Distribusi dalam Ekonomi Syariah
https://alawialbantani.blogspot.com/2019/05/distribusi-dalam-ekonomi-syariah.html
M.
Tolib Alawi[1]
Nim: 2.215.2.019
Distribusi
dalam EKIS
A.
Pendahuluan
Salah satu, masalah utama dalam kehidupan sosial di masyarakat
adalah mengenai cara melakukan
pengalokasian dan pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus bertentangan dengan tujuan makro
ekonomi. Kesenjangan dan kemiskinan pada dasarnya muncul karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah ini tidak terjadi karena perbedaan kuat
dan lemahnya akal serta fisik manusia sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan perolehan kekayaan karena itu
adalah fitrah yang pasti terjadi.
Permasalahan sesungguhnya terjadi karena penyimpangan distribusi yang secara akumulatif
berakibat pada kesenjangan kesempatan memeroleh kekayaan. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin
tidak memiliki kesempatan kerja.[3]
Islam telah
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Salah
satu tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan dalam pendistribusian harta,
baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun individu. Keadilan dan kesejahteraan
masyarakat tergantung pada sistem ekonomi yang dianut.
Sistem
ekonomi Islam berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Perkara-perkara asas
muamalah dijelskan didalamnya dalam bentuk suruhan dan larangan. Suruhan dan
larangan tersebut bertujuan untuk membangun keseimbangan rohani dan jasmani
manusia berasaskan tauhid.[4] Tujuan dan nilai-nilai dari sistem ekonomi islam
adalah untuk memenuhi semua kebutuhan dari segala sektor kegiatan dan kebutuhan
manusia. Tujuan dan nilai-nilai tersebut adalah melakukan aktivitas ekonomi
yang baik dalam kerangka kerja norma-norma moral islam, menjalin persaudaraan
dan menciptakan kesejahteraan secara universa. Untuk mencapai tujuan ini,
diperlukan distribusi pendapatan yang merata sehingga bisa meningkatkan
kesejahteraan sosial.[5]
Islam
menekankan keadilan distribusi dan menyertakan dalam sistemnya suatu
program acara untuk pembagian kembali kekayaan dan kemakmuran, sehingga
tiap-tiap individu dijamin dengan suatu standar hidup yang terhormat dan ramah
satu sama lain.[6]
Menurut perspektif al-qur’an keadilan memiliki empat
macam arti. Pertama, adil berarti
“sama” (al-musawat), QS. Al-Nisa {4}: 58. Artinya ayat ini menuntun para hakim
untuk menempatkan para pihak yang berperkara dalam posisi yang sama. Kedua, adil berarti “seimbang” (al-mizan), QS. Al-Hadid {57} : 25dan QS.
Ar-Rahman {55}: 9. Keadilan disini semakna dengan kesesuaian (proporsional),
keadilan model ini tidak menutuk kesamaan kadar dan syarat bagi semua unit agar
seimbang. Yang satu bisa lebih besar atau lebih kecil dari yang lain sesuai
dengan proporsinya. Pengertian ini menunjukan bahwa Allah SWT. Maha Bijaksana
dan Mengetahui, Menciptakan dan mengelola sesuatu sesuai dengan kadar dan waktu
tertentu. Ketiga, keadilan ialah
memelihara hak individu dan memberikannya kepada yang berhak (i’to’u syaiin ila ilamustahikk). Pengertian
ini membewa kepada pengertian lain, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya (wad’u syaiin fimahalihi), disamping
itupun berkaitan dengan keadilan sosial yang harus dihormati. Maka ketiga bersandar kepada dua hal;
(1) hak dan preferensi, yaitu jika seseorang membuat sesuatu maka ia menjadi
pemilik hasil pekerjaannya. (2). Kekhasan pribadi manusia, artinya agar
masyarakat meraih kebahagiaan maka hak dan preferensinya harus dipelihara. Keempat. Keadilan yang dinisbatkan
kepada Allah SWT, artinya memelihara hak berlanjutnya eksistensi[7].
Komitmen Al quran
tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalamnya
yang mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti ; kata urutan ketiga yang
banyak disebut Al quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan,
menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan
menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm,
itsm, dhalal, dll[8].
