KONSEP DAN TEORI ETOS KERJA
https://alawialbantani.blogspot.com/2018/07/konsep-dan-teori-etos-kerja.html
a.
Pengertian Etos Kerja
Etos
Kerja Menurut Max Weber Adalah sikap dari masyarakat terhadap makna kerja
sebagai pendorong keberhasilan usaha dan pembangunan. Etos Kerja Merupakan
Fenomena sosiologi yang Exsitensinya terbentuk oleh hubungan produktif yang
timbul sebagai akibat dari Struktur ekonomi yang ada dalam masyrakat[1].
etos kerja menyangkut potensi dan kondisi manusia dengan menghadapi atau
melakukan interaksi dengan lingkungan tersebut. Oleh sebab itu etos kerja
adalah bagian dari tolak ukur sebuah keberhasilan dalam bidang apa pun juga.
Semakin tinggi etos kerja maka semakin dekat manusia untuk memperoleh apa yang
dicita-citakannya.
Manusia
adalah mahluk kerja yang ada persamaanya dengan hewan juga, bekerja dengan cara
sendiri. Tetapi tentu lain dalam caranya. Hewan ekerja semata berdasarkan
naluriah, tidak ada etos, kode etik atau permintaan akal. Tetapi manusia
memilikinya harus punya etos dan pendayagunaan akal. Untuk meringankan beban
tenaga kerja yang terbatas maupun meraih prestasi yang sehebat mungkin.
Bilamana manusia bekerja tanpa etos,
tanpa moral dan akhlak maka gaya kerja manusia meniru hewan, turun tingkat
kerendahan. Demikian juga bilamana manusia bekerja tanpa menggunakan akal, maka
hasil kerjanya tidak akan memperoleh kemajuan apa-apa[2].
Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap,
kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Etos dibentuk oleh
berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari
kata etos ini, dikenal pula kata etika,
etiket, yang hampir mendekati
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dijelaskan bahwa etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan
masyarakatat. Sedangkan kerja adalah semangat yang menjadi ciri khas dan
keyakinan seseorang atau suatu kelompok.[3]
Etos kerja adalah motor penggerak produktifitas, dari berbagai seminar dan
lokal karyanya selalu ditampilkan bahwa etos kerja bangsa Indonesia masih
rendah jika dibandingkan dengan bangsa lain, hal ini tentu terlihat dari begitu
melimpahnya sumber daya alam Indonesia, namun sampai sekarang masih belum bebas dari jeratan utang terhadap
bangsa-bangsa yang sebenarnya jika dilihat dari sumber daya alam, mereka
dibawah Indonesia. Hal itu Tentu saja kurang mendukung upaya pembangunan
ekonomi dan sumber daya manusia. Etos Kerja adalah masalah yang komplek dan
mengandung banyak aspek, baik ekonomi sosial, maupun budaya. Oleh karena itu,
peningkatannya perlu ditangani secara terpadu dan komperhensif bahkan
diperlukan adanya dukungan dari pemerintah.
Menurut Mochtar Bukhori, bahawa etos
berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti “ciri sifat” atau istiadat”,
atau juga “ kecenderungan moral, pandangan hidup” yang dimiliki oleh seseorang,
atau golongan atau suatu bangsa.[4]
Jadi etos kerja merupakan sebuah kebiasaan seseorang untuk merubah dirinya dari
masa lalu yang kurang baik menjadi lebih baik dimsa yang akan datang.
Soerjono
Soekanto mengartikan etos antara lain: a). Nilai-nilai, dan ide-ide dari suatu
kebudayaan, dan b). Karakter umum suatu kebudayaan. Adapun kerja merupakan
suatu kegiatan atau aktivitas yang memiliki tujuan dan usaha yang dilakukan
guna membuat aktivitas tersebut bermanfaat. Pengertian kerja biasanya
berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk memperoleh penghasilan, baik materi
maupun non materi.[5] Dalam
etos ada nilai dan ide, sedangkan dalam kerja terdapat tujuan dan usaha, dengan
demikian tidak akan dikatakan etos kerja jika hanya memiliki ide tanpa memiliki
usaha begitu pula sebaliknya. Jadi jika seseorng memiliki ide dan ide tersebut
memiliki tujuan yang jelas dan diusahakan dengan baik maka itu akan memiliki
nilai.
Menurut Pandji Anoraga, etos kerja
adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau suatu ummat terhadap kerja.
