Tanggung Jawab Profit Lots and Shering dalam Mudharabah dan Syirkah


BAB l
PENDAHULUAN
I.       Latar Belakang Masalah.
II.    Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan makalah Ushul Fiqih yang berjudul “Tanggung Jawab Profit Lots and Shering dalam Mudharabah dan Syirkah” sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian dan Dasar hukum serta kaidah-kaidah Ushul Fiqih tentang Mudharabah?
2.      Bagaimana Tanggung Jawab Profit Lots and Shering dalam Mudharabah?
III. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dan manfaat penulisan makalah Ushul Fiqih yang berjudul “Tanggung Jawab Profit Lots and Shering dalam Mudharabah dan Syirkah” sebagai berikut:
IV. Metode Penulisan
Makalah ini termasuk Library Research (penelitian pustaka) dan metode pengumpulan datanya menggunakan study Documenter. Dimana penulis menghimpun data dan menganalisis dokumen-dokumen dari berbagai sumber kemudian data-data yang diperoleh dari study literature tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriftif. Analisis ini bertujuan untuk mengambarkan sekilas tentang Tanggung Jawab Profit Lots and Shering dalam Mudharabah dan Syirkah.



BAB ll
Pembahasan.
1.      Pengertian Mudharabah.
a.       Mudharabah
Mudharabah, adalah bahasa penduduk Irak dan Qiradh dan mudharabah bahasa penduduk Hijaz[1]. Namun, pengertian qiradh dan mudharabah satu makna.[2] Mudharabah berasal dari kata al-dharib, yang berarti bepergian atau berjalan. Sebagaimana Firman Allah:
وَءَاخَرُونَ يَضۡرِبُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَبۡتَغُونَ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
Dan yang lainnya, berpergian di muka bumi mencari karunia Allah [3]  
Selain al-dharib, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Ada juga yang menyebut muamalah.[4] Jadi merurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan, berjalan dan atau bepergian).
Landasan Hukum Mudharabah
a.       Mudharabah
1.      Al-Qur’an.
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung [5]
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.[6]
Hadits
Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperualbelikan.(HR. Ibn Majah dan Shuhaib)[7]
Ijma
Dianta Ijma’ dalam Mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat yang lain. [8]
Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-Musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun), karena di antara manusia ada yang miskin dan ada pula yang kaya, di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya, di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mahu bekerja, tapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya Mudharabah ditunjukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. [9]
Rukun Mudharabah.
الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة
            Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya. Jadi dalam mudharabah pada asalnya kedua belah pihak bebas dari tanggung jawab, sebelum adanya akad, tetapi setelah adanya akad mereka terikat sampai berakirnya akad tersebut.
Menurut Imam Syafi’iyah antara lain:
1.      Pemilik barang yang menyerahkan barangnya.
2.      Orang yang bekerja, yaitu pengelola barang (modal)
3.      Aqad Mudharabah dilakukan oleh pemilik modal dan pengelola
4.       Mal yaitu harta pokok atau modal;
5.      Amal yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba, dan;
6.      Keuntungan. [10]
Menurut Sayyid Sabiq, rukun Mudharabah adalah Ijab dan kabil yang keluardari orang yang memilki keahlian [11].Ulama Hanafiyah berpendapat rukun Mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafad yang menunjukan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang seperti dengannya. Menurut jumhur ulama rukun mudharabah adalah dua orang yang melakukan akad (al-Aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shigat (ijab dan qabul). [12]
Syarat Mudharabah
ﻘﺎﻄﻊ اﻠﺤﻕ ﻋﻨﺪ اﻠﻠﺸﺮﻮﻂ
Putusnya hak bergantung pada syarat yang diperbuat (Sahih Bukhari, syarah Al-Kirmani, XlX:111) [13]
Jadi mudharabah tidak syah jika salah satu syarat tidak terpenuhi, karena syarat adalah komponen yang tidak boleh ditinggalkan, apabila syarat yang telah ditentukan dalam mudharabah ditinggalkan, maka rukun tidak akan berjalan. 
Syarat mudharabah antara lain:
1.      Modal atu barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan atau barang dagang lainnya, mudharabah tersebt batal.
2.      Bagi yang melakukan akad mampu mmelakukan tasyaruf, maka dibatalkan akad anak-anak, orang gila dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
3.       Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal dengan laba.
4.      Keuntungan harus jelas persentasinya bagi kedua belah pihak.
5.      Melafadzkan ijab dan kabul.
6.      Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang tertentu, dll. Bila dalam mudharabah ada persyaratan maka mudharabah tersebut menurut Al-Safi’iyah dan Malik batal, sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad, sah. [14]
Nisbah Keuntungan.
1.      Prosentase,
ﻣﻥ ﻀﻣﻥ ﻤﺎ ﻻ ﻔﻠﻪ ﺮﺒﺤﻪ
Orang yang mennggung suatu harta benda maka ia memperoleh keuntungannya (Akhbar al-Qudhat, ll:319) [15]
            Jadi dalam mudharabah kedua belah pihak saling menanggung shahib al-mal mengeluarkan modal sebagai tanggungannya dan mudharib harus mengelola modal tersebut agar mendapatkan sebuah keuntungan sehingga mereka berhak mendapatkan keuntungan dari usahanya sesuai dengan tanggung jawabnya (beban).
Keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, misalnya adalah 50:50, 70:30, 60:40.
2.      Bagi untung dan bagi rugi
اﻠﺧﺮاﺝ ﺒﺎﻠﻀﻤﺎﻦ
Orang yang menikmati hasil sesuatu bertanggung jawab atas resikonya [16]
Keuntungan diatas itu merupakan konsekuensi logis dari karakteristik mudharabah. Akan tetapi jika bisnis Mudharobah rugi, pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masng-masing pihak. Kemampuan shahib al-mal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudarib. Dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal shahib al-mal dalam kontrak ini adalah 100%, maka kerugian ditanggung 100% oleh shahib al-mal. Karena proporsi modal mudharib dalam kontrak ini 0%, bila terjadi kerugian mudharib menanggung keruugian  sebesar 0% pula.[17]
Jika dilihat dari pernyataan diatas seolah-olah mudharib tidak menanggung resiko, padahal kedua belah pihak juga sama menanggung resiko, akan tetapi resiko ynag mereka tangnggung tentu berbeda. Bila yang dikontribusikannya adalah uang maka resikonya uang. Sedangkan apabila yang dikontribusikannnya adalah kerja, resikonya hilangnya kerja, usaha dan waktunya tidak mendapatkan hasil apa-apa selama berbisnis.
3.      Jaminan
ﻻﺿﺮﺮ ﻮﻻﻀﺮاﺮ
Tidak madarat dan tidak memadaratkan[18]
Ketentuan pembagian kerugian seperti diatas hanya berlaku bila kerugian yang terjadi murri dilakukan oleh risiko bisnis (business risk), bukan karena karakter buruk Mudharib (caracter risk). Bila kerugian terjadi karena caracter risk maka shahib al-mal tidak perlu menanggung kerugian.
            Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana dalam akad syirkah lainnya.[19] Jelas konteknya adalah business risk. Jika mudharib melakukan kelalaian atau menyalahi kontrak mudharib tersebut harus menanggung kerugian sebagai sanksi dan tanggung jawabnya. Untuk menghindari hal tersebut maka shabil al-mal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shabil al-mal jika timbul kerugian akibat mudharib lalai atau menyalahi aturan kontrak. [20]