Dasar karakteristik pendistribusian dalam sistem
ekonomi islam adalah adil dan jujur, karena dalam Islam sekecil apapun
perbuatan yang kita lakukan, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Pelaksanaan distribusi bertujuan untuk saling memberi manfaat dan menguntungkan
satu sama lain. Secara umum, Islam mengarahkan mekanisme muamalah antara
produsen dan konsumen agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Apabila
terjadi ketidakseimbangan distribusi kekayaan, maka hal ini akan memicu
timbulnya konflik individu maupun sosial.
Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah-masalah yang
timbul akibat dari distibusi yang tidak merata, menjadi perlu untuk memahami
bagaimana nilai, dan moral distribusi pendapatan dalam islam?, bagaimana peran
negara dalam mendistribusikan pendapatan?, bagaimana melakukan efisiensi dan
alokasi pendapatan?, dan apa saja dampak dari pendistribusian pendapatan?,
berikut akan dibahas lebih jauh dalam makalah ini.
Moral, berasal
dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. (H.A.
Faud Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2010. Hal. 278)
Frans Magnis Suseno (1987) membedakan
ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khutbah, peraturan
lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia
menjadi manusia yang baik. Sumber ajaran moral adalah orang dalam kedudukan
yang berwenang, seperti: orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama,
dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi
filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral.
Etika sebuah ilmu bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada
di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup bukan etika
melainkan moral[9].
B.
Pembahasan
Distribusi Pendapatan dalam Islam menduduki
posisi yang penting karena pembahasan distribusi pendapatan tidak hanya
berkaitan dengan aspek ekonomi akan tetapi juga berkaitan dengan aspek sosial
dan aspek politik. Sebenarnya konsep ekonomi islam tidak hanya mengedepankan
aspek ekonomi, dimana ukuran berdasarkan atas jumlah harta kepemilikan, akan tetatpi
bagaimana bisa mendistribusikan penggunaan potensi kemanusiaan, berupa
penghargaan hak hidup dalam kehidupan. Distribusi harta tidak akan mempunyai
dampak yang signifikan kalau tidak ada kesadaran antara sesama manusia akan
kesamaan hak hidup.
Oleh karena itu dalam distribusi pendapatan
berhubungan dengan beberapa masalah, bagaimana mengatur distribusi pendapatan
dan penyalurannya kepada masyarakat?
Dalam Islam telah dianjurka untuk melaksanakan zakat,
infak dan shadaqah dan lain sebagainya. Kemudian baitul mal membagikan kepada
orang-orang yang membutuhkan untuk meringankan beban hidup, dengan cara memberi
bantuan langhsung ataupun tidak langsung. Islam tidak mengarahkan distribusi
pendapatan yang sama rata, letak pemerataan dalam Islam adalah keadilan atas
dasar maslahah; dimana di antara satu orang dengan orang lain dalam kedudukan
sama atau berbeda, mampu atau tidak mampu bisa saling menyantuni, maenghargai
dan menghormati peran masing-masing. Semua keadaan di atas akan terealisasi
apabila masing-masing individu sadar terhadap eksistensinya di hadapan Allah
SWT.
Zakat mrupakan salah satu pesan Islam yang
bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar umat manusia, yakni terciptanya
kesejahtraan ekonomi yang seimbang, tidak menumbuhkan kecemburuan yang makin
menajam antara kaum kaya dan golongan miskin. Zakatlah pesan Islam pernah
mendapat prioritas pembinaan umat ketika Nabi, SAW pertama kali membina
masyarakat di kota Madinah.
Zakat adalah ajaran Islam yang memiliki
dimensi ganda, spritual dan material. Selan itu, zakat pun berdimensi sosial
yang berarti bahwa pemenuhan kebutuhan material, bukan hanya berorientasi pada
situasi individual tetapi juga sosial. Dalam krangka inilah prinsip zakat
menjadi alternatif dalam membangun kekuatan ekonomi umat, sekaligus menciptakan
kesejahtraan dan iklim solideritas sesama manusia[10].
b. Konsep Moral Islam Dalam Sistem Distribusi Pendapatan
Islam menyadari bahwa pengakuan akan kepemilikan
adalah hal yang sangat penting. Setiap hasil ekonomi seorang muslim dapat
menjadi hak miliknya karena hal itu menjadi motivasi dasar atas setiap
aktivitasnya, dimana motivasi ini membimbing manusia untuk terus berkompetisi
dalam menggapai kepemilikanya.
