981). Ilmu Filsafat
dan Agama, Surabaya: PT.Bina
Ilmu.
Antonio,
M. Syafi’i (2005). Bank Syariah, dari
teori ke praktek, Jakarta; Gema
Insani.
Antonio,
Safi’i (2001). Bank Syariah Teori dan Praktek, Jakarta: Gema Insani
Press.
Arifin,
Bey (1985). Mengenal Tuhan, Surabaya:
PT Bina Ilmu Offset.
Al-Qaradhawi,
Yusuf (2002). Fiqih Praktis, Jakarta:
Gema Insani Press.
_________________(2003).
Hakikat Tauhid dan Penomena
Kemasyarakatan,
Jakarta: Rabbani Press,
Abidin,
Zaenal (2014) Filsafat Manusia, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Bank
Islam Malayasia Berhad (1994). Islamic
Bank Practice from the
Practitioner’s
Prespective, Kluala
Lumpur.
Beerling (1994).
Filsafat Dewasa Ini, Jakarta: Balai Pustaka.
Bank
Muamalat (1999). Anual Report, Jakarta.
Cii
(1983). Consolidated on the Islamic
Ekonomic Syistem, Islamabad: Council of
Islamic Idiology.
Dagobert
D. Runes, A Treasury of Philosophy, 1,
Dahlan,
Zaini dkk, (1987). filsafat Hukum Islam,
(Departemen Agama RI.
el-Najjar,
Ahmad (1972). Bank Bila Fawaid ka Istiratijiyah al-Iqtishadiyah,
Jeddah: King Abdul Aziz University
Press.
Ghozali,
Suyuti dkk, (1986). Pedoman
Zakat, Jakarta: PT Cemara Indah.
Hakim,
Atang Abdul (2011). Fiqih Perbankan
Syariah, Bandung: PT Refika
Aditama.
Hadiwijono,
Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1,
Yogyakarta: Kanisius. V,
Ihsan
H.A. Faud (2010). Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kattasoff, Louis O (2004). Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Kahduri,
(1984). The Islamic Conception of Justice.
Khalaf,
Abdul Wahhab (1985). Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung:
Risal.
Kazarian,
Elias G (1993) Islamic Versus Traditional
Banking, Boulder: Westview
Press.
Muthhari,
Murtadha (1981). Keadilan Ilahi Asas
Pandangan Dunia Islam,
Bandung: Mizan.
Muhammad
(2008). Manajemen Pembiayaan Mudharaba, Jakarta:
PT
RajaGrafindo.
Nasution,
Mustofa Edwin dkk (2007). Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana.
Raymond
A. Moody Jr (2013). Hidup Sesudah Mati, Jakarta:
PT Gramedia
Pustaka Utama.
Suseno,
Frans Magnis (1991). etika
politik:perinsip-prinsip moral Dasar
Kenegaran.
Moderen,
Jakarta: Gramedia,
Suhendi,
Hendi (2005). Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Subhani,
Ja’far (1995). Studi Kritis Faham Wahabi
dan Syirik, Bandung; Miizan.
Syafe’i,
Rahmat (20015)Ilmu Ushul Fiqih(Bandung;
Pustaka Setia.
_____________
(2001)Fiqih Muamalah. (Bandung:
Pustaka Setia.
Sumardi,
Jakob (2001). Menjadi Manusia, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Shihab,
M. Quraish (2002). Wawasan al-Qur’an, Bandung:
Mizan,
Tanjung,
Ahmad Izzan dan Syahri Refrensi Ekonomi
Syariah, Bandung: PT
Remaja.
Taufiqullah
(2004). Zakat Pemberdayaan Ekonomi Umat, Bandung:
BAZ Jabar.
Plato
(1959). The Last Days of Socrates, Trans.
Hugh Tredennick (Baltimore:
Pengin Books.
Praja,
Juhaya S (2008). Aliran-aliran Filsafat
dan Etika, Jakarta: Pranada Media.
[1] Mahasiswa
Pasca Sarjana S2 UIN SGD BandungE-mail:alawianakrantaukagoknekat@gmail.com/Tlp./WA/Line:081809460709./Fb. AlawiAlbantani/Twiter.@anakrantau5
[2] Takamul, sempurna, bulat. (Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2011), 193.
