Tanggung Jawab Profit Lots and Shering dalam Mudharabah dan Syirkah
https://alawialbantani.blogspot.com/2019/05/tanggung-jawab-profit-lots-and-shering.html
BAB l
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah.
II. Rumusan Masalah.
Berdasarkan
latar belakang di atas maka dapat dirumuskan makalah Ushul Fiqih yang berjudul “Tanggung
Jawab Profit Lots and Shering dalam Mudharabah dan Syirkah” sebagai
berikut:
1.
Apa Pengertian dan Dasar hukum serta kaidah-kaidah
Ushul Fiqih tentang Mudharabah?
2.
Bagaimana Tanggung Jawab Profit Lots and Shering dalam
Mudharabah?
III. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas maka tujuan dan manfaat penulisan makalah Ushul Fiqih yang berjudul “Tanggung Jawab Profit Lots and Shering dalam
Mudharabah dan Syirkah” sebagai berikut:
IV. Metode Penulisan
Makalah ini
termasuk Library Research (penelitian
pustaka) dan metode pengumpulan datanya menggunakan study Documenter. Dimana
penulis menghimpun data dan menganalisis dokumen-dokumen dari berbagai sumber
kemudian data-data yang diperoleh dari study
literature tersebut dianalisis dengan
menggunakan metode deskriftif. Analisis ini bertujuan untuk mengambarkan
sekilas tentang Tanggung Jawab Profit
Lots and Shering dalam Mudharabah dan Syirkah.
BAB ll
Pembahasan.
1.
Pengertian Mudharabah.
a.
Mudharabah
Mudharabah, adalah
bahasa penduduk Irak dan Qiradh dan mudharabah bahasa penduduk Hijaz[1].
Namun, pengertian qiradh dan mudharabah satu makna.[2]
Mudharabah berasal dari kata al-dharib, yang berarti bepergian atau
berjalan. Sebagaimana Firman Allah:
وَءَاخَرُونَ
يَضۡرِبُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَبۡتَغُونَ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
Dan yang lainnya, berpergian di muka
bumi mencari karunia Allah [3]
Selain al-dharib, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya
untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Ada juga yang
menyebut muamalah.[4] Jadi
merurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan, berjalan dan atau bepergian).
Landasan Hukum Mudharabah
a.
Mudharabah
1.
Al-Qur’an.
فَإِذَا قُضِيَتِ
ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung [5]
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ
جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ
Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.[6]
Hadits
Tiga perkara yang mengandung berkah
adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada
orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan
untuk diperualbelikan.(HR. Ibn Majah dan Shuhaib)[7]
Ijma
Dianta Ijma’
dalam Mudharabah, adanya riwayat yang
menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak
ditentang oleh sahabat yang lain. [8]
Qiyas
Mudharabah diqiyaskan
kepada al-Musyaqah (menyuruh
seseorang untuk mengelola kebun), karena di antara manusia ada yang miskin dan
ada pula yang kaya, di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat
mengusahakan hartanya, di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mahu
bekerja, tapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya Mudharabah ditunjukan antara lain untuk
memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia
dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. [9]
Rukun Mudharabah.
الْأَصْلُ
بَرَاءَةُ الذِّمَّة
Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan
bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak
Adami. Jadi sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya. Jadi dalam
mudharabah pada asalnya kedua belah
pihak bebas dari tanggung jawab, sebelum adanya akad, tetapi setelah adanya
akad mereka terikat sampai berakirnya akad tersebut.
Menurut Imam
Syafi’iyah antara lain:
1.
Pemilik barang yang menyerahkan barangnya.
2.
Orang yang bekerja, yaitu pengelola barang (modal)
3.
Aqad Mudharabah dilakukan oleh pemilik modal
dan pengelola
4.
Mal yaitu harta pokok atau modal;
5.
Amal yaitu
pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba, dan;
6.
Keuntungan. [10]
Menurut Sayyid
Sabiq, rukun Mudharabah adalah Ijab
dan kabil yang keluardari orang yang memilki keahlian [11].Ulama
Hanafiyah berpendapat rukun Mudharabah adalah
ijab dan qabul, yakni lafad yang menunjukan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau
kata-kata yang seperti dengannya. Menurut jumhur ulama rukun mudharabah adalah dua orang yang
melakukan akad (al-Aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shigat (ijab dan qabul). [12]
Syarat Mudharabah
ﻘﺎﻄﻊ اﻠﺤﻕ
ﻋﻨﺪ اﻠﻠﺸﺮﻮﻂ
Putusnya hak bergantung pada syarat
yang diperbuat (Sahih Bukhari, syarah Al-Kirmani, XlX:111) [13]
Jadi mudharabah tidak syah jika salah satu
syarat tidak terpenuhi, karena syarat adalah komponen yang tidak boleh
ditinggalkan, apabila syarat yang telah ditentukan dalam mudharabah ditinggalkan, maka rukun tidak akan berjalan.