Tetapi kepemilikan manusia hanya diberi hak
kepemilikan terbatas yaitu hanya berwenang untuk memanfaatkan sedangkan pemilik
yang hakiki dan absolut hanyalah Allah Azza wa Jalla seperti dalam
firman-Nya: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha
perkasa atas segala sesuatu,[11]
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassalam
“suatu ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassalam bertanya kepada
para sahabatnya : Kepada siapakah di antara kamu harta milik ahli warisnya
lebih berharga daripada miliknya sendiri ? Mereka menjawab : setiap orang
menganggap harta miliknya sendiri lebih berharga daripada milik ahli warisnya.
Kemudian nabi bersabda : Hartamu adalah apa yang kamu gunakan dan harta ahli
warismu adalah yang tidak kamu gunakan[12].
c. Kepemilikan
dalam ekonomi Islam
- Kepemilikan Umum (al milkiyyah al ammah atau collective property). Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun
gas, minyak bumi, besi, tembaga, emas, dan temasuk yang tersimpan di perut
bumi dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi
sebagai komponen utamanya.
- Kepemilikan Negara (state property) Kepemilikan Negara meliputi
semua kekayaan yang diambil Negara seperti pajak dengan segala bentuknya
serta perdagangan, industri, dan pertanian yang diupayakan Negara diluar
kepemilikan umum, yang semuanya dibiayai oleh Negara sesuai dengan
kepentingan Negara.
- Kepemilikan Individu, Kepemilikan
ini dapat dikelola oleh setiap individu atau setiap orang sesuai dengan
hukum atau norma syariat.
d. Macam-macam Distribusi dalam Ekonomi
Distribusi dalam ekonomi sangat beragam antara lain
distibusi secara parsial, fungsional, temporal dan sebagainya. Dalam makalah
ini penulis akanmemfokuskan dari dalam pembahasan distribusi fungsional.
Pembahasan dalam distribusi fungsiolal adalah: laba. Uppah dan sewa.
a.
Laba.
Laba yang dianggap valid ialah laba normal, yaitu laba
yang tidak berlebihan (exsessive profit) dan tidak diperoleh
dengan cara-cara yang merugikan orang lain.[13]
Menurut al-Ghozali usaha perdagangan yang distimulus untuk memperoleh laba
adalah dibenarkan dalam Islam, karena para pedagang menganggung berbagai resiko
yang mungkin timbul selama mereka mengusahakan barang-barang itu tersedia di
pasar. Kendatipun demikian , Al-Ghozali menyarankan agar para pedagang tidak
menjual barang-barang dari harga berlaku sewenang-wenang, sebab hal ini akan
mengakibatkan timbul laba yang berlebihan. Dalam pandangan Al-Gozhali, besarnya
laba normal itu kira-kira 5-10% dari harga beli atau dari harga produksi. Serta
menyerahkan kepada pedagang untuk memerhatikan laba yang sejati, yaitu akurat.[14]
Maksimalisasi laba dengan sendirinya tidak menyalahi
prinsip moderasi yang dilanjutkan dalam praktek Islam dan sebab itu dapat
diterima oleh ekonomi Islam[15]
sebagai sebuah fungsi matematis
maksimalisasi laba adalah bersifat netral (bebas nilai) yang membentu produsen
muslim dalam menentukan tindakan yang memberinya hasil paling efisien[16].
b.
Teori Upah.
Pandangan
mengenai mekanisme pasar bebas dalam pemikiran ekonomi Islam klasik tampaknya
juga memengaruhi pendapat para sarjana muslim konteporer dalam hal penentuan
upah tenaga kerja. Umumnya mereka menyatakan bahwa setiap jasa yang
disumbangkan oleh tenaga kerja mempunyai harga pasar sendiri, sehingga dalam
kondisi yang normal upah seharusnya ditentukan oleh mekanisme bebas permintaan dan penawaran di pasar
tenaga kerja. Mengenai hal ini, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa permintaan atas
tenaga kerja merupakan derived demain sedangkan
penawaran ditentukan oleh jumlah populasi dan tingkat pendapatan. Dalam
mekanisme inilah upah ditentukan oleh pasar.[17]
e. Distribusi Pendapatan
Kebutuhan menjadi alasan untuk mencapai pendapartan
minimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup yang baik adalah hal yang
mendasari system distribusi-redistribusi pendapatan baru dikaitkan dengan kerja
dan kepemilikan pribadi.