Lihat juga M. Hasbi Ash Shiddieqy
[5] Takamul artinya hukum Islam serba
meliputi. Ia adalah sistem (kesatuan) nilai yang meliputi semua aturan
kehidupan. Watak ini seperti diisyaratkan oleh teori syamul menjadikan hukum Islam mampu menampung segala perkembangan
dan bahkan sejalan dengan perkembangan itu dalam menuju suatu tujuan. Watak ini
dalam berasimilasi dengan aturan lain bersifat memberi dan menerima, menolak
dan membantah menurut kaidah-kaidah yang telah ditetapkannya. Dengan demikian,
ia tidak kaku dan membeku (jumud), tetapi
elastis sesuai alur illat yang
mengiringinya. (Atang Abdul Hakim, Fiqih
Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2011), 193
[6] Dalam
hidup manusia akan melewati tiga tahap eksistensi, yaitu: 1) tahap estetis, pada tahap ini manusia
berorientasi sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini
manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual (libido), oleh prinsip-prinsip
kesenangan yang hedonistik, dan
biasanya bertindak menurut suasana hati (mood).2).
tahap etis, pada tahap ini manusia mengubah pola hidup yang semula estetis menjadi etis. Ada semacam “pertobatan” di sini, di mana individu mulai
menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri
kepadanya. Prinsip kesenangan (hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang ia
menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. 3). Tahap religius, pada tahap ini manusia
hidup sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai kalau individu, dengan “mata
tertutup”, lompat dan meleburkan diri dalam realitas tuhan. (Zaenal Abidin, Filsafat Manusia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2014. Hal. 148,149,150).
[7] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2005), 1
[8]Definisi ijma’ menurut istilah Ahli Ushul, Ijma’ ialah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam
pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu
masalah atau kejadian. (Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam, (Bandung: Risalah Bandung, 1985), 62 lihat juga Rahmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung;
Pustaka Setia, 20015), 68
[9] Qias
merupakan dalil keempat setelah Al-Qur’an, Sunah, dan Ijma. Qias adalah
memberikan sesuatu hukum semisalnya karena ada sebab yang sama antara keduanya.
Qias merupakan sesuatu yang Allah SWT percayakan kepada akal dan fitrah.
Pernyataan ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qiyam, di antara mizan yang
Allah turunkan dengan Kitab-Nya dan menjadikannya sebagai pendamping dan
pembantunya. Allah berfirman:
ٱللَّهُ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ ٱلۡكِتَٰبَ
بِٱلۡحَقِّ وَٱلۡمِيزَانَۗ
Allah-lah
yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca
(keadilan). (Asy-Syuura:17)
Yang dimaksud dengan mizan adalah dalil dan
alat yang dikenal dengan adil dan sebaliknya. Qias yang benar adalah al-mizan. (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Praktis, Jakarta: Gema Insani Press,
2002), 67 lihat juga, Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia,
20015), 86
[10]Akal dan
syara’ merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan, dengan bekerja sama yang
erat, antara akal dan syara’ kita berada di atas jalan yang lurus, dapat
menikmati arti hidup, berpandangan luas, dan dapat memelihara keseimbnagan
antara tuntutan otak dan hati. Al-Ghozali memberikan penjelasan antara akal
syara’ “adapun akal tidaklah dapat
memberi petunjuk melainkan dengan bimbingan syara’ (agama), dan agama tidak
akan jelas dipahami melainkan dengan akal yang sehat. Akal laksana pondaen dan
agama (syara’) laksana bangunan di atasnya; dan tidaklah ada gunanya pondamen
tanpa bangunan diatasnya, dan sebaliknya sebuah bangunan tidak dapat berdiri
dengan tangguh tanpa pondamen. Demikian pula akal laksana mata dan syara’
laksana pancaran cahaya, maka tidak ada gunanya mata jika pancaran cahayanya
tidak ada; dan apafaedahnya cahaya jika mata tidak ada. Akal laksana pelita dan
syara’ laksana minyaknya, jika minyak tidak ada seolah-olah pelita tidak ada
pula. Selama tidak ada pelita, tidaklah minyak memberi cahaya. Sayara’ adalah
akal dari luar dan akal adalah syara dari dalam, keduanya saling membantu
bahkan menyatu. Oleh karena syara’ merupakan akal dari luar maka Allah ta’ala
hilangkan sebutan akal dari orang kafir pada banyak tempat dalam al-quran, seperti
dalam firman-Nya; “Mereka tuli, bisu dan buta, mereka tidak berakal”. Dan oleh
karena akal adalah syara’ dari dalam, Allah berfirman menerangkan sifat akal;
“Ciptaan Allah yang Ia ciptakan manusia atas kepercayaan kepada tauhid. Tidak
ada yang dapat merobah akal ciptaan Allah, itulah agama yang lurus”. Dinamakan
akal dengan sebutan agama, karena keduanya bersatu. Ingat pula akan firman
Allah Ta’ala; “Nurun ‘ala nurin’, cahaya diatas cahay, maksudnya itulah cahaya
akal dan cahaya syara’” (Zaini
Dahlan, dkk, filsafat Hukum Islam, (Departemen Agama RI, 1987), 122,123,124. Lihat
juga Juhaya S Praja, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, Jakarta: Pranada Media, 2008, hal. 177. Lihat juga.
