Teori Tentang Belajar Menurut Para Ahli Pendidikan
https://alawialbantani.blogspot.com/2018/08/teori-tentang-belajar-menurut-para-ahli.html
1. Teori Tentang Belajar
Kegiatan belajar cenderung diketahui sebagai suatu proses
psikologis, itu terjadi di dalam diri seseorang. Oleh karena itu, sulit
diketahui dengan pasti bagaimana terjadinya. Karena prosesnya begitu kompleks,
maka penulis akan menguraikan beberapa teori tentang belajar. Dalam hal ini
secara global ada tiga teori yaitu:
a.
Teori belajar menurut ilmu jiwa daya
Menurut teori ini, jiwa manusia terdiri dari bermacam-macam daya.
Masing-masing daya dapat dilatih dalam rangka untuk memenuhi fungsinya.[1]
Manusia hanya memanfaatkan semua daya itu dengan cara melatihnya sehingga
ketajamannya dirasakan ketika dipergunakan untuk sesuatu hal. Daya-daya itu
misalnya daya pengenal, daya mengingat, daya berpikir, daya fantasi, dan
sebagainya.
Akibat dari teori ini, maka belajar hanyalah melatih semua daya itu.
Untuk melatih daya ingat seseorang harus melakukannya dengan cara menghafal
kata-kata atau angka, istilah-istilah asing, dan sebagainya. Untuk mempertajam
daya berpikir seseorang harus melatihnya dengan memecahkan permasalahan dari
yang sederhana sampai yang kompleks. Untuk meingkatkan daya fantasi seseorang
harus membiasakan diri merenungkan sesuatu. Dengan usaha tersebut maka
daya-daya itu dapat tumbuh dan berkembang dan tidak lagi besifat laten
(tersembunyi) di dalam diri.[2]
Pengaruh teori ini dalam belajar adalah ilmu pengetahuan yang
didapat hanyalah bersifat hafalan-hafalan. Oleh karena itu, menurut para ahli
ilmu jiwa daya, bila ingin berhasil dalam belajar, latihlah semua daya yang ada
di dalam diri.
b.
Teori belajar menurut ilmu jiwa Gestalt
Teori ini berpandangan bahwa
keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian/unsur. Sebab keberadaannya
keseluruhan itu juga lebih dulu. Sehingga dalam kegiatan belajar bermula pada
suatu pengamatan. Pengamatan itu penting dilakukan secara menyeluruh,
sebagaimana teori Gestalt, yang telah dikutip dalam bukunya Syaiful Bahri
Djamarah mengemukakan bahwa:
Dalam belajar
yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respons atau
tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang
harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada
hanya memasukkan sejumlah kesan.[3]
Menurut aliran teori belajar ini insight
(pengertian) ini diperoleh kalau seseorang melihat hubungan tertentu antara
berbagai unsur dalam siuasi tertentu. Adapun timbulnya insight itu tergantung hal-hal berikut ini:
1)
Kesanggupan, maksudnya adalah
kesanggupan atau kemampuan intelegensi individu.
2)
Pengalaman, karena belajar berarti
akan mendapatkan pengalaman dan pengalaman itu mempermudah munculnya insight.
3)
Taraf kompleksitas dari suatu
situasi, semakin kompleks akan semakin sulit.
4)
Latihan. Dengan banyak latihan
akan dapat mempertinggi kesanggupan memperoleh insight, dalam situasi yang bersamaan yang telah dilatih.
5)
Trial and error. Sering seseorang tidak
dapat memecahkan suatu masalah, baru setelah mengadakan percobaan-percobaan,
seseorang dapat menemukan hubungan berbagai unsur dalam prolem itu, sehingga
akhirnya menemukan insight.
Dari keseluruhan uraian di atas, aliran ilmu jiwa Gestalt memberikan
beberapa prinsip belajar yang penting antara lain:
- Manusia bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya.
- Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
- Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek aspenya.
- Belajar adalah perkembangan ke arah diferensiasi yang lebih luas.
- Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.
- Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan yang menggerakkan seluruh organisme.
- Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.
- Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.[4]
Menurut teori ini, belajar sangat menguntungkan untuk kegiatan
belajar memecahkan masalah karena diawali dengan suatu pengamatan untuk
memperoleh insight.
c.
