KONSEP DAN TEORI ETOS KERJA


KONSEP DAN TEORI ETOS KERJA
a.      Pengertian Etos Kerja
Etos Kerja Menurut Max Weber Adalah sikap dari masyarakat terhadap makna kerja sebagai pendorong keberhasilan usaha dan pembangunan. Etos Kerja Merupakan Fenomena sosiologi yang Exsitensinya terbentuk oleh hubungan produktif yang timbul sebagai akibat dari Struktur ekonomi yang ada dalam masyrakat[1]. etos kerja menyangkut potensi dan kondisi manusia dengan menghadapi atau melakukan interaksi dengan lingkungan tersebut. Oleh sebab itu etos kerja adalah bagian dari tolak ukur sebuah keberhasilan dalam bidang apa pun juga. Semakin tinggi etos kerja maka semakin dekat manusia untuk memperoleh apa yang dicita-citakannya. 
Manusia adalah mahluk kerja yang ada persamaanya dengan hewan juga, bekerja dengan cara sendiri. Tetapi tentu lain dalam caranya. Hewan ekerja semata berdasarkan naluriah, tidak ada etos, kode etik atau permintaan akal. Tetapi manusia memilikinya harus punya etos dan pendayagunaan akal. Untuk meringankan beban tenaga kerja yang terbatas maupun meraih prestasi yang sehebat mungkin.
            Bilamana manusia bekerja tanpa etos, tanpa moral dan akhlak maka gaya kerja manusia meniru hewan, turun tingkat kerendahan. Demikian juga bilamana manusia bekerja tanpa menggunakan akal, maka hasil kerjanya tidak akan memperoleh kemajuan apa-apa[2].
            Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket, yang hampir mendekati
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan masyarakatat. Sedangkan kerja adalah semangat yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok.[3] Etos kerja adalah motor penggerak produktifitas, dari berbagai seminar dan lokal karyanya selalu ditampilkan bahwa etos kerja bangsa Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan bangsa lain, hal ini tentu terlihat dari begitu melimpahnya sumber daya alam Indonesia, namun sampai sekarang masih  belum bebas dari jeratan utang terhadap bangsa-bangsa yang sebenarnya jika dilihat dari sumber daya alam, mereka dibawah Indonesia. Hal itu Tentu saja kurang mendukung upaya pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia. Etos Kerja adalah masalah yang komplek dan mengandung banyak aspek, baik ekonomi sosial, maupun budaya. Oleh karena itu, peningkatannya perlu ditangani secara terpadu dan komperhensif bahkan diperlukan adanya dukungan dari pemerintah.
            Menurut Mochtar Bukhori, bahawa etos berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti “ciri sifat” atau istiadat”, atau juga “ kecenderungan moral, pandangan hidup” yang dimiliki oleh seseorang, atau golongan atau suatu bangsa.[4] Jadi etos kerja merupakan sebuah kebiasaan seseorang untuk merubah dirinya dari masa lalu yang kurang baik menjadi lebih baik dimsa yang akan datang.
            Soerjono Soekanto mengartikan etos antara lain: a). Nilai-nilai, dan ide-ide dari suatu kebudayaan, dan b). Karakter umum suatu kebudayaan. Adapun kerja merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang memiliki tujuan dan usaha yang dilakukan guna membuat aktivitas tersebut bermanfaat. Pengertian kerja biasanya berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk memperoleh penghasilan, baik materi maupun non materi.[5] Dalam etos ada nilai dan ide, sedangkan dalam kerja terdapat tujuan dan usaha, dengan demikian tidak akan dikatakan etos kerja jika hanya memiliki ide tanpa memiliki usaha begitu pula sebaliknya. Jadi jika seseorng memiliki ide dan ide tersebut memiliki tujuan yang jelas dan diusahakan dengan baik maka itu akan memiliki nilai. 
            Menurut Pandji Anoraga, etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau suatu ummat terhadap kerja. Kalau pandangan dan sikap itu melihat bekerja sebagai suatu hal yang luhur untuk eksitensi manusia sebagai etos kerja itu akan tinggi. Sebaliknya kalau melihat kerja sebagai suatu hal yang tak berarti untuk kehidupan manusia. Apalagi kalu sama sekali tidak ada pandangan dan sikap terhadap kerja. Oleh sebab itu untuk menimbulkan pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai sesuatu yang luhur, diperlukan dorongan atau motivasi.[6]
            Pada setiap manusia niscaya melekat etos kerja(work ethies), yaitu sikap strategik terhadap diri dan lingkungannya. Sikap strategik ini merupakan refleksi dari kebutuhan manusia, yaitu pada dasarnya merupakan bagian dari sistem integral dari sistem nilai budaya sebagai keseluruhan cara hidupnya. [7] dengan demikian bahwa etos kerja sering terbentuk oleh sebuah dorongan hidup, maka semakin terdesak maka manusia akan muncul dari dorongan jiwanya untuk bekerja.