Dagobert D. Runes, A Treasury of
Philosophy, 1, 137-144.
Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan al-qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.(QS.
Hijjr: 9) Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah
Hukum Islam, (Bandung: Risalah, 1985), 22
[13] (Seandainya kematian itu hanyalah tidur tanpa
impian), maka hal itu merupakan suatu keuntungan yang luar bias. Kupikir
apabila seseorang disuruh memilih suatu malam dimana ia tidur begitu nyenyak
sampai-sampai tidak bbermimpi, dan kemudian membandingkan dengan malam-malam
dan hari-hari ain dalam kehidupannya, dan kemudian setelah mempertimbangkannya,
diharuskan mengatakan berapa banyak hari dan malam dalam kehidupannya telah
dilewatinya dengan lebih menyenangkan-yah, kupikir bahwa .....(siapa saja) akan
berpendapat bahwa hari-hari dan malam-malam ini akan lebih mudah dihitung
dibanding lainnya. Apabila kematian seperti ini, maka aku akan menyebutnya
suatu keuntungan. Karena apabila dilihat dari segi ini, maka seluruh waktu
dapat dianggap sebagai suatu malam saja. (Raymond A. Moody Jr. Hidup Sesudah
Mati, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013. Hal. 3. Lihat juga. Plato, The Last Days of Socrates, Trans. Hugh
Tredennick (Baltimore: Pengin Books, 1959, 75)
[14] وَسَلَٰمٌ عَلَيۡهِ يَوۡمَ وُلِدَ وَيَوۡمَ
يَمُوتُ وَيَوۡمَ يُبۡعَثُ حَيّٗا
Kesejahteraan
atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia
meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali. (QS. Maryam:15)
[15] Pemimpin
[16]
Kesalahan, kejahatan, dosa dan kejatuhan manusia akhirnya ditentukan oleh pola
berpikir manusia sendiri. Pola berpikir ini diperoleh manusia lewat usahanya
sendiri melalui pemikiran filsafat dan keilmuan serta kesenian, atau lewat
transedental religius. (Jakob Sumardi, Menjadi
Manusi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001. Hal 37
[17] فَالِقُ ٱلۡإِصۡبَاحِ وَجَعَلَ
ٱلَّيۡلَ سَكَنٗا وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ حُسۡبَانٗاۚ ذَٰلِكَ تَقۡدِيرُ
ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡعَلِيمِ
Dia
menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan)
matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui. (QS.
Al-An’aam:96).
Perjalanan matahari dan bulan bukan hanya
untuk membikin adanya malam dan siang, tetapi adalagi maksud yang lebih tinggi
yaitu untuk dijadikan perhitungan. Satu, dua, tiga dan seterusnya, menit, jam
dan hari, bulan dan tahun, dan seterusnya, begitu juga meteran, kilosn dsn
litersn, semuanya itu adalah ukuran. Dan semua ukuran dan itungan itu karena
adanya perjalanan matahari, bulan dan bumi. (Bey Arifin, Mengenal Tuhan, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1985), 20,21.