Teori belajar menurut ilmu jiwa
asosiasi
Teori asosiasi berprinsip bahwa keseluruhan itu sebenarnya terdiri
dari penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Kesatuan bagian-bagian
melahirkan konsep keseluruhan. Dari aliran ilmu jiwa asosiasi ada dua teori
yang sangat terkenal, yaitu teori konektionisme dari Thorndike dan teori
conditioning dari Ivan Pavlov.[5]
1)
Teori Konektionisme
Thordike adalah orang yang mengemukakan teori konektionisme. Menurut
Thorndike dasar dari belajar tidak lain adalah asosiasi antara kesan panca
indera dengan implus untuk bertindak. Asosiasi ini dinamakn connecting. Sama maknanya dengan belajar
adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons antara aksi dan reaksi.
Antara stimulus dan respons ini akan terjadi suatu hubungan yang erat bila
sering dilatih. Berkat latihan yang terus menerus, antara stimulus dan respons
itu akan menjadi terbiasa atau otomatis.[6]
Mengenai hubungan stimulus dan respons tersebut, Thorndike dalam
teori konektionisme mengemukakan beberapa prinsip atau hukum di antaranya
sebagai berikut:
a) Law of effect.
Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat, kalau disertai
dengan perasaan senang atau puas, dan sebaliknya kurang erat atau bahkan bisa
lenyap kalau disertai perasaan tidak senang. Karena itu adanya usaha membesarkan
hati dan memuji sangat diperlukan dalam kegiatan belajar. Hal ini akan lebih
baik, sedangkan hal-hal yang bersifat menghukum akan kurang mendukung.
a) Law of multiple response.
Dalam situasi problematis, kemungkinan besar respons yang tepat itu
tidak segera tampak, sehingga individu yang belajar harus berulang kali
mengadakan percobaan sampai respons itu muncul dengan tepat. Tetapi kalau
dikaji secara teliti, di dalam manusia menghadapi problema,
alternatif-alternatif pemecahannya biasa dipilih, dikira-kira mana yang lebih
tepat dan sesuai untuk menghasilkan pemecahan yang mengarah pada pencapaian
tujuan.
b)
Law of exercise atau Law of use and disuse.
Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat kalau sering
dipakai dan akan berkurang, bahkan lenyap jika jarang atau tidak pernah
digunakan. Oleh karena itu perlu banyak latihan, ulangan dan pembiasaan.
c) Law of assimilation atau
Law of analogy.
Seseorang dapat menyesuaikan diri atau memberi respons yang sesuai
dengan situasi sebelumnya.[7]
2)
Teori Conditioning
Teori ini juga disebut dengan teori classical, yang merupakan sebuah prosedur penciptaan refleks baru
dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Disebut classical karena yang mengawali teori
ini untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di bidang conditioning (upaya pembiasaan), serta
untuk membedakan dari teori lainnya.[8]
Teori ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan
Pavlov. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang pasti merasakan sesuatau yang
merangsang air liurnya untuk keluar. Misalnya, bagi para ibu yang sedang
mengandung dan kebetulan mengidam ingin memakan buah-buahan yang asam-asam,
ketika mereka melihat buah asam-asaman tentu saja air liurnya keluar tanpa
diasadari. Keluarnya tentu saja refleks. Atau katakan saja refleks bersyarat.
Bagi para pengendara kendaraan bermotor tentu akan berhenti ketika dia melihat
lampu lalu lintas menyala merah dan bergerak setelah dia melihat lampu lalu
lintas berwarna hijau. Bagi para perenang dalam suatu perlombaan renang, mereka
akan berhenti setelah mencapai finis. Di sekolah, bagi semua anak didik bunyi
lonceng dalam frekuensi tertentu sebagai tanda masuk, istirahat atau pulang,
maka mereka akan menaatinya.
Beberapa contoh yang dikemukakan di atas bentuk-bentuk kelakuan yang
nyata terlihat dalam kehidupan. Bentuk-bentuk kelakuan seperti itu terjadi
karena adanya conditioning. Karena
kondisinya diciptakan, maka sudah menjadi kebiasaan. Kondisi yang diciptakan
itu merupakan syarat memunculkan refleks yang bersyarat.[9]
[3] Ibid., h. 19
[6] Ibid., h. 25
[8] Djali, Psikologi Pendidikan.
( Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 85
[10] Muhibbin Syah, Psikologi
Belajar, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006 h. 109
[11] Ibid., h. 109-110
[12] Ibid., h. 110-113
sangat bagus untuk dibaca
BalasHapusalfamart lowongan