Kalau pandangan dan sikap itu melihat bekerja sebagai suatu hal yang luhur
untuk eksitensi manusia sebagai etos kerja itu akan tinggi. Sebaliknya kalau melihat
kerja sebagai suatu hal yang tak berarti untuk kehidupan manusia. Apalagi kalu
sama sekali tidak ada pandangan dan sikap terhadap kerja. Oleh sebab itu untuk
menimbulkan pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai sesuatu yang
luhur, diperlukan dorongan atau motivasi.[6]
Pada setiap manusia niscaya melekat
etos kerja(work ethies), yaitu sikap
strategik terhadap diri dan lingkungannya. Sikap strategik ini merupakan
refleksi dari kebutuhan manusia, yaitu pada dasarnya merupakan bagian dari
sistem integral dari sistem nilai budaya sebagai keseluruhan cara hidupnya. [7]
dengan demikian bahwa etos kerja sering terbentuk oleh sebuah dorongan hidup,
maka semakin terdesak maka manusia akan muncul dari dorongan jiwanya untuk
bekerja.
Etos Kerja adalah refleksi dari sikap hidup
yang mendasar dalam menghadapi kerja. Sebagai sikap hidup yang mendasar, maka
etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang
berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden. Nilai-nilai
transenden itu akan menjadi dasar bagi pengembangan spiritualitas, yang sangat
diperlukan sebagai kekuatan yang membentuk suatu kepribadian, yang menentukan
kualitas eksistensial dalam hidupnya.[8] Jadi etos kerja merupakan cerminan sebuah
keberhasilan seseorang, meski diakui
keberhasilan yang dicapai tentu adanya ketentuan Allah Yang Maha Kuasa, akan
tetapi etos kerja bisa dijadikan cerminan keberhasilan seseorang. Dengan
demikian bisa disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki etos kerja tinggi, maka
orang tersebut cerminan orang yang berhasil.
b.
Makna Etos Kerja
Sedangkan
makna kerja terkandung 3 aspek yang harus terpenuhi yaitu:
1. Bahwa aktivitasnya dilakukan karena ada
dorongan tanggung jawab (motivasi)
2. Bahwa apa yang dia lakukan tersebut
dilakukan karena kesenjangan, sesatu yang direncanakan, karena terkandung
didalamnya suatu gabungan antara rasa dan rasio.
3. Bahwa yang dia lakukan itu, dikarenakan
adanya sesuatu arah dan tujuan yangaa luhur (aim,
goal) yang secara dinamis memberikan makna bagi dirinya, bukan hanya sekedar
kepuasan biologis, tetapi adalah sebuah kegilaan untuk mewujudkan apa yang
diinginkan agar dirinya mempunyai arti.
c.
Konsep etos kerja dalam Islam.
1.
Kecanduan terhadap waktu
Salah
satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami
dan merasakan betapa berharganya waktu. Satu detik berlalu tidak mungkin dia
kembali. Waktu merupakan deposito paling berharga yang dianugrahkan oleh Allah
SWT secara gratis dan merata kepada setiap orang. Apakah dia orang kaya atau
orang miskin, penjahat atau orang alim, akan memperoleh jatah deposito waktu
yang sama, yaitu 24 jam atau 1.440 menit atau sama dengan 86.400 detik setiap
hari. Tergantung kepada masing-masing manusia bagaimana dia memanfaatkan
deposito tersebut. Waktu merupakan sebuah glas kosong tergantung kita
mengisinya. Waktu bagaikan sebuah kanvas, terserah anda mau melukis gambar
seperti apa![9]. Allah berfirman.
وَٱلۡعَصۡرِ
١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ
ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran (Q.S Al-Ashr:1-3)
Waktu
adalah kekuatan. Mereka yang mengabaikan waktu berarti menjadi budak kelemahan.
Bila John F. Kenedy berkata, “The full of
your powers along lines of excellence” memanfaatkan seluruh kekuatan anda
sedang menuju puncak kehidupan. Hal ini sebagaimana Firman-Nya. (surat
al-ashr:1-3). Para ulama sepakat menerjemaahkan Wal-‘ashri dengan wawu sebagai
sumpah atau demi. Artinya menunjukan kesungguhan yang luar biasa dari ayat
tersebut. Setiap pribadi muslim diingatkan agar pada setiap sore hari seluruh
pekerjaan telah selesai. segala ugas tidak ada lagi yang tertunda (No pending or delay job) karena ashr berarti memeras sesuatu sehingga
tidak ada laigi air yang menetes. Semua pekerjaan telah tuntas, untuk kemusian
dilanjutkan dengan tugas yang lainnya.
Benyamin
Franklin berkata, “Dost thou love life?
Then do not squander timefor that is the stuff life is made of, apakah anda mencintai kehidupan? Maka,
janganlah memboroskan waktu sebab waktu merupakan bahan pembentuk kehidupan”.