Proses redistribusi pendapatan dalam islam mengamini
banyak hal yang berkaitan dengan moral endogeneity (faktor dari dalam),
signifikansi dan batasan-batasan tertentu, di antaranya:
- Sebagaimana
utilitanrianisme, mempromosikan “greatest good for greteast number of
people”, dengan good dan utility diharmonisasikan dengan
pengertian halal-haram, peruntungan manusia dan peningkatan utility
manusia adalah tujuan utama dari tujuan pembangunan ekonomi.
- Liberitarian
dan Marxism, pertobatan dan penebusan dosa adalah salah satu hal yang
mendasari diterapkanya proses redistribusi pendapatan. Dalam aturan main
syariah akan ditemukan sejumlah instrument yag mewajibkan seseorang muslim
untuk mendistribusikan kekayaannya sebagai akibat melakukan kesalahan
(dosa).
- Sistem
redistribusi diarahkan untuk berlaku sebagai faktor pengurang dari adanya
pihak yang merasa dalam keadaan merugi atau gagal. Kondisi seperti ini
hamper bisa dipastikan berlaku setiap komunitas.
- Mekanisme
redistribusi berlaku secara istimewa, walaupun pada realitasnya distribusi
adalah proses transfer kekayaan searah, namun pada hakekatnya tidak
demikian. Disini pun terjadi mekanisme pertukaran, hanya saja objek yang
menjadi alat tukardari kekayaan yang ditransfer berlaku di akhirat nanti
(pahala). Dengan demikian, logikanya memberikan pengertian bahwa dengan
berbuat baik sekarang dan bertobat karena melakukan dosa, kemudian
mentransfer sebagian harta, maka senagai alat penukar pengganti adalah
pahala di di akhirat. Ini tentunya bukanlah mekanisme dari market exchanes
akan tetapi pertukaran yang terjadi anatara orang yang beriman dengan
Tuhannya
f.
Nilai dan
Moral Distribusi Islam
Yusuf Qardhawi dalam Muhammad
mengatakan bahwa distribusi dalam ekonomi Islam
didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting, yaitu:
nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan
disertai kewenangan untuk memiliki kekayaan tersebut.[18] Sehubungan dengan masalah distribusi ini, Qardhawi menjelaskan sebagai berikut.[19]:
1.
Nilai Kebebasan
a)
Asas Kebebasan
Kebebasan dalam melakukan
aktivitas ekonomi harus dilandasi keimanan kepada Allah dan
ke-Esaan-Nya serta keyakinan manusia kepada Sang Pencipta. Allah-lah yang
menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala urusan sehingga tidak layak lagi bagi manusia untuk menyombongkan diri serta bertindak otoriter terhadap makhluk lainnya. Tidak boleh ada pemaksaan dan penindasan karena seluruh makhluk di hadapan Tuhan adalah sama. Hanya kepada-Nyalah semua manusia harus tunduk dan meminta pertolongan.
Keyakinan manusia kepada Allah
didasarkan atas persiapan material dan spiritual yang
diberikan Allah kepada manusia dalam melakukan tugasnya sebagai khalifah. Kebebasan
manusia adalah sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupannya.
Seorang yang terbelenggu tidak akan produktif. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk berusaha, memiliki, mengelola dan
membelanjakan hartanya sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan oleh Allah sehingga manusia pantas dimuliakan dan menerima amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan di Hari Kemudian.
b)
Bukti-bukti kebebasan
Ø Hak milik pribadi
Kepemilikan adalah suatu bukti
prinsip kebebasan. Seorang yang memiliki suatu benda
dapat menguasai dan memanfaatkannya. Ia dapat pula
mengembangkan hak miliknya dengan cara-cara yang
dibenarkan Islam. Islam melindungi hak milik pribadi dari perbuatan zalim seseorang dan
menganjurkan untuk mempertahankan hak miliknya.
Kebebasan mengharuskan seseorang untuk menanggung risiko sesuai dengan apa
yang dilakukan dan memberikan hak orang lain yang
terdapat di dalam hartanya.
Ø Warisan
Disyari'atkannya warisan adalah
sebagai pencerminan kebebasan. Di rnana seseorang
dapat melestarikan dan mengelola secara berkesinambungan
apa yang menjadi miliknya. Perolehan hak milik dari
pemilik yang lama kepada penggantinya dapat terjadi
dalam dua hal, yaitu: melalui warisan dan wasiat. Kedua
hal ini diakui oleh syar'i dengan maksud untuk
memelihara kemaslahatan individu, keluarga dan
masyarakat.