Etos Kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar dalam menghadapi kerja. Sebagai sikap hidup yang mendasar, maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden. Nilai-nilai transenden itu akan menjadi dasar bagi pengembangan spiritualitas, yang sangat diperlukan sebagai kekuatan yang membentuk suatu kepribadian, yang menentukan kualitas eksistensial dalam hidupnya.[8]  Jadi etos kerja merupakan cerminan sebuah keberhasilan seseorang, meski  diakui keberhasilan yang dicapai tentu adanya ketentuan Allah Yang Maha Kuasa, akan tetapi etos kerja bisa dijadikan cerminan keberhasilan seseorang. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki etos kerja tinggi, maka orang tersebut cerminan orang yang berhasil. 
b.      Makna Etos Kerja
Sedangkan makna kerja terkandung 3 aspek yang harus terpenuhi yaitu:
1.      Bahwa aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan tanggung jawab (motivasi)
2.      Bahwa apa yang dia lakukan tersebut dilakukan karena kesenjangan, sesatu yang direncanakan, karena terkandung didalamnya suatu gabungan antara rasa dan rasio.
3.      Bahwa yang dia lakukan itu, dikarenakan adanya sesuatu arah dan tujuan yangaa luhur (aim, goal) yang secara dinamis memberikan makna bagi dirinya, bukan hanya sekedar kepuasan biologis, tetapi adalah sebuah kegilaan untuk mewujudkan apa yang diinginkan agar dirinya mempunyai arti.
c.       Konsep etos kerja dalam Islam.
1.      Kecanduan terhadap waktu
Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami dan merasakan betapa berharganya waktu. Satu detik berlalu tidak mungkin dia kembali. Waktu merupakan deposito paling berharga yang dianugrahkan oleh Allah SWT secara gratis dan merata kepada setiap orang. Apakah dia orang kaya atau orang miskin, penjahat atau orang alim, akan memperoleh jatah deposito waktu yang sama, yaitu 24 jam atau 1.440 menit atau sama dengan 86.400 detik setiap hari. Tergantung kepada masing-masing manusia bagaimana dia memanfaatkan deposito tersebut. Waktu merupakan sebuah glas kosong tergantung kita mengisinya. Waktu bagaikan sebuah kanvas, terserah anda mau melukis gambar seperti apa![9]. Allah berfirman.
وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Q.S Al-Ashr:1-3)
Waktu adalah kekuatan. Mereka yang mengabaikan waktu berarti menjadi budak kelemahan. Bila John F. Kenedy berkata, “The full of your powers along lines of excellence” memanfaatkan seluruh kekuatan anda sedang menuju puncak kehidupan. Hal ini sebagaimana Firman-Nya. (surat al-ashr:1-3). Para ulama sepakat menerjemaahkan Wal-‘ashri dengan wawu sebagai sumpah atau demi. Artinya menunjukan kesungguhan yang luar biasa dari ayat tersebut. Setiap pribadi muslim diingatkan agar pada setiap sore hari seluruh pekerjaan telah selesai. segala ugas tidak ada lagi yang tertunda (No pending or delay job) karena ashr berarti memeras sesuatu sehingga tidak ada laigi air yang menetes. Semua pekerjaan telah tuntas, untuk kemusian dilanjutkan dengan tugas yang lainnya.