Sadar untuk tidak memboroskan waktu, setiap pribadi muslim yang memiliki etos
kerja tinggi akan segera menyusun tujuan, membuat erencanaan kerja, dan
kemudian melakukan evaluasi atas hasil kerjanya. Dia memiliki oto yang keras:
bekerjalah dengan rencana dan kemudian kerjakanlah rencanamu (plan your work and work your plan). [10]
2.
Memiliki Moralitas yang bersih (Ikhlas)
Salah
satu moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja islami itu adalah nilai
keikhlasan. Ikhlas yang terambil dari bahasa Arab mempunyai arti: bersih,
murni, (tidak terkontaminasi), kata ikhlas dapat disejajarkan dengan sincere (bahasa latin sincerus: pure) yang berarti suasana
atau ungkapan tentang apa yang benar yang keluar dari hati nuraninya yang
paling dalam (based on what is truly and
deeply felt, free from dissimulation). [11]
3.
Kecanduan Kejujuran (Jujur terhadap dirisendiri)
Budaya
kerja Islami sangat mendorong untuk melahirkan seorang yang propesional,
seorang yang propesional sekalikus memiliki integritas yang tinggi (dari bahasa
latin: integer, incorruptibility, firm
adherence to a code of especially moral or artistic values) dalam hal ini,
Stephen R. Covery membedakan antara kejujuran dan integritas, “Honesty is telling the truth, in other
word, confurming our words to reality.
Integrity is confurming to our words, in other words, keeping promises
and fulfilling expectations,[12]
Allah berfirman.
۞فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن كَذَبَ عَلَى ٱللَّهِ وَكَذَّبَ
بِٱلصِّدۡقِ إِذۡ جَآءَهُۥٓۚ أَلَيۡسَ فِي جَهَنَّمَ مَثۡوٗى لِّلۡكَٰفِرِينَ ٣٢
وَٱلَّذِي جَآءَ بِٱلصِّدۡقِ وَصَدَّقَ بِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ
٣٣ لَهُم مَّا يَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمۡۚ ذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٣٤
Maka
siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah
dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam
tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir. Dan orang yang membawa
kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang
bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka.
Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. (Q.S
Az-Zumar: 32-34)
4.
Memiliki komitmen (Aqidah, Aqid, I’tiqad)
Yang
dimaksudkan dengan commitmen (dari
bahasa latin: committere, to connect, entrust. The state of being obligated or emotionally impelled) adalah
keyakinan yang mengikat aqidah sedemikian
kukuhnya sehingga membelegu seuruh hati nuraninya dan kemudian menggerakan
perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (i’tiqad).
Daniel Goldman, penulis buku Working with Emotional Intelegence, melaporkan
hasil penelitian “orang yang berkomitmen adalah para warga perusahaan teladan.
Mereka bersedia menempuh perjalanan lebih panjang. Seperti kerikil yang
dilontarkan ke tengah kolam, karyawan yang berkomitmen tersebut menyebarkan
riak-riak perasaan kebahagiaan keseluruh lingkungan perusahaan. Komitmennya
yang sangat tinggi memungkinkan dirinya berjuang keras menghadapi tantangan dan
tekanan yang bagi orang yang tidak memiliki komitmen dirasakan sebagai beban
berat dan menimbulkan stres. Goldman mengidentifikasikan ciri-ciri orang-orang
yang berkomitmen antara lain sebagai berikut.
a.
Siap
berkorban demi pemenuhan sasaran perusahaan yang lebih penting,.
b.
Merasakan
dorongan semangat dalam misi yang lebih besar.,
c. Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam
pengambilan keputusan dan
penjabaran
pilihan-pilihan.
Prof.
Cursis Verschoor membuktikan bahwa perusahaan yang memiliki komitmen terhadap
nilai-nilai moral lebih berhasil secara finansaial dibandngkan perusahaan yang
tidak memiliki komitmen moral “ that
companies with a defined corporate comitment to etical prinsiples do better
financially than companies that don’t
make ethies a key component” Dalam
komitmen tergantung sebuah tekad, keyakinan yang melahirkan bentuk vitalitas
yang penuh gairah. Mereka yang memiliki komitmen tidak mengenal kata menyerah.
Mereka hanya akan berhenti menapakai cita-citanya, jalannya yang lurus, bila
langit sudah runtuh, komitmen adalah sebuah soal tindakan, kebiasaan. Komitmen
bukan komat, kamit, kemot dan kumat komitmen adaah soal kesungguhan dan
kesinambungan, bukan Ata (anget-anget tai ayam).[13]
5.