[18] Ialah
bergerak dan berkembang, artinya bahwa hukum Islam tidak statis tetapi dinamis,
terbuka untuk berubah dan berkembang. Perubahan dan pperkembangan dilatar
belakangi dan disebabkan oleh illat; berupa situasi dan kondisi
seperti ekonomi, politik, maupun oleh bergesernya tempat dan waktu, niat, dan
kebiasaan. (Atang Abdul Hakim, Fiqih
Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2011), 193
[19] Etika secara etimologi berasal dari
kata Yunani etos yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika
adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. (H.A. Faud Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2010. Hal. 277)
[20] Moral, berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama
artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan
atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika
dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. (H.A. Faud Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2010. Hal. 278)
Frans
Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral
dan etika. Ajaran moral adalah
ajaran, wejangan, khutbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber
ajaran moral adalah orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti: orang tua
dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan
sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika sebuah ilmu bukan sebuah
ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang
mengatakan bagaimana kita harus hidup bukan etika melainkan moral. (H.A. Faud
Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2010. Hal. 278. Lihat juga. Frans Magnis Suseno, etika politik:perinsip-prinsip moral Dasar
Kenegaran Moderen, Jakarta: Gramedia, 1991 hal.14.
[21] Norma, adalah alat tukang kayu atau
tukang batu yang berupa segitiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada
perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. Misalnya
dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum, yaitu norma sopan santun,
norma hukum, dan norma moral. (H.A. Faud Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010. Hal. 278, 279)
[22] Kesusilaan, Leibniz seorang filsuf pada
zaman Moderen berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjai” yang
terjadi di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai pada
kehendak yang sadar, yang berarti sampai pada kesadaran kesusilaan yang telah
tumbuh lengkap, disebabkan oleh aktivitas jiwa sendiri. Segala perbuatan
kehendak kita sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah
terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap. (H.A. Faud Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010. Hal. 279, lihat
juga. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah
Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius. V, hal. 44,45).
[23] Ekonomi
dalam Islam itu sesungguhnya bermuara kepada akidah Islam, yang bersumber dari
syariatnya. Sedangkan dari sisi lain ekonomi Islam bermuara pada al-Qur’an al Karim dan As-Sunnah Nabawiyah. (Mustofa Edwin
Nasution dkk, Ekonomi Islam, Jakarta:
Kencana, 2007, 16).
[24] Para ulama berbeda pendapat mengenai harta,
namun di sini dapat disimpulkan bahwa penekanan para ulama dalam mendefinisikan
harta itu antara lain sebagai berikut;
Habi Ash-Shiddieqy
menyebutkan bahwa harta adalah nama bagi selain manusia, dapat dikelola, dapat
dimiliki, dapat diperjualbelikan, dan berharga. Kedudukan harta telah
diterangkan dalam al-Qur’an. (Hendi Suhendi, Fiqih
Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005, 11, 12, 13. lihat juga Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001)
ٱلۡمَالُ وَٱلۡبَنُونَ زِينَةُ
ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ
Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia.(QS. Al-Kahfi:46)
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ
فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ
Hai orang-orang mukmin,
sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka(QS. At-Taghabun:14)
إِنَّمَآ
أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ
Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar (QS. At-Taghabun:15)
[25]
merupakan inti ajaran Islam, sedangkan inti ajaran tauhid adalah monotheis (tiada
tuhan selain Allah) yaitu ajaran tentang hakikat ke-Esaan Allah SWT. Esa dalam
segalanya, zat, sifat dan perbuatan. Dengan demikian tauhid adalah eksistensi keislaman. Allah adalah pencipta,
pengatur, dan pemelihara ‘alam, Dia adalah pencipta hukum. (Atang Abdul Hakim,
hal 146. Lihat juga Yusuf Qardhawi, Hakikat
Tauhid dan Penomena Kemasyarakatan, Jakarta: Rabbani Press, 2003, hal 5.
Lihat juga Ja’far Subhani, Studi Kritis
Faham Wahabi dan Syirik, Bandung; Miizan, 1995, hal 24).
[26] Menurut
perspektif al-qur’an keadilan memiliki empat macam arti. Pertama, adil berarti “sama” (al-musawat), QS. Al-Nisa {4}: 58.