Benyamin Franklin berkata, “Dost thou love life? Then do not squander timefor that is the stuff life is made of,  apakah anda mencintai kehidupan? Maka, janganlah memboroskan waktu sebab waktu merupakan bahan pembentuk kehidupan”. Sadar untuk tidak memboroskan waktu, setiap pribadi muslim yang memiliki etos kerja tinggi akan segera menyusun tujuan, membuat erencanaan kerja, dan kemudian melakukan evaluasi atas hasil kerjanya. Dia memiliki oto yang keras: bekerjalah dengan rencana dan kemudian kerjakanlah rencanamu (plan your work and work your plan). [10]
2.      Memiliki Moralitas yang bersih (Ikhlas)
Salah satu moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja islami itu adalah nilai keikhlasan. Ikhlas yang terambil dari bahasa Arab mempunyai arti: bersih, murni, (tidak terkontaminasi), kata ikhlas dapat disejajarkan dengan sincere (bahasa latin sincerus: pure) yang berarti suasana atau ungkapan tentang apa yang benar yang keluar dari hati nuraninya yang paling dalam (based on what is truly and deeply felt, free from dissimulation). [11]
3.      Kecanduan Kejujuran (Jujur terhadap dirisendiri)
Budaya kerja Islami sangat mendorong untuk melahirkan seorang yang propesional, seorang yang propesional sekalikus memiliki integritas yang tinggi (dari bahasa latin: integer, incorruptibility, firm adherence to a code of especially moral or artistic values) dalam hal ini, Stephen R. Covery membedakan antara kejujuran dan integritas, “Honesty is telling the truth, in other word, confurming our words to reality.  Integrity is confurming to our words, in other words, keeping promises and fulfilling expectations,[12] Allah berfirman.
۞فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن كَذَبَ عَلَى ٱللَّهِ وَكَذَّبَ بِٱلصِّدۡقِ إِذۡ جَآءَهُۥٓۚ أَلَيۡسَ فِي جَهَنَّمَ مَثۡوٗى لِّلۡكَٰفِرِينَ ٣٢ وَٱلَّذِي جَآءَ بِٱلصِّدۡقِ وَصَدَّقَ بِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ٣٣ لَهُم مَّا يَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمۡۚ ذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٣٤
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir. Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. (Q.S Az-Zumar: 32-34)
4.      Memiliki komitmen (Aqidah, Aqid, I’tiqad)
Yang dimaksudkan dengan commitmen (dari bahasa latin: committere, to connect, entrust. The state of being obligated or emotionally impelled) adalah keyakinan yang mengikat aqidah sedemikian kukuhnya sehingga membelegu seuruh hati nuraninya dan kemudian menggerakan perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (i’tiqad).
            Daniel Goldman, penulis buku Working with Emotional Intelegence, melaporkan hasil penelitian “orang yang berkomitmen adalah para warga perusahaan teladan. Mereka bersedia menempuh perjalanan lebih panjang. Seperti kerikil yang dilontarkan ke tengah kolam, karyawan yang berkomitmen tersebut menyebarkan riak-riak perasaan kebahagiaan keseluruh lingkungan perusahaan. Komitmennya yang sangat tinggi memungkinkan dirinya berjuang keras menghadapi tantangan dan tekanan yang bagi orang yang tidak memiliki komitmen dirasakan sebagai beban berat dan menimbulkan stres. Goldman mengidentifikasikan ciri-ciri orang-orang yang berkomitmen antara lain sebagai berikut.
a.                   Siap berkorban demi pemenuhan sasaran perusahaan yang lebih penting,.
b.                  Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar.,
c.   Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan.
Prof. Cursis Verschoor membuktikan bahwa perusahaan yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai moral lebih berhasil secara finansaial dibandngkan perusahaan yang tidak memiliki komitmen moral “ that companies with a defined corporate comitment to etical prinsiples do better financially than  companies that don’t make ethies a key component”  Dalam komitmen tergantung sebuah tekad, keyakinan yang melahirkan bentuk vitalitas yang penuh gairah. Mereka yang memiliki komitmen tidak mengenal kata menyerah. Mereka hanya akan berhenti menapakai cita-citanya, jalannya yang lurus, bila langit sudah runtuh, komitmen adalah sebuah soal tindakan, kebiasaan. Komitmen bukan komat, kamit, kemot dan kumat komitmen adaah soal kesungguhan dan kesinambungan, bukan Ata (anget-anget tai ayam).[13]
5.      Istiqamah, kuat pendirian
Pribadi muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap konsisten, dari bahasa K.H. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam,latin consistere: harmony of conduct or practice with profession: ability to be asserted toghether without contradiction. Yaitu kemampuan untuk bersikap taat asas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif. tetap teguh pada komitmen, positif dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan situasi yang menekam. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri yang kuat dan memiliki integritas serta mampu mengelola stres dengan tetap penuh gairah.[14]
6.      Disiplin
Erat kaitannya dengan konsisten adalah sikap disiplin (latin: disciple, discipulus) yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam situasai yang sangat menekan (calm controlled bihavior: the ability to behave in a controlled and clm way even in a difficult situation).