Istiqamah, kuat pendirian
Pribadi
muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap konsisten, dari bahasa
K.H. Toto Tasmara, Membudayakan Etos
Kerja Islam,latin consistere: harmony
of conduct or practice with profession: ability to be asserted toghether
without contradiction. Yaitu kemampuan untuk bersikap taat asas, pantang
menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus
berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu mengendalikan
diri dan mengelola emosinya secara efektif. tetap teguh pada komitmen, positif
dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan situasi yang menekam. Sikap konsisten
telah melahirkan kepercayaan diri yang kuat dan memiliki integritas serta mampu
mengelola stres dengan tetap penuh gairah.[14]
6.
Disiplin
Erat
kaitannya dengan konsisten adalah sikap disiplin (latin: disciple, discipulus) yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri
dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam situasai yang sangat menekan (calm controlled bihavior: the ability to
behave in a controlled and clm way even in a difficult situation).
Pribadi
yang disiplin sangat berhati-hati dalam mengelola pekerjaan serta penuh
tanggung jawab memenuhu kewajibannya. Mata hati danfesinya terarah pada hasil
yang akan diraih (achievements)
sehingga mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang. Mereka
punmemupnyai daya adaptabilitas atau keluesan untuk menerima inovasi atau
gagasan baru. Daya adaptabilitasnya yang sangat luwes dalam cara dirinya
menangani berbagai perubahan yang menekan. Karena sikapnya yang konsisten itu
pula, mereka tidak tertutup terhadap gagasan-gagasan baru yang bersifat
inivatif.
Disiplin
adalah masalah kebiasaan. Setiap tindakan yang berulang pada waktu dan tempat
yang sama. Kebiasaan positif yang harus dipupuk dan terus ditingkatkan dari
waktu ke waktu. Disiplin yang sejati tidak dibentuk dalam waktu satu dua tahun,
tetapi merupakan bentukan kebiasaan sejak kita keci, kemudian perilaku tersebut
dipertahankan pada waktu remaja dan dihayati maknanya di waktu dewasa dan
dipetik hasilnya.[15]
7.
Konsekwen dan berani menghadapi tantangan (Challenge)
Ciri
lain dari pribadi muslim yang memiliki budaya kerja adalah keberaniannya
menerima konsekuensi dari keputusannya. Bagi mereka, hidup adalah pilihan (life is a choice) dan setiap pilihan
merupakan tanggung jawab pribadinya. Mereka tidak mungkin menyalahkan pihak
manapun karena pada akhirnya semua pilihan ditetapkan oleh dirinya sendiri.
Rasa tanggung jawabnya mendorong prilakunya ang bergerak dinamis, seakan-akan
dalam dadanya ada “nyala api”, sebuah motivasi yang kuat unntuk mencapai tujuan
dan menjaga apa yang telah menjadi keputusan atau pilihannya. Orang yang
konsekwen mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian dan mengelola
emosinya menjadi daya penggerak ositif untuk tetap semangat menapaki keyakinannya.[16]
Konsekwen dan berani menghadapi tantangan mesti dimiliki oleh setiap muslim
baik dalam urusan duniawi maupun urusan akherat.
8.
Memiliki sikap percaya diri
Pribadi
muslim yang percaya diri tampil bagaikan lampu yang benderang, memancarkan raut wajah yang cerah dan berkharsma. Orang
yang berada di sekitarnya merasa tercerahkan, optimis, tentram, dan mut’mainah. Penelitian Boyatzis membuktikan bahwa para
penyelia, menejer dan eksekutif yang percaya diri lebih berprestasi dari orang
yang biasa-biasa aja. Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan tegas
dalam bersikap, berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus membawa
konsekuensi berupa tantangan atau penolakan. Dia bukan manusia kardus yang
mudah rapuh karena terkena air. Orang yang percaya diri, tangkas mengambl
keputsan tanpa tampak arogan atau defensif dan mereka tangguh mempertahankan
pendiriannya. Orang yang percaya diri telah memenangkan setengah dari
permainan. Adapun orang yargu-ragu, dia telah kalah sebelum pertandingan.[17]
9.
Kreatif
Pribadi
muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau gagasan baru dan asli (new on original: using or sowing use of the
imagination to create new ideas or things) sehingga diharapkan hasil inerja
dapat dilaksanakan secara efisien, tetapi efektif. mereka yang beragama Islam
sangat memahami ayat pertama yang diterima Rasulullah saw., yaitu iqra’ yang berarti tidak hanya dalam
pengertian membaca, tetapi juga mengumpulkan dan merangkum data dalam satu
arti. Seorang yang kretaif pun bekerja dengan informasi, data, dan mengolahnya
sedemikian rupa sehingga memberikan hasil atau manfaat yang besar. [18]
10.