Jaminan tidak diciptakan untuk menjamin pulangnya modal tetapi untuk meyakinkan Performance mudharib sesuai dengan batasan-batasan kontrak dan tidak main-main. [21]
4.      Menentukan besarnya Nisbah.
لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ
Tidak diakui adanya waham (kira-kira
Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan. Dalam menentukan besarnya nisbah shahibil al-mal dan mudharib tidak bisa dengan perkiraan, tetapi harus dengan jelas, agar dalam bermuamalah tidak ada pihak yang dirugikan.
Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang berkontrak, angka besaran nisbah muncul sebagai hasil tawar-menawar antara shabil al-mal dengan mudharib. [22]
5.      Cara menyelesaikan kerugian. 
Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikanya adalah, diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan meruakan pelindung modal, bilakerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari modal. [23]
Penetapan Masa Kontrak.
مَا ثَبَتَ بِزَمَنِ يُحْكَمُ ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya.
Kajian fiqih tentang pembatasan waktu usaha terjadi perbedaan pendapat di kalangan mazhab. Menurut Mazhab Imam Maliki dan imam Syafe’i pembatasan waktu usaha dapat menyebabkan kontrak menjadi tidak valid. [24] Dalam fiqih ketika mudharib  belum memulai kerja, maka kontrak mudharabah dapat dihentikan oleh satu pihak dengan memberitahukan kepada pihak lain. Demikian menurut kesepakatan seluruh ulama/mazhab. Hal ini sangat mungkin terjadi sebab para jumhur fuqaha berpendapat bahwa mudharabah bukanlah kontrak yang mengikat.[25] Namun jika mudharib sudah memulai kerja Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa setelah mudharib memulai kerja pun dapat diberhentikan oleh satu pihak. Namun Imam Malik tidak membolehkannya. [26]
Mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa kontrak mudharabah tidak boleh berisi syarat yang menetapkan jangka waktu tertentu dalam proses kerja sama. Sementara Mazhab Hanafi dan Hambalimengijinkan adanya klausul tentang waktu (lama) kontrak. [27]
Ketentuan Penyaluran Dana Mudharabah.
Fatwa DSN NO.07/DSN-MUI/Vl/2000. Sebagai berikut:
1.      Penyaluran dana mudharabah adalah penyaluran dana yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2.      Dalam penyaluran dana ini LKS sebagai shahibul al-mal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3.      Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
4.      Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yangtelah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek, tapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5.      Jumlah penyaluran dana harus dinyatakan dengan jenis dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6.      LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
7.      Pada prinsipnya, dalam penyaluran dana mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicaikan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8.      Kriteria pengusaha, prosedur penyaluran dana, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memerhatikan fatwa DSN.
9.      Biaya oprasional dibebankan kepada mudharib.
10.  Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan ppeanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan. [28]
            Jenis-jenis Mudharabah
Mudharabah mutlak adalah menyerahkan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan dan Mudharabah Muqqayad (terikat) adalah peyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan.
1.      Tasyaruf pengusaha pada Mudharabah Mutlak
Menurut ulama Hanafiyah, jika Mudarabah mutlak, maka pengusaha perhak untuk beraktifitas dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual beli. Menurut ulama Malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dengan melebihi modal yang diberikan kepadanya, pengusaha tidak boleh membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak boleh mencampurkannya dengan harta miliknya. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun atas seijin pemilik modal.
2.      Tasyaruf pengusaha pada Mudharabah mukayad.
a.       Penentuan tempat, jika pemilik modal menentukan tempat, maka pengusaha harus mengikutinya, karena jika tidak mengikuti syarat tersebut apabila terjadi kerugian maka pengusaha harus menanggungnya.
b.      Penentuan orang, ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah membolehkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya atau kepada siapa ia harus menjual barang. Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarang sebab hal itu mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dan menghambat pencarian laba.
c.       Penentuan Waktu, ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah membolehkan sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.[29]
Perkara yang Membatalkan Mudharabah.
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya
1.      Pembatalan, larangan berusha, dan pemecatan;
2.      Salah seorang aqid meninggal dunia;
3.      Salah seorang aqid gila;
4.      Pemilik modal murtad;
5.      Modal rusak ditangan pengusaha.[30]
Pertentangan antara Pemilik dan Pengusaha
1.      Perbedaan dalam mengusahakan harta
a.       Jika terjadi perbedaan antara pemilik dan pengusaha, satu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah yang khusus, yang diterima adalah yang menyangkut hal-hal umum dalam perdagangan, yakni menyangkut pendapatan laba, yang dapat diperoleh dengan menerapkan ketentuan-ketentuan umum.
b.      Jika terjadi perbedaan pendapat antara mutlak dan muqayyad, yang diterima adalah yang menyangkut mutlaq.
c.       Jika kedua orang yang berakad berbeda dalam jenis usaha atau jenis barang yang dibeli, maka yang diterima adalah ucapan pemilik harta.
2.      Perbedaan dalam harta yang rusak. Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa kerusakan disebabkan oleh pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya, maka yang diterima berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah ucapan pengusaha sebab pada dasarnya ucapan pengusaha adalah amanah, yakni tidak ada khianat.
3.      Perbedaan tentang pengembalian harta. Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan pengusaha, bahwa modal telah dikembalikan, yang diterima menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah pernyataan pemilik modal. Adapun menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, yang diterima adalah ucapan pengusaha, karena pengusaha dipercaya. 
4.      Perbedaan dalam jumlah modal. Ulama fiqih sepakat bahwa Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang, yang diterima adalah ucapan pengusaha sebab dialah yang memegangnya.
5.      Perbedaan dalam ukuran laba, ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik modal, jika pengusaha mengakui bahwa disyaratkan bagian setengah laba, sehingga menurut pemilik adalah sepertiga. Ulama malikiyah berpendapat, yang diterima adalah ucapan pengusaha beserta sumpahnya dengan syarat: a. Harus sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku dalam mudharabah, b. Harta masih dipegang oleh pengusaha. Menurut ulama Syafiiyah, jika terjadi perbedaan pendapat dalam pembagian laba, harus diputuskan oleh hakim. 
6.      Perbedaan dalam sifat modal. Ulama Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bila ada perbedaan pendapat dalam sifat modal, ucapan yang diterima adalah pemilik harta. [31]