Pribadi yang disiplin sangat berhati-hati dalam mengelola pekerjaan serta penuh tanggung jawab memenuhu kewajibannya. Mata hati danfesinya terarah pada hasil yang akan diraih (achievements) sehingga mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang. Mereka punmemupnyai daya adaptabilitas atau keluesan untuk menerima inovasi atau gagasan baru. Daya adaptabilitasnya yang sangat luwes dalam cara dirinya menangani berbagai perubahan yang menekan. Karena sikapnya yang konsisten itu pula, mereka tidak tertutup terhadap gagasan-gagasan baru yang bersifat inivatif.
Disiplin adalah masalah kebiasaan. Setiap tindakan yang berulang pada waktu dan tempat yang sama. Kebiasaan positif yang harus dipupuk dan terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Disiplin yang sejati tidak dibentuk dalam waktu satu dua tahun, tetapi merupakan bentukan kebiasaan sejak kita keci, kemudian perilaku tersebut dipertahankan pada waktu remaja dan dihayati maknanya di waktu dewasa dan dipetik hasilnya.[15]
7.      Konsekwen dan berani menghadapi tantangan (Challenge)
Ciri lain dari pribadi muslim yang memiliki budaya kerja adalah keberaniannya menerima konsekuensi dari keputusannya. Bagi mereka, hidup adalah pilihan (life is a choice) dan setiap pilihan merupakan tanggung jawab pribadinya. Mereka tidak mungkin menyalahkan pihak manapun karena pada akhirnya semua pilihan ditetapkan oleh dirinya sendiri. Rasa tanggung jawabnya mendorong prilakunya ang bergerak dinamis, seakan-akan dalam dadanya ada “nyala api”, sebuah motivasi yang kuat unntuk mencapai tujuan dan menjaga apa yang telah menjadi keputusan atau pilihannya. Orang yang konsekwen mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian dan mengelola emosinya menjadi daya penggerak ositif untuk tetap semangat menapaki keyakinannya.[16] Konsekwen dan berani menghadapi tantangan mesti dimiliki oleh setiap muslim baik dalam urusan duniawi maupun urusan akherat.
8.      Memiliki sikap percaya diri
Pribadi muslim yang percaya diri tampil bagaikan lampu yang benderang, memancarkan  raut wajah yang cerah dan berkharsma. Orang yang berada di sekitarnya merasa tercerahkan, optimis, tentram, dan mut’mainah.  Penelitian Boyatzis membuktikan bahwa para penyelia, menejer dan eksekutif yang percaya diri lebih berprestasi dari orang yang biasa-biasa aja. Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan tegas dalam bersikap, berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus membawa konsekuensi berupa tantangan atau penolakan. Dia bukan manusia kardus yang mudah rapuh karena terkena air. Orang yang percaya diri, tangkas mengambl keputsan tanpa tampak arogan atau defensif dan mereka tangguh mempertahankan pendiriannya. Orang yang percaya diri telah memenangkan setengah dari permainan. Adapun orang yargu-ragu, dia telah kalah sebelum pertandingan.[17]
9.      Kreatif
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau gagasan baru dan asli (new on original: using or sowing use of the imagination to create new ideas or things) sehingga diharapkan hasil inerja dapat dilaksanakan secara efisien, tetapi efektif. mereka yang beragama Islam sangat memahami ayat pertama yang diterima Rasulullah saw., yaitu iqra’ yang berarti tidak hanya dalam pengertian membaca, tetapi juga mengumpulkan dan merangkum data dalam satu arti. Seorang yang kretaif pun bekerja dengan informasi, data, dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga memberikan hasil atau manfaat yang besar. [18]
10.   Bertanggung Jawab
Tanggung Jawab = menanggung dan memberi jawab, sebagaimana di dalam bahasa Inggris, kina mengenal responsibility = able to response. Dengan demikian pengertian takwa yang kita tafsirkan sebagai tindakan bertanggung jawab (yang ternyata lebih mendalam dari responsibility) dapat didefinisikan sebagai sikap dan tindakan seseorang dalam menerima sesuatu sebagai amanah; dengan penuh rasa cinta, ia ingin menunaikannya dalam bentuk pilihan-pilihan yang melahirkan amal prestatif.[19]
11.  Bahagia Karena Melayani