Artinya ayat ini menuntun para hakim untuk menempatkan para pihak yang
berperkara dalam posisi yang sama. Kedua,
adil berarti “seimbang” (al-mizan),
QS. Al-Hadid {57} : 25dan QS. Ar-Rahman {55}: 9. Keadilan disini semakna
dengan kesesuaian (proporsional), keadilan model ini tidak menutuk kesamaan
kadar dan syarat bagi semua unit agar seimbang. Yang satu bisa lebih besar atau
lebih kecil dari yang lain sesuai dengan proporsinya. Pengertian ini menunjukan
bahwa Allah SWT. Maha Bijaksana dan Mengetahui, Menciptakan dan mengelola
sesuatu sesuai dengan kadar dan waktu tertentu. Ketiga, keadilan ialah memelihara hak individu dan memberikannya
kepada yang berhak (i’to’u syaiin ila
ilamustahikk). Pengertian ini membewa kepada pengertian lain, yaitu
menempatkan sesuatu pada tempatnya (wad’u
syaiin fimahalihi), disamping itupun berkaitan dengan keadilan sosial yang
harus dihormati. Maka ketiga
bersandar kepada dua hal; (1) hak dan preferensi, yaitu jika seseorang membuat
sesuatu maka ia menjadi pemilik hasil pekerjaannya. (2). Kekhasan pribadi
manusia, artinya agar masyarakat meraih kebahagiaan maka hak dan preferensinya
harus dipelihara. Keempat. Keadilan
yang dinisbatkan kepada Allah SWT, artinya memelihara hak berlanjutnya
eksistensi. (Atang Abdul Hakim, Fiqih
Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2011), 193. Lihat juga M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 2002, halm. 114, 116. Murtadha Muthhari, Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam, Bandung: Mizan, 1981.
Hlm. 54,58.
[27] Adalah
salah satu prinsip-prinsip hukum Islam (al-tauhid,
al-adalat, al-huriyat, al-musawat, dan al-tasamuh (toeransi). Banyak
disebut dalam al-quran seperti dalam QS. Ali Imran: {3}: 140 dan 114, QS.
Al-A’raf {7}: 157, QS. Al-Taubah {9}:71, QS. Al-Nahl {16}: 90, dan QS.
Al-Ankabut {29}: 45. Ayat-ayat ini mengisyaratkan bahwa al-qur’an adalah kitab
dakwah yang harus disebar luaskan kepada umat manusia, karena didalamnya berisi
norma-norma kehidupan. (Atang Abdul Hakim, Fiqih
Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2011), 155.
[28] zakat
mrupakan salah satu pesan Islam yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan
dasar umat manusia, yakni terciptanya kesejahtraan ekonomi yang seimbang, tidak
menumbuhkan kecemburuan yang makin menajam antara kaum kaya dan golongan
miskin. Zakatlah pesan Islam pernah mendapat prioritas pembinaan umat ketika
Nabi, SAW pertama kali membina masyarakat di kota Madinah.
Jakat
adalah ajaran Islam yang memiliki dimensi ganda, spritual dan material. Selan
itu, zakat pun berdimensi sosial yang berarti bahwa pemenuhan kebutuhan
material, bukan hanya berorientasi pada situasi individual tetapi juga sosial.
Dalam krangka inilah prinsip zakat menjadi alternatif dalam membangun kekuatan
ekonomi umat, sekaligus menciptakan kesejahtraan dan iklim solideritas sesama
manusia. (Taufiqullah, Zakat Pemberdayaan
Ekonomi Umat, Bandung:
BAZ Jabar, 2004),3 lihat juga (Suyuti
Ghojali, dkk, Pedoman Zakat, Jakarta: PT Cemara Indah,
1986)
[29]
Merupakan sistem yang mendasari oprasional perbankan syariah. Sistem ini telah
dipraktekan di pakistan dan Malayasia sekitar tahun 1940-an, yakni dengan
adanya upaya untuk mengelola dana jemaah haji secara non konvensional.
(Muhammad, Manajemen Pembiayaan
Mudharaba, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2008, hal. 18. Lihat juga. Safi’i
Antonio, Bank Syariah Teori dan Praktek,
Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Hal. 18
[30] وَلَا
تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil (QS. Al-Baqarah: 188)
[31] Komitmen Al
quran tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata keadilan di
dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti ; kata urutan
ketiga yang banyak disebut Al quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan,
menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan
menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm,
itsm, dhalal, dll (Kahduri, The Islamic Conception of Justice
(1984):10).
[33] Ekonomi
syariah adalah kumpulan dari dasar-dasar umum ekonomi yang diambil dari
al-qur’an dan sunah Rasul, SAW serta diambil dari tatanan ekonomi yang dibangun
di atas dasar-dasar tersebut, sesuai dengan berbagai macam bid’ah (lingkungan)
dan setiap zaman. (Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Refrensi Ekonomi Syariah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset,
2006, 32.