Bertanggung Jawab
Tanggung
Jawab = menanggung dan memberi jawab, sebagaimana di dalam bahasa Inggris, kina
mengenal responsibility = able to response. Dengan demikian
pengertian takwa yang kita tafsirkan sebagai tindakan bertanggung jawab (yang
ternyata lebih mendalam dari responsibility) dapat didefinisikan sebagai sikap
dan tindakan seseorang dalam menerima sesuatu sebagai amanah; dengan penuh rasa
cinta, ia ingin menunaikannya dalam bentuk pilihan-pilihan yang melahirkan amal
prestatif.[19]
11.
Bahagia Karena Melayani
Melayani
atau menolong seseorang merupakan bentuk kesadaran dan kepeduliannya terhadap
nilai kemanusiaan. Memberi pelayanan dan pertolongan merupakan investasi yang
kelak akan dipetk keuntungannya, tidak hanya di akhirat, tetapi di duniapun
mereka sudah merasakannya. Lihatlah teladan yang contohkan Rasulullah saw.!
Betapa besar perhatian besar terhadap makna pelayanan dan betapa besar
perhatian beliau terhadap manusia, bahkan makhluk lainnya. Dimulyakannya tamu
yang datang kepadanya. Bila berjalan bersama orang yang lemah, beliau
mengiringkannya dibelakang seraya mendoakannya. Beberapa riwayat sungguh
menggetarkan jiwa kita dan tunduklah hati menahan rasa malu dihadapan keagungan
akhlak Rasulullah. [20]
12.
Memiliki Harga Diri
Aparat
yang profesional dan erakhlak akan berpikir dalam format tiga dimensi, yaitu
konsep diri, citra diri, dan harga diri. Konsep diri merupakan rujukan utama
bagi hidup seseorang. Sebagaimana asal kata konsep (bahasa lain: concpere ‘gambaran’ atau ‘kesan’), para
aparat pemerintah yang profesional dan berakhlak itu memiliki konsep diri yang
jelas, memiliki nilai dan arah bertindak. Adapun yang dimaksudkan dengan citra
diri (imago, image, kesan) adalah
penilaian atas dirinya sendiri, sejauh mana perasaan terhadap dirinya sendiri,
bagaimana penilaian dirinya dihadahapan orang lain, peran dan esan apa yang
ingin dia ciptakan atau dia harpapkan dari orang lain. Forman berpikir yang
ketiga adalah harga diri (dignity, self
esteem), yaitu penilaian menyeluruh mengenai diri sendiri, bagaimana dia
menyukai pribadinya, harga diri memengaruhi kreatifitasnya, dan bahkan apakah
ia akan menjadi seorang pemimpin atau pengikut. Sikapnya terhadap dirinyanya
sendiri mempunyai pengaruh langsung terhadap bagaimana ia menghayati setiap
bagian hidupnya. Harga dirinya menjadi berbinar ketika dia ingin menyebarkan
nilai manfaat. Hidupnya penuh dengan gairah untuk dijadikan manusia yang
dirindukan karena dirinya identik dengan sosok manusia yang senantiasa
memberikan pelayanan kepada orang lain.[21]
13. Memiliki
Jiwa Kepemimpinan (Leadership)
Peribadi
muslim yang memiliki etos kerja mempunyai pandangan kedepan. Gagasan pikirannya
melampaui zamannya sehingga mereka pantas disebut sebagai pemimpin yang memiliki pandangan atau wawasan
kedepan (visionary Leadership). Pemimpin
seperti ini akan tampak dari nilai (value)
yang diyakininya. Mereka memiliki daya vitalitas yang sangat kuat, menghargai
orang lain, dan terbuka terhadap gagasan bahkan kritik. Gaya kepemimpinan
seperti ini merupakan salah satu gaya yang diperlihatkan oleh Rasulullah saw.,
yaitu memiliki prinsip-prinsip serta wawasan kedepan (future outlook), bahkan gagasan pemikiran beliau jauh melampaui
zamannya. Kepemiminan Rasulullah ddasarkan pada prinsip musawarah, terbuka
terhadap gagasan orang lain atau anak buahnya untuk mewujudkan visi atau
tujuannya. Beliau mampu myakinkan orang lain dan gagasannya menjadi inpirasi
para pengikutnya. Yang paling dominan pada diri kepemimpinan Rasulullah adalah
bentuk kepemimpinan dan keteladanan, uswatun
hasanah (Leadership by example).[22]
14.