Melayani atau menolong seseorang merupakan bentuk kesadaran dan kepeduliannya terhadap nilai kemanusiaan. Memberi pelayanan dan pertolongan merupakan investasi yang kelak akan dipetk keuntungannya, tidak hanya di akhirat, tetapi di duniapun mereka sudah merasakannya. Lihatlah teladan yang contohkan Rasulullah saw.! Betapa besar perhatian besar terhadap makna pelayanan dan betapa besar perhatian beliau terhadap manusia, bahkan makhluk lainnya. Dimulyakannya tamu yang datang kepadanya. Bila berjalan bersama orang yang lemah, beliau mengiringkannya dibelakang seraya mendoakannya. Beberapa riwayat sungguh menggetarkan jiwa kita dan tunduklah hati menahan rasa malu dihadapan keagungan akhlak Rasulullah. [20]
12.  Memiliki Harga Diri
Aparat yang profesional dan erakhlak akan berpikir dalam format tiga dimensi, yaitu konsep diri, citra diri, dan harga diri. Konsep diri merupakan rujukan utama bagi hidup seseorang. Sebagaimana asal kata konsep (bahasa lain: concpere ‘gambaran’ atau ‘kesan’), para aparat pemerintah yang profesional dan berakhlak itu memiliki konsep diri yang jelas, memiliki nilai dan arah bertindak. Adapun yang dimaksudkan dengan citra diri (imago, image, kesan) adalah penilaian atas dirinya sendiri, sejauh mana perasaan terhadap dirinya sendiri, bagaimana penilaian dirinya dihadahapan orang lain, peran dan esan apa yang ingin dia ciptakan atau dia harpapkan dari orang lain. Forman berpikir yang ketiga adalah harga diri (dignity, self esteem), yaitu penilaian menyeluruh mengenai diri sendiri, bagaimana dia menyukai pribadinya, harga diri memengaruhi kreatifitasnya, dan bahkan apakah ia akan menjadi seorang pemimpin atau pengikut. Sikapnya terhadap dirinyanya sendiri mempunyai pengaruh langsung terhadap bagaimana ia menghayati setiap bagian hidupnya. Harga dirinya menjadi berbinar ketika dia ingin menyebarkan nilai manfaat. Hidupnya penuh dengan gairah untuk dijadikan manusia yang dirindukan karena dirinya identik dengan sosok manusia yang senantiasa memberikan pelayanan kepada orang lain.[21]
13.  Memiliki Jiwa Kepemimpinan (Leadership)
Peribadi muslim yang memiliki etos kerja mempunyai pandangan kedepan. Gagasan pikirannya melampaui zamannya sehingga mereka pantas disebut sebagai  pemimpin yang memiliki pandangan atau wawasan kedepan (visionary Leadership). Pemimpin seperti ini akan tampak dari nilai (value) yang diyakininya. Mereka memiliki daya vitalitas yang sangat kuat, menghargai orang lain, dan terbuka terhadap gagasan bahkan kritik. Gaya kepemimpinan seperti ini merupakan salah satu gaya yang diperlihatkan oleh Rasulullah saw., yaitu memiliki prinsip-prinsip serta wawasan kedepan (future outlook), bahkan gagasan pemikiran beliau jauh melampaui zamannya. Kepemiminan Rasulullah ddasarkan pada prinsip musawarah, terbuka terhadap gagasan orang lain atau anak buahnya untuk mewujudkan visi atau tujuannya. Beliau mampu myakinkan orang lain dan gagasannya menjadi inpirasi para pengikutnya. Yang paling dominan pada diri kepemimpinan Rasulullah adalah bentuk kepemimpinan dan keteladanan, uswatun hasanah (Leadership by example).[22]
14.  Berorientasi ke Masa Depan
Seorang pribadi muslim yang memiliki eos kerja tidak akan berkata, “ah, bagaimana nanti,” tetapi dia akan berkata, “nanti bagaimana?” dia tidak mau berspekulasi dengan masa depan dirinya. Dia harus menetapkan sesuatu yang jelas dan karnanya seluruh tindakannya diarahkan kepada tujuan yang telah dia tetapkan. Seperti ilmu tanamna: siapa yang menanam dia yang menuai. Begitulah cara berpikir seorang pribadi muslim. Dia harus menanam sesuatu yang sudah dia rencanakan kapan dan apa hasil yang akan dia proleh dari upayanya menabur benih tersebut. Walaupun demikian, dia tetap waspada bila terjadi sesuatu yang mungkin terjadi diluar perkiraannya. Karena itu, dia selalu berorientasi pada dua pernyataan yang sangat asasi: way dan what if. Iaya berkata way yang berarti harus mengeahui secara pasti mengapa hal tersebut dia lakukan, apa yang ingin diharapkan dan bagaimana cara mencapainya. What if berarti dia waspada terhadap sesuatu yang mungkin menyimpang atau diluar kendali dirinya, sehingga diapun mempersiapkan rencana-rencana cadangan (contingency plan)  bila hal yang tidak diharapkan itu terjadi.[23]
15.  Hidup Berhemat dan Efisien
