Materi 21 : Fiqih Muamalah Tentang Konsep Riba dan Kaitannya dengan Bank Konvensional
https://alawialbantani.blogspot.com/2018/08/materi-21-fiqih-muamalah-tentang-konsep.html
Materi 14 : Konsep Riba dan
Kaitannya dengan Bank Konvensional
A. Pengertian Dan Kedudukan Hukum Riba
Definisi Riba
Riba secara bahasa bermakna:
ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti
tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam.
Dalam transaksi simpan-pinjam
dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk
bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali
ke-sempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut.
Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh
tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan
tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan
berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor
orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut
mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi. Pengertian senada disampaikan
oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah.
B. Macam- Macam Riba
Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba
dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli.
Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan
kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
Riba terbagi menjadi empat macam;
1. Riba Nasii`ah
Riba Nasii`ah adalah tambahan yang
diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang
baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan
pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A
meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus
mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B
menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009),
maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari
total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas
keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru
karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B tambahan inilah yang
disebut dengan riba.
Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah
menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:
آلاَ
إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
“Ingatlah,
sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR Muslim).
riba nasiah atau tambahannya diberikan
karena tarlambat membayar hutang, ini dilarang dengan ketas dalam islam, kerena
dianggap sebagai menimbun kekayaan yang tidak wajar dan mendapatkan keuntungan
keuangan tanpa melakukan tindakan kebijakan. Islam membenarkan untuk melakukan
perdagangan tapi melarang riba
2. Riba Fadlal
Riba fadlal adalah riba yang diambil dari
kelebihan pertukaran barang yang sejenis.
Dalil pelarangannya adalah hadits yang
dituturkan oleh Imam Muslim.
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً
بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا
اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا
كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا
بِيَدٍ
“Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila
jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim
dari Ubadah bin Shamit ra).
3. Riba al-Yadd
Riba yang disebabkan karena penundaan
pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak
yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad
sebelum diadakan serah terima.
Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan
hadits-hadits berikut ini;
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ
“Emas
dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba
kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan
dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan
(HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
لْوَرِقُ
بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ
“Perak
dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba
kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan
dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan“.
[Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13]
4. Riba Qardl
Riba qardl adalah meminjam uang kepada
seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh
peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam
berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits
dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata,
“Suatu
ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam.
Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat
yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman
kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput kering,
gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut
adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa
peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk
apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas
pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.
Praktek-praktek riba yang sering
dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang
dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal.
Seorang Muslim wajib menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba
itu, dan berapapun kuantitas riba yang diambilnya. Seluruhnya adalah haram
dilakukan oleh seorang Muslim.
Dalam kaitan apakah riba sama
dengan bunga bank, wahbah az-Zuhaili kemudian mengatakan, “bunga bank adalah
haram hukumnya, karena bunga bank adalah riba nasi’ah. Sama saja apakah bunga
bank itu mengembang atau munumpuk. Kerena perbuatan bank adalah janji dan
janji, sesungguhnya bunga bank merupakan riba yang jelas, bunga bank haram
hukumnya karena seperti riba”
C. Pendapat Ulama Tentang Riba Dan Dampaknya
Sejak dekade 1960-an,
perbincangan mengenai larangan riba bunga bank semakin memanas saja. Setidaknya
ada dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba. Pendapat pertama
berasal dari mayoritas ulama yang mengadopsi dan intrepertasi para fuqaha
tentang riba sebagaimana yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya mengatakan,
bahwa larangan riba dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adanya
upaya eksploitasi, yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang sangat merugikan
bagi masyarakat.
Kontroversi bunga bank
konvensional masih mewarnai wacana yang hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga
yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank
pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita,
dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga,
bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat
jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.
Dalam Islam, memungut riba atau
mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam
Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya
perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem
bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut
sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bung bank termasuk ke
dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok
dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di
awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka
kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil
yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya.
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai
keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh
menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika
pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Di dalam Kitab I’aanat
al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya
dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat
orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt
dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab
al-Nihayahdituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa
zina, mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga
menyatakan hal yang sama Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan;
kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.
Imam Nawawiy di dalam Syarh
Shahih Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai
keharaman riba jahiliyyah secara global. Mohammad Ali al-Saayis di dalam
Tafsiir Ayat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba
di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis
pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua
ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’
menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan
Sunnah.
Ulama saat ini sesungguhnya telah
ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar,
simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan
terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para
pakar yang ahli ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya
ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of
Islamic Econmic,(2000). Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik
konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga telah
menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara.