Berorientasi ke Masa Depan
Seorang
pribadi muslim yang memiliki eos kerja tidak akan berkata, “ah, bagaimana
nanti,” tetapi dia akan berkata, “nanti bagaimana?” dia tidak mau berspekulasi
dengan masa depan dirinya. Dia harus menetapkan sesuatu yang jelas dan karnanya
seluruh tindakannya diarahkan kepada tujuan yang telah dia tetapkan. Seperti
ilmu tanamna: siapa yang menanam dia yang menuai. Begitulah cara berpikir
seorang pribadi muslim. Dia harus menanam sesuatu yang sudah dia rencanakan
kapan dan apa hasil yang akan dia proleh dari upayanya menabur benih tersebut.
Walaupun demikian, dia tetap waspada bila terjadi sesuatu yang mungkin terjadi
diluar perkiraannya. Karena itu, dia selalu berorientasi pada dua pernyataan
yang sangat asasi: way dan what if. Iaya berkata way yang berarti harus mengeahui secara
pasti mengapa hal tersebut dia lakukan, apa yang ingin diharapkan dan bagaimana
cara mencapainya. What if berarti dia
waspada terhadap sesuatu yang mungkin menyimpang atau diluar kendali dirinya,
sehingga diapun mempersiapkan rencana-rencana cadangan (contingency plan) bila hal
yang tidak diharapkan itu terjadi.[23]
15.
Hidup Berhemat dan Efisien
Efisien
berarti melakukan segala sesuatu secara benar, dan akurat. Efisien berarti pula
mampu membandingkan antara besaran output
dan input. Adapun efektivitas
berkaitan dengan tujuan atau menetapkan hal yang benar. Efisien berarti
berkaitan dengan cara melaksanakan, sedangkan efektivitas berkaitan dengan arah
tujuan (effectiveness is to do the right
things:while efficiency is to do the
things right). Peter Drucker berkata doing
the right things is more importan than right.[24]
16.
Memiliki Jiwa Wiraswasta (Entrepreneurship)
Orang
yang memiliki wiraswasta adalah mereka yang selalu melihat setiap sudut
kehidupan dunia sebagai peluang. Berpikiran sangat analistis melihat segala
sesuatu dalam gambar yang besar. siap yang mengira teh botol sosro? Siapa yang
mengira bila berjualan air minum aqua menjadi laku? Semuanya di mulai dari
melihat kesempatan (iqra) dan kemudian mereka berani mencobanya.[25]
17.
Memiliki Insting Bertanding (Pastabiqul Khairat)
Memikili
insting bertanding merupakan butir darah yang sekaligus mahkota kebesaran
setiap muslim, yang sangat obsesif untuk selalu tampil meraih prestasi atau achiefements yang tinggi. Mereka sadar
bahwa harga diri atau mahkotanya berada pada kemampuannya menetapkan arah
tujuan (goal) dan kemudian bersaing dengan sehat untuk menggapai tujuannya
tersebut, sebagaimana allah berfirman (al-baqarah: 148) manamungkin dia bisa
berlomba atau bertanding apabila tidak ada gairah untuk bekerja, bergerak, dan
berjuang. Untuk itu, dia tidak akan menyerah pada kelemahan atau pengertian
nasib dalam artian sebagai seorang fatalis, hal itu sebagaimana dikatakan
william jennings bryan, “nasib bukanlah suatu kebetulan, nasib adalah sesuatu
yang hatus di capai, harus di usahakan (destiny
is not a matter of chance, it is a matter of choice, it is not athing to be
waited for, it is a thing to be achieved)[26]’
18.
Keinginan untuk Mandiri (Independent)
Keyakinan
akan nilai tauhid penghayatannya terhadap ikrar iyyaka na’budu, menyebabkan setiap pribadi muslim yang memiliki
semangat jihad sebagai etos kerjanya adalah jiwa yang merdeka. Karna
sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang
merdeka. Sedangkan jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya
sendiri, sehingga dia tidak akan mampu mengaktualisasikan aset, kemampuan, serta
potensi ilahinya yang sungguh sangat besar nilainya.[27]
19.
Belajar dan Haus Mencari Ilmu
Setiap
pribadi muslim dianjurkan untuk mampu membaca lingkungan mulai dari yang mikra
(dirinya sendiri) sampai pada yang makro (universal),
bahkan memasuki ruang yang lebih hakiki yaitu metafisik, falsafah keilmuan
dengan menempatkan dirinya pada posisi sebagai subjek yang mampu berpikir
radikal (radix iartinya akar), yaitu
mempertanakan, menyangsikan dan kemudian mengambil kesimulan untuk memperkuat
argumentasi keimanannya. Seseorang yang emiliki wawasan keilmuan tidak pernah
cepat menerima sesuatu sebagai taken for
granted karena sifat pribadinya yang kritis dan tak mau menjadi kerbau yang
jinak, yang hanya mau manut kemana hidungnya ditarik.[28]
20.
