Teori Tentang Belajar Menurut Para Ahli Pendidikan



1. Teori Tentang Belajar
Kegiatan belajar cenderung diketahui sebagai suatu proses psikologis, itu terjadi di dalam diri seseorang. Oleh karena itu, sulit diketahui dengan pasti bagaimana terjadinya. Karena prosesnya begitu kompleks, maka penulis akan menguraikan beberapa teori tentang belajar. Dalam hal ini secara global ada tiga teori yaitu:
a.      Teori belajar menurut ilmu jiwa daya
Menurut teori ini, jiwa manusia terdiri dari bermacam-macam daya. Masing-masing daya dapat dilatih dalam rangka untuk memenuhi fungsinya.[1] Manusia hanya memanfaatkan semua daya itu dengan cara melatihnya sehingga ketajamannya dirasakan ketika dipergunakan untuk sesuatu hal. Daya-daya itu misalnya daya pengenal, daya mengingat, daya berpikir, daya fantasi, dan sebagainya.

Akibat dari teori ini, maka belajar hanyalah melatih semua daya itu. Untuk melatih daya ingat seseorang harus melakukannya dengan cara menghafal kata-kata atau angka, istilah-istilah asing, dan sebagainya. Untuk mempertajam daya berpikir seseorang harus melatihnya dengan memecahkan permasalahan dari yang sederhana sampai yang kompleks. Untuk meingkatkan daya fantasi seseorang harus membiasakan diri merenungkan sesuatu. Dengan usaha tersebut maka daya-daya itu dapat tumbuh dan berkembang dan tidak lagi besifat laten (tersembunyi) di dalam diri.[2] 
Pengaruh teori ini dalam belajar adalah ilmu pengetahuan yang didapat hanyalah bersifat hafalan-hafalan. Oleh karena itu, menurut para ahli ilmu jiwa daya, bila ingin berhasil dalam belajar, latihlah semua daya yang ada di dalam diri.
b.      Teori belajar menurut ilmu jiwa Gestalt
 Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian/unsur. Sebab keberadaannya keseluruhan itu juga lebih dulu. Sehingga dalam kegiatan belajar bermula pada suatu pengamatan. Pengamatan itu penting dilakukan secara menyeluruh, sebagaimana teori Gestalt, yang telah dikutip dalam bukunya Syaiful Bahri Djamarah mengemukakan bahwa:
Dalam belajar yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan sejumlah kesan.[3]

Menurut aliran teori belajar ini insight (pengertian) ini diperoleh kalau seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam siuasi tertentu. Adapun timbulnya insight itu tergantung hal-hal berikut ini:
1)      Kesanggupan, maksudnya adalah kesanggupan atau kemampuan intelegensi individu.
2)      Pengalaman, karena belajar berarti akan mendapatkan pengalaman dan pengalaman itu mempermudah munculnya insight.
3)      Taraf kompleksitas dari suatu situasi, semakin kompleks akan semakin sulit.
4)      Latihan. Dengan banyak latihan akan dapat mempertinggi kesanggupan memperoleh insight, dalam situasi yang bersamaan yang telah dilatih.
5)      Trial and error. Sering seseorang tidak dapat memecahkan suatu masalah, baru setelah mengadakan percobaan-percobaan, seseorang dapat menemukan hubungan berbagai unsur dalam prolem itu, sehingga akhirnya menemukan insight.
Dari keseluruhan uraian di atas, aliran ilmu jiwa Gestalt memberikan beberapa prinsip belajar yang penting antara lain:
  1. Manusia bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya.
  2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
  3. Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek aspenya.
  4.  Belajar adalah perkembangan ke arah diferensiasi yang lebih luas.
  5. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.
  6. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan yang menggerakkan seluruh organisme.
  7. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.
  8. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.[4]