Kemaslahatan individu dapat
diperoleh dengan memenuhi keinginannya serta menjaga
kepentingannya dari perampasan hak yang merupakan
salah satu hikmah dsyari'atkannya wasiat dan waris. Kedua
hal tersebut dapat pula menguatkan hubungan keluarga dan
saling tolong-menolong dan saling mewarisi setelah kematian seseorang.
Orang tua mengharapkan kebaikan
bagi anak-anaknya (keturunannya) dan berharap amalannya
akan berkelanjutan kepada anak-anaknya yang merupakan cermin
dari eratnya hubungan perasaan mereka. Hal tersebut dapat
dilihat berdasarkan hadist Nabi saw. yang
terkenal yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.
“Jika Anak Adam
(manusia) meninggal maka putuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: sadaqah
jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang berdoa untuk orang
tuanya.[20]”
Bentuk kemaslahatan yang kedua
adalah diberikan kepada keluarga terdekat. Oleh karena itu
Islam menganjurkan agar memberikan nafkah kepada orang lain
yang dimulai dari keluarga yang terdekat.
Bentuk kemaslahatan yang ketiga adalah bagi masyarakat yang berdampak pada sistem distribusi. Warisan merupakan faktor yang sangat berperan dalam pemerataan kekayaan, perluasan dan pemindahan dari seorang pemilik kepada beberapa orang yang ketentuan
pembagiannya telah ditentukan oleh Allah dalam Al-Qur'an.
2. Nilai Keadilan
Kebebasan dalam Islam tidak
bersifat mutlak. Oleh karena itu meskipun seseorang diperbolehkan memiliki
namun ada ketentuan batasannya atau aturan dalam
memperoleh, mengembangkan dan mengkonsumsi harta yang dimilikinya.
Islam juga mewajibkan setiap orang untuk mengeluarkan
bagian tertentu dari harta yang dimilikinya.
Hal di atas dimaksudkan karena
pada dasarnya manusia sangat senang mengumpulkan harta sehingga
dalam pembelanjaan hartanya terkadang is berlaku boros
dan bersifat kikir. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian mengenai
keadilan dan larangan berbuat zalim. (Q.S 42: 20, ...sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang
yang zalim) Ayat yang ditegaskan dalam al-Qur'an yakni seorang Muslim tidak diperbolehkan berbuat zalim terhadap orang lain termasuk lingkungannya. Kaitannya dengan distribusi pendapatan jika dalam pendistribusian pendapatan dilakukan dengan tidak adil maka akan menimbulkan keresahan dan protes dari pemilik factor produksi. Oleh karena itu pembagian pendapatan harus diberikar sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan.
g.
Peran Negara
Dalam Distribusi Pendapatan
Islam mengakui adanya kepemilikan
individu dan setiap orang bebas mengoptimalkan kreativitasnya
serta memberi otoritas kepada pemiliknya sesuai dengan batasan
yang ditetapkan Allah. Namun kebebasan yang
diberikan itu terkadang disalahgunakan oleh sebagian orang misalnya dalam bentuk: pengambilan riba, perilaku monopoli, dan aktivitas yang sejenisnya. Jika aktivitas seperti ini terjadi maka pemimpin
negara diperbolehkan melakukan intervensi seperlunya. Tujuannya adalah untuk menghentikan perilaku yang mengancam hak dan kesejahteraan hidup masyarakat[21].
Menurut An-Nabahani dalam Muhammad, dikatakan bahwa tugas-tugas pemerintah dalam perekonomian dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) mengawasi faktor utama penggerak ekonomi; (2) menghentikan mu'amalah yang diharamkan; dan (3) mematok harga kalau diperlukan.[22]
Pemerintah harus mengawasi gerak
perekonomian seperti dalam aktivitas produksi dan distribusi
barang, praktek yang tidak benar sepert: penimbunan terhadap bahan pokok yang
sangat diperlukan masyarakat, monopoli dan tindakan
mempermainkan harga untuk menjaga kemaslahatan bersama.