Memiliki Semangat Perantauan
Salah
satu ciri pribadi muslim yang memiliki etos kerja adalah suatu dorongan untuk
melakukan perantauan. Mereka ingin menjelajahi hamparan bumi, memiliki hikmah,
mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa budaya manusia. Jiwa perantauannya
mengantarkan dirinya untuk mampu mendiri, menyesuaikan diri, dan pandai
menyimak dan meninbang budaya orang lain. Hal ini menyebabkan dirinya
berwawasan universal, tidak terperankap dalam fanatisme sempit, apalagi
kauvinisme yang merasa bahwa hanya bangsa dan negaranya sajalah yang paling
unggul.[29]
21.
Memperhatikan Kesehatan dan Gizi
Etos
kerja pribadi muslim adalah etos yang sangat erat kaitannya dengan cara dirinya
memelihara kebugaran dan kesegaran jasmaninya. Mens sana in corpore sano, bagi seorang muslim bukanlah hanya
sebagai moto olahraga, tetapi dia bagian dari spirit atau gemuruh jiwanya,
meronta dan haus untuk berprestasi.Salah satu persyaratan untuk menjadi sehat
adalah cara dan ciri dirinya untuk memilih dan menjadikan konsumsi makanannya
yang sehat dan bergizi, sehingga dapat menunjang dinamika kehidupan dirinya
dalam mengemban amanah Allah.[30]Perintah
agar setiap pribadi muslim memperhatikan makannya dapat kita simak pada Allah berfirman.
فَلۡيَنظُرِ
ٱلۡإِنسَٰنُ إِلَىٰ طَعَامِهِۦٓ ٢٤
Maka hendaklah
manusia itu memperhatikan makanannya (QS.
Abasa : 24) Tangguh dan Pantang Menyerah
Sikap
istiqamah, kerja keras, tangguh, dan ulet akan tumbuh sebagai bagian dari
kepribadian diri manusia, seandainya manusia mampu dan gemar hidup dalam
tantangan (challenge). Kalau toh misalnya, dianggap hidup tidak ada
lagi tantangan, maka terasa betapa hidup menjadi monoton, jenuh, dan tentu saja
prestasi akan menurun menyadari hal ini, seorang muslim yang mempunyai etos
kerja berupaya untuk membuat tantangan, target, dan arah kemana mereka harus
menuju.
No pain no gain,
no free lunch for such a things, no deal no venture;
begitu para eksekutif memiliki semboyan dalam usahanya, tidak ada sesuatu yang
kita capai kecuali dengan pengorbanan yang sungguh-sungguh untuk meraihnya.
Sikap seperti ini hanya ada pada seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang
kuat, sehingga mampu menahan badai kehidupan betapapun pedihnya. Joe paterno berkata, “Di samping kebanggaan, loyalitas, disiplin,
pikir dan zikir, percaya diri merupakan kunci untuk membuka semua pintu yang
terkunci—besides pride, loyalty, discipline, heart and mind,
confidance, is the key to all the locks.”[31]
22.
Berorientasi Pada Produktivitas
Dengan
penghayatan ini, tumbuhlah sikap yang konsekuen dalam bentuk perilaku yang
selalu mengarah pada cara kerja yang efisien (hemat energi). Sikap seperti ini
merupakan modal dasar dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang
selalu berorientasi kepada nilai-nilai produktif. Dengan demikian, dia selalu
berhitung efisien, artinya selalu membuat perbandingan antara jumlah
keluaran (perfomance) dibandingkan dengan energi (waktu tenaga) yang dia keluarkan
(produktivitas: keluaran yang di hasilkan berbanding dengan masukan dalam
bentuk waktu dan energi). Demikianlah, karena setiap pribadi muslim sangat
menghayati arti waktu sebagai aset, dia tidak mungkin membiarkan waktu berlalu
tanpa arti.[32] Seorang
muslim itu seharusnya sangat menghayati makna yang di firmankan Allah, yang
dengan sangat tegas melarang sikap mubazir karena sesungguhnya kemubaziran itu
adalah perbuatan temanya setan.
23.
Memperkaya Jaringan Silaturahim
Pribadi
yang memiliki etos kerja akan menjadikan silaturahmi sebagai salah satu ruh
pengembangan dirinya. Karena bukan saja memiliki nilai ibadah yang bernilai
ukhrawi, tetapi hasilnya juga dapat dipetik di dunia. Dia akan menduniakan
nilai akhiratnya dan mengakhiratkan nilai duniawinya dengan bersilaturahmi.
