Materi 18 : Fiqih Muamalah Tentang Kerjasama Atas Lahan Pertanian "MUZARA’AH"
https://alawialbantani.blogspot.com/2018/08/materi-18-fiqih-muamalah-tentang.html
Materi 18 : Kerjasama Atas Lahan
Pertanian
MUZARA’AH
Definisi Muzara’ah
Menurut bahasa,
al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ahyang berarti tharh
al-zur’ab (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-badzar). Makna yang
pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua ialah makna hakiki.
Sedangkan menurut
istilah:
Menurut Hanafiyah, muzara’ah ialah:
الٲرضِ
مِنَ الْخَارِجِ بِبَعْضِ الَّزرْعِ عَقدٌعَلَى
“Akad
untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.”
Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah:
الْحَبُّ
لَهُ وَبَدْفَعُ يِزَرْعِهَا يَقُوْمُ الَّذِيْ لِلْعَامِلِ ٲَرْضَهُ رَعَۃِ اْلمُزَا الصَّالِحَۃِ
اْلَٲرْضِ صَاحِبُ فَعَيَدْ اَنْ
“Pemilik
tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja
diberi bibit.”
Menurut Malikiyah, muzara’ah ialah:
الْعَقْدِالزُّرْعِ
فِى الشِّرْكَۃُ
“Bersekutu
dalam akad pertanian.”
Lebih lanjut dijelaskan
dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa muzara’ahadalah menjadikan harga
sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.
Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat
bahwa muzara’ah ialah:
الْمَالِكِ
وَالْبَذْرُمِنَ مِنْهَا مَايَخْرُجُ بِبَعْضِ
فِى الْأَرْضِ الْعَامِلِ عَمَلُ
“Pekerja
mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari
pemilik tanah."
Muzara’ah memiliki kesamaan
maksud dengan Mukhabarah. Persamaannya yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya
kepada orang lain untuk dikelola. Terdapat pula perbedaanya, yaitu pada
mukhabarah modal dari pengelola, sedangkanmuzara’ah modal dikeluarkan pemilik
tanah.
Dasar Hukum Muzara’ah
Dasar hukum yang
digunakan para ulama dalam menetapkan hukum muzara’ah adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas RA. Nabi SAW. menyatakan:
خَهُ
ٲَوْلِيَمْنَحْهَااَ فَلْيَزْرَعْهَا أَرْضٌ لَهُ كَانَتْ
مَنْ بِقَوْلِهِ بِبَعْضِ بَعْضُهُمْ يَرْفُقَ اَمْرَانَ الْمُزَارَعَۃُ وَلَكِنْ يُحَرِّمِ لَمْ اَرْضَهُفَلْيُمْسِكْ ٲَبَى فَاِنْ
“Tidak
mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian
menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya: barang siapa yang memiliki tanah
maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia
tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”
Rukun Muzara’ah
Menurut Hanafiyah,
Rukun Muzara’ah
ialah:
Ø
Akad, yaitu ijab dan qabul antara pemilik dan pekerja.
Ø
Tanah
Ø
Perbuatan pekerja
Ø
Modal
Ø
Alat-alat untuk menanam
Menurut Hanabilah,
Rukun Muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan
qabul, boleh dilakukan dengan lafazh apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan
qabul, dan bahkan muzara’ah sah dilafazhkan dengan lafazh ijarah.
Syarat Muzara’ah
- Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
- Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
Yang berkaitan dengan perolehan hasil
dari tanaman, yaitu:
- Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (prosentasenya ketika akad),
- Hasil adalah milik bersama,
- Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama,
- Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui,
- Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum.
Yang berhubungan dengan tanah yang
akan ditanami, yaitu:
- Tanah tersebut dapat ditanami,
- Tanah tersebut dapat diketahui seperti batas-batasnya.
Yang berkaitan dengan waktu, yaitu:
- Waktunya telah ditentukan,
- Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud,
- Waktu itu memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
Yang berkaitan dengan alat-alat
muzara’ah, disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik
tanah.
Berakhirnya Akad Muzara’ah
- Jangka waktu yang disepakati berakhir.
- Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, akad tersebut berakhir apabila salah seorang Aqid wafat.
- Adanya Uzur salah satu pihak, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak boleh melanjutkan akad muzara’ah itu