Sejarah Praktek Perbankan Syariah dari Zaman Rasulullah, Para Sahabat, Dinasti Umayah, Dinasti Abasiyah dan Praktek Perbankan di Indonesia
https://alawialbantani.blogspot.com/2018/08/sejarah-praktek-perbankan-syariah-dari.html
Praktik
Perbankan di Zaman Rasulullah SAW dan Sahabat RA.
Di dalam sejarah perekonomian umat Islam, kegiatan muamalah
seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan
untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, yang dilakukan dengan
akad-akad yang sesuai syariah telah lazim dilakukan umat Islam sejak zaman
Rasulullah Saw. Rasulullah Saw, yang dikenal dengan julukan Al-amin, dipercaya
oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir
sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin abi Thalib r.a untuk
mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya.
Seorang sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin al-Awwam r.a.,
memilih tidak menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk
pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni yang
pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, Ia memiliki hak untuk
memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk
mengembalikannya secara utuh. Dalam riwayat lain disebutkan, Ibnu Abbas r.a.
juga pernah melakukan pengiriman barang ke Kuffah dan Abdullah bin Zubair r.a.
melakukan pengiriman uang dari Mekkah ke adiknya Mis'ab bin Zubair r.a. yang
tinggal di Irak.
Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan
meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak
berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan, dalam masa pemerintahannya,
Khalifah Umar bin Khattab r.a. menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada
mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini, merekamengambil gandum di Baitul
mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Di samping itu, pemberian modal untuk
modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, muzara'ah, musaqah, telah
dikenal sejak awal diantara kamu Muhajirin dan kaum Anshar.
Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu yang
telah melakukan fungsi perbankan di zaman Rasulullah Saw., meskipun individu
tersebut tidak melakukan seluruh fungsi perbankan. Namun fungsi-fungsi utama
perbankan modern, yaitu menerima simpanan uang (deposit), menyaluran dana, dan
melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan umat Islam.
Praktik
Perbankan di Zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah
Di zaman Rasulullah Saw. Fungsi-fungsi perbankan biasanya
dilakukan oleh satu orang yang hanya melakukan satu fungsi. Baru kemudian, di
zaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu.
fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu dalam sejarah islam
telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika
beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus
untuk membedakan satu mata uang dengan mata uang lainnya. Hal ini diperlukan
karena setiap mata uang memiliki kandungan logam mulia yang berlainan sehingga
memiliki nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus itu
disebut naqid, sarraf, dan zihbiz.
Aktivitas ekonomi ini merupakan cikal bakal dari apa yang kita kenal
sekarang sebagai penukaran uang (money changer).
Istilah Jihbiz itu sendiri mulai dikenal sejak zaman
Khalifah Muawiyah (661-680) yang sebenarnnya dipinjam dari bahasa Persia,
kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintah Sasanid, istilah ini dipergunakan
untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.
Peranan Bankir pada zaman Abbasiyah mulai populer pada
pemerintahan khalifah Muqtadir (908-932 M).
Pada saat itu hampir setiap wazir (menteri) mempunyai banker sendiri.
Misalnya Ibnu Furat menunjuk Harun Ibnu Imran dan Joseph Ibnu Wahab menunjuk
Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang banker
sekaligus; dua orang beragama Yahudi dan satu orang Kristen.
Kemajuan praktik perbankan pada zaman itu ditandai dengan
beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan
bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan
mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu
negeri ke negeri lainnya tanpa memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer yang telah mendirikan
kantor-kantor di banyak negeri telah memuaai penggunaan cek sebagai media
transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah Perbankan Islam,
adalah Syaf al Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagi orang pertama yang
menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Allepo
(Spanyol).
Praktik
Perbankan di Eropa
Dalam perkembangan berikutnya, kegiatan yang dilakukan oleh
perorangan (jihbiz) kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini dikenal
dengan Bank. Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktik perbankan, persoalan
mulai timbul karena transaksi yang dilakukan mulai menggunakan instrument bunga
yang dalam pandangan fiqih adalah riba, dan oleh karena itu hukumnya Haram.