Efisien berarti melakukan segala sesuatu secara benar, dan akurat. Efisien berarti pula mampu membandingkan antara besaran output dan input. Adapun efektivitas berkaitan dengan tujuan atau menetapkan hal yang benar. Efisien berarti berkaitan dengan cara melaksanakan, sedangkan efektivitas berkaitan dengan arah tujuan (effectiveness is to do the right things:while  efficiency is to do the things right). Peter Drucker berkata doing the right things is more importan than right.[24]
16.  Memiliki Jiwa Wiraswasta (Entrepreneurship)
Orang yang memiliki wiraswasta adalah mereka yang selalu melihat setiap sudut kehidupan dunia sebagai peluang. Berpikiran sangat analistis melihat segala sesuatu dalam gambar yang besar. siap yang mengira teh botol sosro? Siapa yang mengira bila berjualan air minum aqua menjadi laku? Semuanya di mulai dari melihat kesempatan (iqra) dan kemudian mereka berani mencobanya.[25]
17.  Memiliki Insting Bertanding (Pastabiqul Khairat)
Memikili insting bertanding merupakan butir darah yang sekaligus mahkota kebesaran setiap muslim, yang sangat obsesif untuk selalu tampil meraih prestasi atau achiefements yang tinggi. Mereka sadar bahwa harga diri atau mahkotanya berada pada kemampuannya menetapkan arah tujuan (goal) dan kemudian bersaing dengan sehat untuk menggapai tujuannya tersebut, sebagaimana allah berfirman (al-baqarah: 148) manamungkin dia bisa berlomba atau bertanding apabila tidak ada gairah untuk bekerja, bergerak, dan berjuang. Untuk itu, dia tidak akan menyerah pada kelemahan atau pengertian nasib dalam artian sebagai seorang fatalis, hal itu sebagaimana dikatakan william jennings bryan, “nasib bukanlah suatu kebetulan, nasib adalah sesuatu yang hatus di capai, harus di usahakan (destiny is not a matter of chance, it is a matter of choice, it is not athing to be waited for, it is a thing to be achieved)[26]
18.  Keinginan untuk Mandiri (Independent)
Keyakinan akan nilai tauhid penghayatannya terhadap ikrar iyyaka na’budu, menyebabkan setiap pribadi muslim yang memiliki semangat jihad sebagai etos kerjanya adalah jiwa yang merdeka. Karna sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka. Sedangkan jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak akan mampu mengaktualisasikan aset, kemampuan, serta potensi ilahinya yang sungguh sangat besar nilainya.[27]
19.  Belajar dan Haus Mencari Ilmu
Setiap pribadi muslim dianjurkan untuk mampu membaca lingkungan mulai dari yang mikra (dirinya sendiri) sampai pada yang makro (universal), bahkan memasuki ruang yang lebih hakiki yaitu metafisik, falsafah keilmuan dengan menempatkan dirinya pada posisi sebagai subjek yang mampu berpikir radikal (radix iartinya akar), yaitu mempertanakan, menyangsikan dan kemudian mengambil kesimulan untuk memperkuat argumentasi keimanannya. Seseorang yang emiliki wawasan keilmuan tidak pernah cepat menerima sesuatu sebagai taken for granted karena sifat pribadinya yang kritis dan tak mau menjadi kerbau yang jinak, yang hanya mau manut kemana hidungnya ditarik.[28]
20.  Memiliki Semangat Perantauan
Salah satu ciri pribadi muslim yang memiliki etos kerja adalah suatu dorongan untuk melakukan perantauan. Mereka ingin menjelajahi hamparan bumi, memiliki hikmah, mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa budaya manusia. Jiwa perantauannya mengantarkan dirinya untuk mampu mendiri, menyesuaikan diri, dan pandai menyimak dan meninbang budaya orang lain. Hal ini menyebabkan dirinya berwawasan universal, tidak terperankap dalam fanatisme sempit, apalagi kauvinisme yang merasa bahwa hanya bangsa dan negaranya sajalah yang paling unggul.[29]
21.  Memperhatikan Kesehatan dan Gizi
Etos kerja pribadi muslim adalah etos yang sangat erat kaitannya dengan cara dirinya memelihara kebugaran dan kesegaran jasmaninya. Mens sana in corpore sano, bagi seorang muslim bukanlah hanya sebagai moto olahraga, tetapi dia bagian dari spirit atau gemuruh jiwanya, meronta dan haus untuk berprestasi.Salah satu persyaratan untuk menjadi sehat adalah cara dan ciri dirinya untuk memilih dan menjadikan konsumsi makanannya yang sehat dan bergizi, sehingga dapat menunjang dinamika kehidupan dirinya dalam mengemban amanah Allah.[30]Perintah agar setiap pribadi muslim memperhatikan makannya dapat kita simak pada Allah berfirman.