Pematokan harga pada mulanya diharamkan. Karena kondisi penjual
saat itu pada posisi lemah yang berbeda dengan keadaan saat ini. Di mana seorang penjual dapat berbuat apa saja. Oleh karena itu peran pemerintah untuk mematok harga suatu komoditas tertentu diperbolehkan atau bahkan menjadi wajib. Sebab untuk menciptakan keadilan dan kemaslahan bersama.
Dalam kaitan ini Qardhawi dalam
Muhammad menegaskan bahwa tugas negara adalah berupaya untuk menegakkan
kewajiban dan, keharusan mencegah terjadinya hal-hal yang
diharamkan khususnya dosa besar, seperti: riba, perampasan hak, pencurian dan kedzaliman kaum kuat terhadap lemah. Pernyataan ini mengandung maksud, bahwa negara
bertugas untuk menetapkan aturan atau undang-undang berdasarkan nilai dan moral ke dalam praktek nyata serta mendirikan institusi (lembaga) untuk menjaga serta memantau pelaksanaan kewajiban masyarakat dan menghukum
orang yang melanggar dan melalaikan kewajibannya. Pemerintah harus dapat menghapuskan kemiskinan minimal mengurangi jumlah penduduk yang miskin.[23]
Demikian pula negara harus dapat
meningkatkan aktivitas bisnis dan mencegah terjadinya
eksploitasi terhadap pihak tertentu dalam masyarakat.
Menurut Mannan dalam Muhammad, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan distribusi pendapatan adalah kebijakan fiskal dan anggaran belanja. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan pada distribusi kekayaan yang berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama.[24]
Kebijakan fiskal dianggap sebagai
alat untuk mencapai pemerataan kekayaan negara yang mekanismenya
harus berdasarkan nilai dan prinsip hukum dalam
al-Qur'an. Kegiatan yang menambah penghasilan negara harus digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu berdasaran hukum Allah yang melarang penumpukkan kekayaan di antara segolongan kecil masyarakat. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendukung fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi dalam suatu negara.
Peran pemerintah dalam distribusi
pendapatan baik ditinjau dari segi kapitalis maupun Islam dapat dibuat suatu perbandingan bahwa kebijakan pemerintah yang berkaitan secara langsung berhubungan dengan penciptaan nilai mata uang serta menentukan harga agar tidak terjadi inflasi. Pemungutan
pajak yang dilakukan oleh sistem kapitalis digunakar sebagai sumber
utama penerimaan negara yang dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pemerintahan serta membiayai pembangunan dan mengatur kegiatan ekonomi dalam rangka mewujudkan
keadilan dan pemerataan pendapatan.
Islam menggunakan dana yang diperoleh dari pajak hanya untuk pengeluaran yang penting dan harus didistribusikan kembali kepada masyarakat dengan jalan yang benar dan
jujur. Islam melarang pejabat
pemerintah untuk menggunakan fasilitas negara bagi diri dan keluarganya kecizali dalam rangka tugas
pemerintahan.[25]
Dalam kebijakan fiskal menurut
Islam, selain pajak dikenal pula zakat yang
merupakan salah satu inti ajaran Islam. Islam menentukan infak dan mewajibkan zakat kepada orang kaya. Zakat merupakan sarana penyucian diri dan harta karena pada dasarnya dalam harta manusia terdapat hak orang lain yang harus diberikan. Negara berhak mengumpulkan zakat dan menyalurkann.ya kepada yang berhak menerimanva serta memaksa siapa saja yang tidak mau mengeluarkan zakat dan mengingatkan
para wajib zakat. Untuk melakukan tugas tersebut, negara dapat
membuat undang-undang dan membentuk lembaga yang bertugas mengurus masalah tersebut dan juga harus memegang amanah (mengelola
zakat) dan menvarnpaikannya kepada
yang berhak serta mencegah semua bentuk kezalimar dan praktek yang dilarang oleh Islam seperti:
penimbunan, mempermainkan harga dan
perilaku pemborosan.[26]
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa dalam Islam negara berhak menarik
pajak dan disalurkan kembali berupa fasilitas dari pajak dan hanya dalam rangka tugas pemerintahan. Demikian pula negara dapat mengelola dan menyalurkan zakat, sehingga dengan demikian negara dapat berperan sebagai agen yang efektif yang mampu
rnenerapkan aturan-aturan dalam al-Qur'an dan al-Hadits serta pedapat ulama yang berhubungan dengan
prinsip-prinsip distribusi pendapatan.