[1] Lihat al-Bajuri, 20
[2] Lihat fifayat al-Akhyar, 301
[3] QS. Al-Muzamil;20
[4] Lihat al-Iqna, 53
[5] QS. Al-Juma’ah:10
[6] QS. Al-Baqarah : 198
[7]Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  225 Lihat juga Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), 138
[8] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  227
[9] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  227
[10] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005),139 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, 56
[11] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), 139
[12] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  226 lihat juga Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 205
[13] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung; Pustaka Setia, 20015),  258.
[14] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), 141 lihat juga Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  228, 229
[15] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka Setia, 20015), 258.
[16] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung; Pustaka Setia, 20015), 259.
[17] Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 208
[18] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung; Pustaka Setia, 20015), 257
[19] Wahab Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami wa-Adilatuhu, 195
[20] Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 208, 209 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 41
[21] Syafi’i Antonio, Bank Syaria Teori dan Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 105
[22] Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 209 lihat juga Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 36
[23] Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 210.
[24] Jajiri, tt:41
[25] Rusyid, tt:181
[26] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 42,43 lihat juga Ibnu Rusyid, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Semarang: Toha Putra, hal. 183
[27] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation, (Leiden, New York, Konl: Brill, 1996), 80
[28] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah ,57,58
[29] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001),231,232,233 lihat juga Adiwarman A Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006),12, 213
[30] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka Setia, 20015), 237, 238
[31] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung; Pustaka Setia, 20015), 235, 236, 237.

Related

UTSUL FIQIH 2209019521766868495

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item