فَلۡيَنظُرِ ٱلۡإِنسَٰنُ إِلَىٰ طَعَامِهِۦٓ ٢٤
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya (QS. Abasa : 24) Tangguh dan Pantang Menyerah
Sikap istiqamah, kerja keras, tangguh, dan ulet akan tumbuh sebagai bagian dari kepribadian diri manusia, seandainya manusia mampu dan gemar hidup dalam tantangan (challenge). Kalau toh misalnya, dianggap hidup tidak ada lagi tantangan, maka terasa betapa hidup menjadi monoton, jenuh, dan tentu saja prestasi akan menurun menyadari hal ini, seorang muslim yang mempunyai etos kerja berupaya untuk membuat tantangan, target, dan arah kemana mereka harus menuju.
No pain no gain, no free lunch for such a things, no deal no venture; begitu para eksekutif memiliki semboyan dalam usahanya, tidak ada sesuatu yang kita capai kecuali dengan pengorbanan yang sungguh-sungguh untuk meraihnya. Sikap seperti ini hanya ada pada seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang kuat, sehingga mampu menahan badai kehidupan betapapun pedihnya. Joe paterno berkata,  “Di samping kebanggaan, loyalitas, disiplin, pikir dan zikir, percaya diri merupakan kunci untuk membuka semua pintu yang terkunci—besides pride, loyalty, discipline, heart and mind, confidance, is the key to all the locks.”[31]
22.  Berorientasi Pada Produktivitas
Dengan penghayatan ini, tumbuhlah sikap yang konsekuen dalam bentuk perilaku yang selalu mengarah pada cara kerja yang efisien (hemat energi). Sikap seperti ini merupakan modal dasar dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang selalu berorientasi kepada nilai-nilai produktif. Dengan demikian, dia selalu berhitung efisien, artinya selalu membuat perbandingan antara jumlah keluaran  (perfomance) dibandingkan dengan energi  (waktu tenaga) yang dia keluarkan (produktivitas: keluaran yang di hasilkan berbanding dengan masukan dalam bentuk waktu dan energi). Demikianlah, karena setiap pribadi muslim sangat menghayati arti waktu sebagai aset, dia tidak mungkin membiarkan waktu berlalu tanpa arti.[32] Seorang muslim itu seharusnya sangat menghayati makna yang di firmankan Allah, yang dengan sangat tegas melarang sikap mubazir karena sesungguhnya kemubaziran itu adalah perbuatan temanya setan.
23.  Memperkaya Jaringan Silaturahim
Pribadi yang memiliki etos kerja akan menjadikan silaturahmi sebagai salah satu ruh pengembangan dirinya. Karena bukan saja memiliki nilai ibadah yang bernilai ukhrawi, tetapi hasilnya juga dapat dipetik di dunia. Dia akan menduniakan nilai akhiratnya dan mengakhiratkan nilai duniawinya dengan bersilaturahmi. Hanya manusia yang hidup dan ingin menghidupkan dirinya yang sangat peduli dengan silaturahmi. Mereka memandang setiap pribadi manusia adalah ”fakultas kehidupan”. Dari orang lain, dia akan belajar tentang pengalaman yang tidak diperoleh dibangku sekolah. Orang-orang kaya akan bersilaturahmi dengan orang miskin, sehingga dia merasakan betapa besarnya nikmat yang dia peroleh. Para eksekutif akan bersilaturahmi ke pondok pesantren. Mereka ingin membagi ilmunya dengan para santri tentang pengalaman nyata dunia usaha yang digelutinya, sehingga dia memperoleh tambahan panjang umur karena jasa baiknya memberikan pencerahan batin para santri.