Syarat mudharabah antara lain:
1.
Modal atu barang yang diserahkan itu berbentuk uang
tunai. Apabila barang berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan
atau barang dagang lainnya, mudharabah tersebt
batal.
2.
Bagi yang melakukan akad mampu mmelakukan tasyaruf,
maka dibatalkan akad anak-anak, orang gila dan orang-orang yang berada dibawah
pengampuan.
3.
Modal harus
diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal dengan laba.
4.
Keuntungan harus jelas persentasinya bagi kedua belah
pihak.
5.
Melafadzkan ijab dan kabul.
6.
Mudharabah bersifat
mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara
tertentu, memperdagangkan barang tertentu, dll. Bila dalam mudharabah ada persyaratan maka mudharabah
tersebut menurut Al-Safi’iyah dan Malik batal, sedangkan menurut Abu
Hanifah dan Ahmad, sah. [14]
Nisbah Keuntungan.
1.
Prosentase,
ﻣﻥ ﻀﻣﻥ ﻤﺎ ﻻ
ﻔﻠﻪ ﺮﺒﺤﻪ
Orang yang mennggung suatu harta
benda maka ia memperoleh keuntungannya (Akhbar al-Qudhat, ll:319) [15]
Jadi dalam mudharabah kedua belah pihak saling menanggung shahib al-mal mengeluarkan modal sebagai tanggungannya dan mudharib harus mengelola modal tersebut
agar mendapatkan sebuah keuntungan sehingga mereka berhak mendapatkan
keuntungan dari usahanya sesuai dengan tanggung jawabnya (beban).
Keuntungan
harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, misalnya
adalah 50:50, 70:30, 60:40.
2.
Bagi untung
dan bagi rugi
اﻠﺧﺮاﺝ ﺒﺎﻠﻀﻤﺎﻦ
Orang yang menikmati hasil sesuatu bertanggung jawab
atas resikonya [16]
Keuntungan
diatas itu merupakan konsekuensi logis dari karakteristik mudharabah. Akan tetapi jika bisnis Mudharobah rugi, pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas
nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masng-masing pihak. Kemampuan shahib al-mal untuk menanggung kerugian
finansial tidak sama dengan kemampuan mudarib.
Dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal shahib al-mal dalam kontrak ini adalah
100%, maka kerugian ditanggung 100% oleh shahib
al-mal. Karena proporsi modal mudharib
dalam kontrak ini 0%, bila terjadi kerugian mudharib menanggung keruugian
sebesar 0% pula.[17]
Jika dilihat
dari pernyataan diatas seolah-olah mudharib
tidak menanggung resiko, padahal kedua belah pihak juga sama menanggung
resiko, akan tetapi resiko ynag mereka tangnggung tentu berbeda. Bila yang
dikontribusikannya adalah uang maka resikonya uang. Sedangkan apabila yang
dikontribusikannnya adalah kerja, resikonya hilangnya kerja, usaha dan waktunya
tidak mendapatkan hasil apa-apa selama berbisnis.
3.
Jaminan
ﻻﺿﺮﺮ ﻮﻻﻀﺮاﺮ
Tidak madarat dan tidak memadaratkan[18]
Ketentuan
pembagian kerugian seperti diatas hanya berlaku bila kerugian yang terjadi
murri dilakukan oleh risiko bisnis (business
risk), bukan karena karakter buruk Mudharib
(caracter risk). Bila kerugian
terjadi karena caracter risk maka shahib al-mal tidak perlu menanggung
kerugian.
Para fuqaha berpendapat bahwa pada
prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan,
sebagaimana dalam akad syirkah lainnya.[19]
Jelas konteknya adalah business risk. Jika
mudharib melakukan kelalaian atau
menyalahi kontrak mudharib tersebut harus menanggung kerugian sebagai
sanksi dan tanggung jawabnya. Untuk menghindari hal tersebut maka shabil al-mal dibolehkan meminta jaminan
tertentu kepada mudharib. Jaminan ini
akan disita oleh shabil al-mal jika
timbul kerugian akibat mudharib lalai
atau menyalahi aturan kontrak. [20]
Jaminan
tidak diciptakan untuk menjamin pulangnya modal tetapi untuk meyakinkan Performance mudharib sesuai dengan
batasan-batasan kontrak dan tidak main-main. [21]
4.