Transaksi berbasis bunga ini semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun
1545 membolehkan bunga (interest) meskipun tetap mengharamkan riba (usury)
dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda (excessive). Setelah wafat
Raja Henry VIII digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga
uang. Hal ini tidak berlangsung lama.
Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali memperbolehkan
praktik pembungaan uang.
Ketika mulai bangkit dari keterbelakangannya dan mengalami
renaissance, bangsa Eropa melakukan
penjelajahan dan penjajahan ke seluruh penjuru dunia, sehingga aktivitas
perekonomian dunia didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Pada saat yang sama,
peradaban Muslim mengalami kemerosotan dan Negara-negara muslim satu-persatu
jatuh ke dalam cengkraman penjajahan bangsa-bangsa eroopa. Akibatnya, institusi-institusi
perekonomian umat Islam runtuh dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa
Eropa.
Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman modern ini. Oleh
karena itu, institusi perbankan yang ada sekarang di mayoritas negara-negara
muslim merupakan warisan dari bangsa Eropa, yang notabene berbasis bunga.
Perbankan
Syariah Modern
Dalam keuangan Islam, bunga uang secara fiqih dikategorikan
sebagai riba yang berarti haram. Di
sejumlah Negara Islam dan berpenduduk mayoritas Muslim mulai timbul usaha-usaha
untuk mendirikan lembaga Bank Alternatif non-ribawi. Melihat gagasannya yang
ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula
banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul karena anggapan bahwa sistem
perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga
timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada
tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi
hasil. Berkenaan dengan ini dapat
disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946),
Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai
gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan,
yakni Abul A'la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).
Usaha modern pertama untuk mendirikan Bank tanpa bunga
dimulai di Pakistan yang mengelola dana haji pada pertengahan tahun 1940-an,
tetapi usaha ini tidak sukses.
Perkembangan berikutnya usaha pendirian bank syariah yang paling sukses
dan inovatif di masa modern ini
dilakukan di Mesir pada tahun 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local
Saving Bank. Bank ini diterima dengan baik oleh kalangan petani dan masyarakat
pedesaan. Namun sayang, karena terjadi kekacauan politik di Mesir, Mit Ghamr
mulai mengalami kemunduran, sehingga operasionalnya diambil alih oleh National
Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir pada tahun 1967. Pengambilalihan ini
menyebabkan prinsip nir-bunga pada Mit Ghamr mulai ditinggalkan, sehingga bank
ini kembali beroperasi berdasarkan bunga. Pada 1971, akhirnya konsep nir-bunga
kembali dibankitkan pada masa rezim Sadat melalui pendirian Naseer Social Bank.
Tujuan Bank ini adalah untuk menjalankan kembali bisnis yang berdasarkan konsep
yang telah dipraktikan oleh Mit Ghamr.
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama' sepakat bahwa bunga
bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama'
terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei
1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas
berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk
bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa
pengharaman bunga bank.
Abu zahrah, Abu 'ala al-Maududi Abdullah al-'Arabi dan Yusuf
Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang
oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang
memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan
menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi
secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi,
menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di
bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka
agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.
Kesuksesan Mit Ghamr ini memberikan inspirasi bagi umat
Muslim di seluruh penjuru dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa
prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern. Ketika OKI akhirnya terbentuk, serangkaian konferensi
Internasional mulai dilangsungkan, di mana salah satu agenda ekonominya adalah
pendirian Bank Islam.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic
Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai
negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank
di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait
Finance House.
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama
kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara
Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970,
Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam
Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for
Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation
of Islamic Banks). Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah
bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem
kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.Akhirnya terbentuklah
Islamic Development Bank (IDB) pada bulan Oktober 1975 yang beranggotakan 22
negera Islam pendiri. Bank ini
menyediakan bantuan financial untuk pembangunan Negara-negara anggotanya,
membantu mereka untuk mendirikan bank Islam di negaranya masing-masing, dan
memainkan peranan penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan
Islam. Kini, bank yang berpusat di Jeddah-Arab Saudi itu telah memiliki lebih
dari 56 negara anggota.