Menurut teori ini, belajar sangat menguntungkan untuk kegiatan belajar memecahkan masalah karena diawali dengan suatu pengamatan untuk memperoleh insight.
c.       Teori belajar menurut ilmu jiwa asosiasi
Teori asosiasi berprinsip bahwa keseluruhan itu sebenarnya terdiri dari penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Kesatuan bagian-bagian melahirkan konsep keseluruhan. Dari aliran ilmu jiwa asosiasi ada dua teori yang sangat terkenal, yaitu teori konektionisme dari Thorndike dan teori conditioning dari Ivan Pavlov.[5]          
1)      Teori Konektionisme
Thordike adalah orang yang mengemukakan teori konektionisme. Menurut Thorndike dasar dari belajar tidak lain adalah asosiasi antara kesan panca indera dengan implus untuk bertindak. Asosiasi ini dinamakn connecting. Sama maknanya dengan belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons antara aksi dan reaksi. Antara stimulus dan respons ini akan terjadi suatu hubungan yang erat bila sering dilatih. Berkat latihan yang terus menerus, antara stimulus dan respons itu akan menjadi terbiasa atau otomatis.[6]

Mengenai hubungan stimulus dan respons tersebut, Thorndike dalam teori konektionisme mengemukakan beberapa prinsip atau hukum di antaranya sebagai berikut:

                     a)  Law of effect.
Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat, kalau disertai dengan perasaan senang atau puas, dan sebaliknya kurang erat atau bahkan bisa lenyap kalau disertai perasaan tidak senang. Karena itu adanya usaha membesarkan hati dan memuji sangat diperlukan dalam kegiatan belajar. Hal ini akan lebih baik, sedangkan hal-hal yang bersifat menghukum akan kurang mendukung.
a)      Law of multiple response.
Dalam situasi problematis, kemungkinan besar respons yang tepat itu tidak segera tampak, sehingga individu yang belajar harus berulang kali mengadakan percobaan sampai respons itu muncul dengan tepat. Tetapi kalau dikaji secara teliti, di dalam manusia menghadapi problema, alternatif-alternatif pemecahannya biasa dipilih, dikira-kira mana yang lebih tepat dan sesuai untuk menghasilkan pemecahan yang mengarah pada pencapaian tujuan.
b)      Law of exercise atau Law of use and disuse.
Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat kalau sering dipakai dan akan berkurang, bahkan lenyap jika jarang atau tidak pernah digunakan. Oleh karena itu perlu banyak latihan, ulangan dan pembiasaan.
c)       Law of assimilation atau Law of analogy.
Seseorang dapat menyesuaikan diri atau memberi respons yang sesuai dengan situasi sebelumnya.[7]

2)      Teori Conditioning
Teori ini juga disebut dengan teori classical, yang merupakan sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Disebut classical karena yang mengawali teori ini untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di bidang conditioning (upaya pembiasaan), serta untuk membedakan dari teori lainnya.[8] Teori ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang pasti merasakan sesuatau yang merangsang air liurnya untuk keluar. Misalnya, bagi para ibu yang sedang mengandung dan kebetulan mengidam ingin memakan buah-buahan yang asam-asam, ketika mereka melihat buah asam-asaman tentu saja air liurnya keluar tanpa diasadari. Keluarnya tentu saja refleks. Atau katakan saja refleks bersyarat. Bagi para pengendara kendaraan bermotor tentu akan berhenti ketika dia melihat lampu lalu lintas menyala merah dan bergerak setelah dia melihat lampu lalu lintas berwarna hijau. Bagi para perenang dalam suatu perlombaan renang, mereka akan berhenti setelah mencapai finis. Di sekolah, bagi semua anak didik bunyi lonceng dalam frekuensi tertentu sebagai tanda masuk, istirahat atau pulang, maka mereka akan menaatinya.

Beberapa contoh yang dikemukakan di atas bentuk-bentuk kelakuan yang nyata terlihat dalam kehidupan. Bentuk-bentuk kelakuan seperti itu terjadi karena adanya conditioning. Karena kondisinya diciptakan, maka sudah menjadi kebiasaan. Kondisi yang diciptakan itu merupakan syarat memunculkan refleks yang bersyarat.[9]



                [1] Ibid., h. 30
[2] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002. h.  17-18
[3] Ibid., h. 19
                [4] Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007, h. 31-32
[5] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002., h. 23
[6] Ibid., h. 25
                [7] Sardiman, Interaksi Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007 h. 33-34
[8] Djali, Psikologi Pendidikan. ( Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 85
[9] Syaiful Bahri Djamarah,  Psikologi Belajar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002 h. 26 
[10] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006 h. 109
[11] Ibid., h. 109-110
[12] Ibid., h. 110-113

Related

PENDIDIKAN 3232518873451646968

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item