Menentukan
besarnya Nisbah.
لَا عِبْرَةُ
لِلتَّوَهُّمِ
Tidak diakui adanya waham (kira-kira
Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan. Dalam
menentukan besarnya nisbah shahibil
al-mal dan mudharib tidak bisa
dengan perkiraan, tetapi harus dengan jelas, agar dalam bermuamalah tidak ada
pihak yang dirugikan.
Besarnya
nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang berkontrak,
angka besaran nisbah muncul sebagai
hasil tawar-menawar antara shabil al-mal dengan
mudharib. [22]
5.
Cara
menyelesaikan kerugian.
Jika terjadi
kerugian, cara menyelesaikanya adalah, diambil terlebih dahulu dari keuntungan,
karena keuntungan meruakan pelindung modal, bilakerugian melebihi keuntungan,
baru diambil dari modal. [23]
Penetapan Masa Kontrak.
مَا ثَبَتَ
بِزَمَنِ يُحْكَمُ ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya.
Kajian fiqih
tentang pembatasan waktu usaha terjadi perbedaan pendapat di kalangan mazhab.
Menurut Mazhab Imam Maliki dan imam Syafe’i pembatasan waktu usaha dapat
menyebabkan kontrak menjadi tidak valid. [24]
Dalam fiqih ketika mudharib belum memulai kerja, maka kontrak mudharabah dapat dihentikan oleh satu
pihak dengan memberitahukan kepada pihak lain. Demikian menurut kesepakatan seluruh
ulama/mazhab. Hal ini sangat mungkin terjadi sebab para jumhur fuqaha berpendapat bahwa mudharabah
bukanlah kontrak yang mengikat.[25]
Namun jika mudharib sudah memulai
kerja Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa setelah mudharib memulai kerja pun dapat
diberhentikan oleh satu pihak. Namun Imam Malik tidak membolehkannya. [26]
Mazhab
Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa kontrak mudharabah tidak boleh berisi syarat yang menetapkan jangka waktu
tertentu dalam proses kerja sama. Sementara Mazhab Hanafi dan
Hambalimengijinkan adanya klausul tentang waktu (lama) kontrak. [27]
Ketentuan Penyaluran Dana
Mudharabah.
Fatwa DSN
NO.07/DSN-MUI/Vl/2000. Sebagai berikut:
1.
Penyaluran dana mudharabah
adalah penyaluran dana yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk
suatu usaha yang produktif.
2.
Dalam penyaluran dana ini LKS sebagai shahibul al-mal (pemilik dana) membiayai
100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak
sebagai mudharib atau pengelola
usaha.
3.
Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana dan
pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
4.
Mudharib boleh
melakukan berbagai macam usaha yangtelah disepakati bersama dan sesuai dengan
syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek, tapi
mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5.
Jumlah penyaluran dana harus dinyatakan dengan jenis
dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6.
LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat
dari mudharabah kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
7.
Pada prinsipnya, dalam penyaluran dana mudharabah tidak ada jaminan, namun agar
mudharib tidak melakukan
penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicaikan
apabila mudharib terbukti melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8.
Kriteria pengusaha, prosedur penyaluran dana, dan
mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memerhatikan fatwa DSN.
9.
Biaya oprasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal
penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan ppeanggaran
terhadap kesepakatan, mudharib berhak
mendapat ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan. [28]
Jenis-jenis Mudharabah
Mudharabah mutlak
adalah menyerahkan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan
dan Mudharabah Muqqayad (terikat)
adalah peyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan.
1.
Tasyaruf pengusaha pada Mudharabah Mutlak
Menurut
ulama Hanafiyah, jika Mudarabah mutlak,
maka pengusaha perhak untuk beraktifitas dengan modal tersebut yang menjurus
kepada pendapatan laba, seperti jual beli. Menurut ulama Malikiyah, pengusaha
tidak boleh membeli barang dengan melebihi modal yang diberikan kepadanya,
pengusaha tidak boleh membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak boleh mencampurkannya dengan harta miliknya.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan kepada pengusaha
lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun atas seijin pemilik modal.
2.
Tasyaruf pengusaha pada Mudharabah mukayad.
a.
Penentuan tempat, jika pemilik modal menentukan
tempat, maka pengusaha harus mengikutinya, karena jika tidak mengikuti syarat
tersebut apabila terjadi kerugian maka pengusaha harus menanggungnya.
b.
Penentuan orang, ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah
membolehkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya
atau kepada siapa ia harus menjual barang. Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah
melarang sebab hal itu mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dan
menghambat pencarian laba.
c.