[34] Bank Muamalah Indonesia pada 24 Rabius Tsani
1412 H atau 1 Nopember 1991, diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
Pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan operasinya pada 27 Syawwal 1412 H
atau 1 Mei 1992. Dengan dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendekiawan Muslim
se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim, pendirian Bank Muamalat juga
menerima dukungan masyarakat, terbukti dari komitmen pembelian saham Perseroan
senilai Rp 84 miliar pada saat penandatanganan akta pendirian Perseroan.
Selanjutnya, pada acara silaturahmi peringatan pendirian tersebut di Istana
Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang turut
menanam modal senilai Rp 106 miliar. (Bank Muamalat, Anual Report, Jakarta, 1999).
[35] Menurut Perwataatmadja, Pengertian
Bank Syariah ialah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip
syariah (islam) dan tata caranya didasarkan pada ketentuan Al-quran dan Hadist.
(Bank Muamalat, Anual Report, Jakarta,
1999).
[36] Pakistan
merupakan pelopor di bidang bank syariah. Pada awal Juli 1979 , sistem
bunga dihapuskan dari oprasional tiga institusi: National Investment (Unit
Trust), House Building Finance Corporation (Pembiayaan sektor perumahan), dan
Mutual Funds of the Investement Corporation of Pakistan (Kerja sama investasi).
(M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah, dari
teori ke praktek, Jakarta; Gema Insani, 2005, 22 lihat juga Cii Council of Islamic
Ideology, Consolidated on the Islamic
Ekonomic Syistem, Islamabad: Council of Islamic Idiology, 1983).
Mesir. Faisal Islamic Bank berdiri
Maret 1978, selain Faisal Islamic Bank terdapat bak lain yaitu; Islamic
International Bank for Investement and Develoment, yang beroprasi dengan sistem
Islam. (Elias G. Kazarian, Islamic Versus
Traditional Banking, Boulder:WestviewPress, 1993).
Siprus,
Faisal Islamic Bank of Kibris (Siprus) mulai beroprasi pada Maret 1983
dan mendirikan Faisal Islamic Investement
Corporation yang memiliki dua cabang di Siprus dan satu cabang di Istambul.
(Ahmad el-Najjar, Bank Bila Fawaid ka
Istiratijiyah al-Iqtishadiyah, Jeddah: King Abdul Aziz University Press:
1972).
Kwait,
Kuait Finance Hose didirikan
pada tahun 1977 dan sejak awal beroprasi dengan sistem tanpa bunga.
Bahrain, bahrain merupakan off-shore banking heaven terbesar di Timur Tengah. Tumbuh sekitar
220 local dan off-shore banks. Tidak kurang 22 diantaranya beroprasi berdasarkan
syariah, antara lain: Citi Islamic Bank
of Bahrain, Faysal Islamic Bank of Bahrain dan Al-Barakah Bank.
Uni
Emirat Arab, Dubai Islamic Bank merupakan
salah satu plopor perkembangan bank syariah. Didirikan pada tahun 1975.
Malayasia,
Bank Islam Malayasia Berhad, (BIMB) merupakan bank syariah
pertama di Asia Tenggara. Bank ini didirikan pada tahun 1983. Di negri Jiran
ini, di samping full pledge Islamic
Banking, Pemerintah Malayasia memperkenankan jiga sistem Islamic Window yang memberikan layanan
Syariah pada bank konvensional. (Bank Islam Malayasia Berhad, Islamic Bank Practice from the
Practitioner’s Prespective, Kluala Lumpur, 1994)
Iran,
ide pengembangan perbankan syariah di Iran bermula sejak Revolusi Islam
Iran yang dipimpin Ayatullah Khomaini pada tahun 197, sedangkan pengembangan
dalam bentuk riil baru dimulai pada bulan Januari 1984.
Turki,
pada tahun 1984, Pemerintah Turki memberikan izin kepada Daar al-Maal al-Islami (DMI) untuk
mendirikan bankyang beroprasi berdasarkan prinsip bagi hasil.
Indonesia,
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI. Akta
pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatagani pada tanggal 1 November
1991. Pada tanggal 1 Mei 1992 BMI mualai beroprasi. Hingga september 1999, BMI
telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Balikpapan, dan Makasar. (Bank Muamalat, Anual Report, Jakarta, 1999) (M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah, dari teori ke praktek, Jakarta;
Gema Insani, 2005, 22, 23, 24, 25, 26.