Dampak dari Riba
1. Bagi jiwa manusia
hal ini akan menimbulkan perasaan
egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. Riba ini
menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih
mementingkan diri sendiri daripada orang lain.
2. Bagi masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat hal
ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. Sehingga membuat
keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan cinta persaudaraan
yang timbul akan tetapi permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta
dimasyarakat.
3. Bagi roda pergerakan ekonomi
Dampak sistem ekonomi ribawi
tersebut sangat membahayakan perekonomian.
- Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1929, 1930, 1940an, 1950an, 1970an. 1980an, 1990an, 1997 dan sampai saat ini.
- di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
- Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran.
- Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi.
- Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
D. Bank Konvensional Dan Fiqh Muamalah
Bank Konvensional
Sebagai lembaga keuangan yang berorientasi
bisnis, bank konvensional juga melakukan berbagai kegiatan, seperti menghimpun
dan menyalurkan dana masyarakat. Kegiatan perbankan yang paling pokok adalah
membeli uang dengan cara menghimpun dana dari masyarakat luas, kemudian menjual
uang yang berhasil dihimpun dengan cara menyalurkan kembali kepada masyarakat
melalui pemberian pinjaman atau kredit.
Dari kegiatan jual beli uang inilah bank
akan memperoleh keuntungan yaitu dari selisih harga beli (bunga simpanan)
dengan harga jual (bunga pinjaman). Disamping itu kegiatan bank lain nya dalam
rangka mendukung kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana adalah member jasa-
jasa alinnya.
Dalam perbankan konvensional bunga bank
dapat diartikan sebagai bals jas yang diberikan oleh bank yang berdasarkan
prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli dan menjual produknya.
Dalam kegiatan perbankan
konvensional sehari- hari, ada 2 macam bank yang diberikan kepada nasabahnya,
yaitu :
1. Bunga Simpanan
Merupakan harga beli yang harus
dibayar bank kepada nasabah pemilik simpanan. Bunga ini diberikan sebagai
rangsngan atau balas jasa, kepada nasabah yang menyimpan uangnya dibank.
Sebagai contoh jasa giro, bunga
tabungan dan bunga deposito.
2. Bunga pinjaman
Merupakan bunga yang dberikan
kepada para peminjam (deditur) atau harga jual yang harus dibayar oleh nasabah
peninjam kepada bank. bagi bank bunga peminjam harga jual dan contoh bunga jual
adalah bunga kredit.
Kedua macam bunga ini merupakan komponen
utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank konvensional, untuk melangsungkan
kegiatan dalam bertransaksi keuangan nya sehari- hari.
Fiqh Muamalah (Bank Syariah)
Permasalahan bagi kebanyakan orang
terhadap kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan jika dihubungkan dengan
ketentuan-ketentuan hukum Islam bukanlah dari fungsi lembaga tersebut,
melainkan dari konsep usahanya serta tekhnik operasional usahanya yang
menyangkut jenis-jenis perjanjian yang dipergunakan.
Bank mempunyai peranan sangat penting
dalam pembangunan nasional karena fungsi Bank adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dan memberikan pembiayaan dan
jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
pengoperasiannya disesuaikan berdasarkan prinsip-prinsip syariah islam.
Bank syariah dalam penyaluran dana kepada
masyarakat dengan dua jenis, yaitu pembiayaan dengan sistem bagi hasil dan
pembiayaan dengan sistem jual-beli dengan pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan
murabahah sangat bermanfaat untuk nasabah disaat kekurangan dana dan
membutuhkan barang, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya atau
peningkatan usaha. Maka nasabah dapat meminta bank untuk memenuhi kebutuhan
dengan pembayaran yang dilakukan secara cicilan dalam kurun waktu yang telah
disepakati.
1. Akad dalam bank syariah
Setiap akad dalam perbankan
syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya,
harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut :
a. Rukun
Seperti, penjualan, pembeli,
barang, harga dan akad/ijab-qabul.
b. Syarat
Seperti syarat berikut.
- Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
- Harga barang dan jasa harus jelas
- Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
- Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaski short sale dalam pasa modal.
Fiqih muamalat Islam membedakan
antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada
pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad
hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk
melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul
kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum
ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang
berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih
merupakan sanksi moral.
Di lain pihak, akad mengikat
kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terkait
untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati
terlebih dahulu.
Dalam akad, terms and
condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudahwell-defined).
Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terkait dalam kontrak itu tidak
dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/ mereka menerima sanksi seperti yang sudah
disepakati dalam akad.