James Farley mencapai sukses besar menjadi manager kampanye Presiden Amerika Theodore Roosevelt. Ketika ditanya kunci suksesnya, dia menjawab, “Saya memandang orang lain dengan kacamata cinta dan rasa ingin tahu. Sebab itu, saya selalu mengingat mereka. Setidaknya ada 50 ribu nama yang saya ingat termasuk nama kecil mereka!”.[33]
24.  Memiliki Semangat Perubahan (Spirit of Change)
Pribadi yang memiliki etos kerja sangat sadar bahwa tidak akan ada satu makhluk pun di muka bumi ini yang mampu mengubah dirinya kecuali dirinya sendiri! Betapa pun hebatnya seseorang untuk memberikan motivasi, hal itu hanyalah sebuah kesia-siaan belaka, bila pada diri orang tersebut tidak ada keinginan untuk di motivasi, tidak ada elan api yang menyala-nyala untuk mengubah diri. Benarlah apa yang difirmankan Allah SWT (Ar-Ra’d: 11) Ayat ini mengajak kita untuk memainkan peran, mengubah nasib, dan menempatkan diri dalam posisi yang mulia ataukah yang hina. Allah sangat demokratis, segalanya bergantung pada diri kita. Hidup bergantung pada cara kita memilih atau mengambil keputusan. Anda tidak bisa tidak kecuali harus memilih. Betapapun anda berkata, “Saya tidak akan memilih”, sebenarnya ucapan anda itu pun telah menentukan pilihan yaitu memilih untuk tidak memilih. Memutuskan untuk tidak mengambil keputusan. Hidup adalah soal pilihan (life is a choice).[34]
Konsep etos kerja dalam Islam sebagaimana yang telah dipaparkan di atas adalah sebuah prinsip yang mesti dimiliki oleh setiap umat muslim, kenapa demikian? karena jika konsep-konsep tersebut tidak dimiliki, maka kita akan sulit bersaing dalam berbagai bidang. Konsep etos kerja dalam Islam sangatlah dianjurkan oleh Rasul saw, dan telah diberikan contoh bagaimana Rasul saw, berhasil menyebarkan Agama yang kita anut sekarang ini dengan konsep etos kerja yang begitu amat sangat tinggi, jika rasul tidak memiliki etos kerja yang tinggi, mustahil kita akan mengenal Islam yang jika dibandingkan dengan Agama-agama yang lain Islam relatif termasuk  Agama baru, namun karena sang pembawa Agama Islam memiliki etos kerja yang amat sangat tinggi yaitu Nabi besar Muhammad saw, maka Agama Islam bisa menyebar keseluruh dunia dan bahkan pada saat sekarang Agama Islam memiliki penganut yang sangat banyak bahkan terbanyak diantara Agama-agama yang lain.






[1]Mabyarto DKK, Etos kerja dan khesi Sosial, (Yokyakarta: Aditiya Media, 1991), 16
[2]Hamzah Ya’Qub, Etos Kerja Islami , petunjuk pekerjaan yang halal dan haram dalam Syari”at Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1992) 1
[3]Departemen Penidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke III, 2002), 39
[4] Mochtar Buchori, Spektrum problematika pendidikan di Indonesia, (Yokyakarta : PT. Tiara Wacana Yogyakarta,1994 ), 73
[5] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis, (Jakarta: Penerbit Plus, 2012) , 95
[6] Panji Anoraga, Psikologi kerja, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 29
[7] Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 78
[8] Musa Asy’arie, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: LESFI (1997), 34
[9] K.H. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 73, 74
[10] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 76
[11] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 78
[12] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 82
[13] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 85-86
[14] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 86
[15] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 88
[16] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 89
[17] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 89-90
[18] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 91
[19] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 94-95
[20] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 96
[21] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 100
[22] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 102
[23] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 105, 104, dan 105
[24] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 105-106
[25] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 109
[26] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 143
[27] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 114
[28]  Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 116
[29] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 120
[30] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam,  123
[31] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 128-127
[32] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 128-129
[33] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 132-133
[34] Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, 134

Related

EKONOMI 4149846806447247084

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item