DAFTAR
FUSTAKA
Anwar, Deky. (2014). Ekonomi Mikro Islam. Palembang: Noer
Fikri Offset.
Ali, Salman Syed (2006) ekonomic Thought of Ibnu Kaldun,
Al-Ghozali,
Ihya Ulum al-Din. Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah.
Ghojali,
Suyuti dkk (1986)Pedoman Zakat, Jakarta: PT Cemara Indah.
Hakim, Atang Abdul (2011) Fiqih Perbankan Syariah, Bandung: PT
Refika
Aditama.
Hasan,
Zubair (2002) maximization postulates and
their efficacy for Islamic
economic. Dalam the
American Jurnal of Islamic Socal Seciencs 19.1
Amerika Serikat.
Hoetoro,
Arif (2007), Ekonomi Islam, Malang:
Badan Penerbit Fakultas
Universitas Brawijaya.
Ihsan,
H.A. Faud (2010) Filsafat Ilmu, Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Kahduri (1984), The Islamic
Conception of Justice
Muhammad.
2004. Ekonomi Mikro Dalam Persfektif
Islam. Yogyakarta: BPFE-
Yogyakarta.
Muthhari, Murtadha (1981) Keadilan
Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam,
Bandung: Mizan.
Rahmawari,
Muin. Sistem Distribusi Dalam Persfektif Ekonomi Islam.
http://www.uin-alauddin.ac.id/
pdf
Rivai,
Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic
Economics: Ekonomi Syariah bukan
opsi,
tetapi solusi. Jakarta: PT.Bumi Aksara.
Shihab,
M. Quraish (2002) Wawasan al-Qur’an, Bandung:
Mizan.
Suseno, Frans Magnis (1991) etika politik:perinsip-prinsip moral Dasar
Kenegaran
Moderen, Jakarta: Gramedia.
Taufiqullah,
, (2004) Zakat Pemberdayaan Ekonomi Umat,
Bandung: BAZ Jabar.
[1] Mahasiswa Pasca Sarjana S2 UIN SGD
Bandung E-mail:alawianakrantaukagoknekat@gmail.com Tlp.081809460709.
[2]Dosen
Pasca Sarjana UIN SGD Bandung
[3]
Rahmawari, Muin. Sistem Distribusi Dalam Persfektif Ekonomi Islam.
http://www.uin-alauddin.ac.id/download-2-RAHMAWATI%20MUIN.pdf
[4]Rivai,
Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic
Economics: Ekonomi Syariah bukan opsi, tetapi solusi. Jakarta: PT.Bumi
Aksara. Hal. 88
[5]Rivai,
Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic
Economics... Hal 111-112
[6]Rivai,
Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic
Economics... Hal. 130
[7] Atang
Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, Bandung:
PT Refika Aditama, 2011, hal 193. Lihat juga M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2002,
halm. 114, 116. Murtadha Muthhari, Keadilan
Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam, Bandung: Mizan, 1981. Hlm. 54,58.
[9]
H.A.
Faud Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2010. Hal. 278. Lihat juga. Frans Magnis Suseno, etika politik:perinsip-prinsip moral Dasar
Kenegaran Moderen, Jakarta: Gramedia, 1991 hal.14.
[10] (Taufiqullah,
Zakat Pemberdayaan Ekonomi Umat, Bandung: BAZ Jabar, 2004),3 lihat juga
(Suyuti Ghojali, dkk, Pedoman
Zakat, Jakarta: PT Cemara Indah, 1986)
[13] Arif Hoetoro, Ekonomi
Islam, (Malang: Badan Penerbit Fakultas Universitas Brawijaya 2007). Lihat
juga Al-Ghozali, Ihya Ulum Al-Din IV
Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, hal,118
[15] Arif Hoetoro, Ekonomi Islam,.......2007. lihat juga Zubair Hasan (2002) maximization postulates and their efficacy
for Islamic economic. Dalam the American Jurnal of Islamic Socal Seciencs
19.1 Amerika Serikat. Hal. 108
[17]
Salman Syed Ali, ekonomic Thought of Ibnu
Kaldun, 2006. Hal 7
[18]Muhammad.
2004. Ekonomi Mikro Dalam Persfektif
Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Hal. 317
[19]Lihat:
Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam...
Hal. 317-319
[21]Muhammad.
2004. Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 320
[22]
Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam...
Hal. 320
[23]
Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam...
Hal. 320
[24]Muhammad.
2004. Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 321