Penentuan Waktu, ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah
membolehkan sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.[29]
Perkara yang Membatalkan Mudharabah.
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى
مَا كَان
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain
yang mengubahnya “
1.
Pembatalan, larangan berusha, dan pemecatan;
2.
Salah seorang aqid meninggal dunia;
3.
Salah seorang aqid gila;
4.
Pemilik modal murtad;
5. Modal rusak
ditangan pengusaha.[30]
Pertentangan antara Pemilik dan
Pengusaha
1.
Perbedaan
dalam mengusahakan harta
a.
Jika terjadi perbedaan antara pemilik dan pengusaha,
satu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah yang
khusus, yang diterima adalah yang menyangkut hal-hal umum dalam perdagangan,
yakni menyangkut pendapatan laba, yang dapat diperoleh dengan menerapkan
ketentuan-ketentuan umum.
b.
Jika terjadi perbedaan pendapat antara mutlak dan muqayyad, yang diterima adalah yang menyangkut mutlaq.
c.
Jika kedua orang yang berakad berbeda dalam jenis
usaha atau jenis barang yang dibeli, maka yang diterima adalah ucapan pemilik
harta.
2.
Perbedaan
dalam harta yang rusak. Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal
dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa
kerusakan disebabkan oleh pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya,
maka yang diterima berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah ucapan pengusaha
sebab pada dasarnya ucapan pengusaha adalah
amanah, yakni tidak ada khianat.
3.
Perbedaan
tentang pengembalian harta. Jika terjadi perbedaan pendapat
antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan
pengusaha, bahwa modal telah dikembalikan, yang diterima menurut ulama
Hanafiyah dan Hanabilah adalah pernyataan pemilik modal. Adapun menurut Malikiyah
dan Syafi’iyah, yang diterima adalah ucapan pengusaha, karena pengusaha
dipercaya.
4.
Perbedaan
dalam jumlah modal. Ulama fiqih sepakat bahwa Jika terjadi perbedaan
pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang, yang diterima adalah
ucapan pengusaha sebab dialah yang memegangnya.
5.
Perbedaan
dalam ukuran laba, ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ucapan
yang diterima adalah pernyataan pemilik modal, jika pengusaha mengakui bahwa
disyaratkan bagian setengah laba, sehingga menurut pemilik adalah sepertiga.
Ulama malikiyah berpendapat, yang diterima adalah ucapan pengusaha beserta
sumpahnya dengan syarat: a. Harus sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku
dalam mudharabah, b. Harta masih
dipegang oleh pengusaha. Menurut ulama Syafiiyah, jika terjadi perbedaan
pendapat dalam pembagian laba, harus diputuskan oleh hakim.
6.
Perbedaan
dalam sifat modal. Ulama Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bila
ada perbedaan pendapat dalam sifat modal, ucapan yang diterima adalah pemilik
harta. [31]
[1] Lihat
al-Bajuri, 20
[2] Lihat fifayat al-Akhyar, 301
[3] QS.
Al-Muzamil;20
[4] Lihat al-Iqna, 53
[5]
QS. Al-Juma’ah:10
[6]
QS. Al-Baqarah : 198
[7]Rahmat
Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), 225 Lihat juga Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2005), 138
[8]
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), 227
[9]
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), 227
[10]
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2005),139 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, 56
[11]
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2005), 139
[12]
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), 226 lihat juga Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006), 205
[13]
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung;
Pustaka Setia, 20015), 258.
[14]
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2005), 141 lihat juga Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 228,
229
[15]
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung;
Pustaka Setia, 20015), 258.
[16]
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung;
Pustaka Setia, 20015), 259.
[17]
Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2006), 208
[18]
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung;
Pustaka Setia, 20015), 257
[19]
Wahab Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami
wa-Adilatuhu, 195
[20]
Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2006), 208, 209 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2008), 41
[21]
Syafi’i Antonio, Bank Syaria Teori dan
Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 105
[22]
Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2006), 209 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2008), 36
[23]
Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2006), 210.
[24] Jajiri, tt:41
[25] Rusyid, tt:181
[26] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2008), 42,43 lihat juga Ibnu Rusyid, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Semarang: Toha Putra, hal. 183
[27] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, A Study of
Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation, (Leiden, New York,
Konl: Brill, 1996), 80
[28]
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah ,57,58
[29]
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia,
2001),231,232,233 lihat juga Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006),12, 213
[30]
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka
Setia, 20015), 237, 238
[31]
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka
Setia, 20015), 235, 236, 237.