Pada perkembangan selanjutnya di era 1970-an, usaha-usaha
untuk mendirikan bank Islam mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa Negara
seperti di Pakistan, Iran dan Sudan bahkan mengubah seluruh sistem keuangan di
Negara itu menjadi sistem nir-bunga, sehingga semua lembaga keuangan di negara
tersebut beroperasi tanpa menggunakan bunga. Di Negara Islam lainnya seperti
Malaysia dan Indonesia, bank nir-bunga beroperasi berdampingan dengan bank-bank
konvensional.
Kini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang
cukup pesat dan menyebar ke banyak negara, bahkan ke negara-negara Barat, seperti Denmark, Inggris, Australia yang berlomba-lomba menjadi Pusat keuangan
Islam Dunia (Islamic Financial hub) untuk membuka bank Islam dan Islamic window
agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat Islam.
Perbankan
Syariah di Indonesia
Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun
tersebut, BI memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku
bunga. Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan
tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang
perekonomian. Pada tahun 1983 tersebut
pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan "sistem bagi hasil"
dalam perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah.
Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan
Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang membuka kesempatan seluas-luasnya
kepada bisnis perbankan harus dibuka seluas-luasnya untuk menunjang pembangunan
(liberalisasi sistem perbankan).
Meskipun lebih banyak bank konvensional yang berdiri, beberapa
usaha-usah perbankan yang bersifat daerah yang berasaskan syariah juga mulai
bermunculan.
Inisiatif pendirian bank Islam Indoensia dimulai pada tahun
1980 melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi
Islam. Sebagai uji coba, gagasan
perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di
Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).
Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok
kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus
1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan
perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian
dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25
Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja
pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim
Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi
dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah
berdirilah bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia
(BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991.
Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp
106.126.382.000,-
Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah
memperolehperhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional.
Landasanhukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu hanya
diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank dengan sistem bagi
hasil"pada UU No. 7 Tahun 1992; tanpa rincianlandasan hukum syariah serta
jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.
Pada tahun 1998, pemerintah dan DewanPerwakilan Rakyat
melakukan penyempurnaan UU No. 7/1992 tersebutmenjadi UU No. 10 Tahun 1998,
yang secara tegas menjelaskan bahwaterdapat dua sistem dalam perbankan di tanah
air (dual banking system),yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem
perbankan syariah. Peluang ini disambut hangat masyarakat perbankan, yang
ditandai dengan berdirinya beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI, Bank
Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD
Jabar dan BPD Aceh dll.
Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan
kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i)
UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang
Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang
No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008,
maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan
hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi.
Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata
pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka
diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian
nasional akan semakin signifikan.Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong
peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu
kurang dari dua tahun (2009-2010).
Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di
Indonesia, dalam dua dekade pengembangan keuangan syariah nasional, sudah
banyak pencapaian kemajuan, baik dari aspek lembagaan dan infrastruktur
penunjang, perangkat regulasi dan sistem pengawasan, maupun awareness dan
literasi masyarakat terhadap layanan jasa keuangan syariah. Sistem keuangan
syariah kita menjadi salah satu sistem terbaik dan terlengkap yang diakui
secara internasional. Per Juni 2015,
industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha
Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS dengan total
aset sebesar Rp. 273,494 Triliun dengan pangsa pasar 4,61%. Khusus untuk
wilayah Provinsi DKI Jakarta, total aset gross, pembiayaan, dan Dana Pihak
Ketiga(BUS dan UUS) masing-masing sebesar Rp. 201,397 Triliun, Rp. 85,410
Triliun dan Rp. 110,509 Triliun
Pada akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan
perbankan berpindah dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Maka
pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke OJK. OJK selaku
otoritas sektor jasa keuangan terus menyempurnakan visi dan strategi kebijakan
pengembangan sektor keuangan syariah yang telah tertuang dalam Roadmap
Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019 yang dilaunching pada Pasar Rakyat
Syariah 2014. Roadmap ini diharapkan
menjadi panduan arah pengembangan yang
berisi insiatif-inisiatif strategis untuk mencapai sasaran pengembangan yang
ditetapkan.