Hanya manusia yang hidup dan ingin menghidupkan dirinya yang sangat peduli
dengan silaturahmi. Mereka memandang setiap pribadi manusia adalah ”fakultas
kehidupan”. Dari orang lain, dia akan belajar tentang pengalaman yang tidak
diperoleh dibangku sekolah. Orang-orang kaya akan bersilaturahmi dengan orang miskin,
sehingga dia merasakan betapa besarnya nikmat yang dia peroleh. Para eksekutif
akan bersilaturahmi ke pondok pesantren. Mereka ingin membagi ilmunya dengan
para santri tentang pengalaman nyata dunia usaha yang digelutinya, sehingga dia
memperoleh tambahan panjang umur karena jasa baiknya memberikan pencerahan
batin para santri.
James Farley mencapai
sukses besar menjadi manager kampanye Presiden Amerika Theodore Roosevelt. Ketika ditanya kunci suksesnya, dia menjawab,
“Saya memandang orang lain dengan kacamata cinta dan rasa ingin tahu. Sebab
itu, saya selalu mengingat mereka. Setidaknya ada 50 ribu nama yang saya ingat
termasuk nama kecil mereka!”.[33]
24.
Memiliki Semangat Perubahan (Spirit of Change)
Pribadi
yang memiliki etos kerja sangat sadar bahwa tidak akan ada satu makhluk pun di
muka bumi ini yang mampu mengubah dirinya kecuali dirinya sendiri! Betapa pun
hebatnya seseorang untuk memberikan motivasi, hal itu hanyalah sebuah
kesia-siaan belaka, bila pada diri orang tersebut tidak ada keinginan untuk di
motivasi, tidak ada elan api yang menyala-nyala untuk mengubah diri. Benarlah
apa yang difirmankan Allah SWT (Ar-Ra’d: 11) Ayat ini mengajak kita untuk
memainkan peran, mengubah nasib, dan menempatkan diri dalam posisi yang mulia
ataukah yang hina. Allah sangat demokratis, segalanya bergantung pada diri
kita. Hidup bergantung pada cara kita memilih atau mengambil keputusan. Anda
tidak bisa tidak kecuali harus memilih. Betapapun anda berkata, “Saya tidak
akan memilih”, sebenarnya ucapan anda itu pun telah menentukan pilihan yaitu
memilih untuk tidak memilih. Memutuskan untuk tidak mengambil keputusan. Hidup
adalah soal pilihan (life is a choice).[34]
Konsep
etos kerja dalam Islam sebagaimana yang telah dipaparkan di atas adalah sebuah
prinsip yang mesti dimiliki oleh setiap umat muslim, kenapa demikian? karena
jika konsep-konsep tersebut tidak dimiliki, maka kita akan sulit bersaing dalam
berbagai bidang. Konsep etos kerja dalam Islam sangatlah dianjurkan oleh Rasul
saw, dan telah diberikan contoh bagaimana Rasul saw, berhasil menyebarkan Agama
yang kita anut sekarang ini dengan konsep etos kerja yang begitu amat sangat
tinggi, jika rasul tidak memiliki etos kerja yang tinggi, mustahil kita akan
mengenal Islam yang jika dibandingkan dengan Agama-agama yang lain Islam
relatif termasuk Agama baru, namun
karena sang pembawa Agama Islam memiliki etos kerja yang amat sangat tinggi
yaitu Nabi besar Muhammad saw, maka Agama Islam bisa menyebar keseluruh dunia
dan bahkan pada saat sekarang Agama Islam memiliki penganut yang sangat banyak
bahkan terbanyak diantara Agama-agama yang lain.
[2]Hamzah Ya’Qub, Etos
Kerja Islami , petunjuk pekerjaan yang halal dan haram dalam Syari”at Islam, (Jakarta:
CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1992) 1
[3]Departemen Penidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi
ke III, 2002), 39
[4] Mochtar Buchori, Spektrum
problematika pendidikan di Indonesia, (Yokyakarta : PT. Tiara Wacana
Yogyakarta,1994 ), 73
[5] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis, (Jakarta: Penerbit Plus,
2012) , 95
[6] Panji Anoraga, Psikologi
kerja, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 29
[7] Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), 78
[8] Musa Asy’arie, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi
Umat, Yogyakarta: LESFI (1997), 34
[9] K.H. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2002), 73, 74
[10] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 76
[11] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 78
[12] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 82
[13] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 85-86
[14] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 86
[15] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 88
[16] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 89
[17] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 89-90
[18] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 91
[19] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 94-95
[20] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 96
[21] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 100
[22] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 102
[23] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 105, 104,
dan 105
[24] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 105-106
[25] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 109
[27] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 114
[28] Tasmara, Membudayakan
Etos Kerja Islam, 116
[29] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 120
[30] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 123
[31] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 128-127
[32] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 128-129
[33] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 132-133
[34] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 134